Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Etika Pegawai Pajak: Bagaimana Pelayanan yang Harus Diterima oleh Wajib Pajak?
28 Desember 2020 15:02 WIB
Tulisan dari Thalita Yosananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nilai yang Dipegang dalam Instansi Perpajakan
Pada dasarnya semua organisasi memiliki nilai-nilai yang diakui dan dijalankan dalam organisasi. Nilai inilah yang nantinya akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu yang bernaung di dalamnya. Nilai yang mengakar dalam internal suatu organisasi kemudian akan menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi sendiri merupakan pola dasar asumsi bersama, nilai-nilai, dan keyakinan yang dianggap sebagai cara yang benar dalam berpikir dan bertindak atas peluang masalah yang dihadapi organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Semenjak tahun 2011 Direktorat Jenderal Pajak telah mengikuti nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan RI yang terdiri atas Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan (INTROSPEK). Namun sayangnya penerapan nilai INTROSPEK tersebut mengalami kendala seperti adanya keluhan dari Wajib Pajak terhadap pelayanan yang diberikan pegawai yang diperoleh dari telepon yang masuk serta penyampaian langsung maupun tidak langsung dari Wajib Pajak, masih terdapat pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai terutama berkenaan dengan ketaatan mematuhi jam dinas.
Teori Etika dan Etika Terapan
Etika dikenal dengan sebutan filsafat moral yang berkaitan dengan baik-buruk atau benar-salah suatu hal. Secara sederhana, Widodo dalam Aksa (2010) memandang etika sebagai filsafat moral. Bila dikaitkan dengan administrasi, etika merupakan seperangkat nilai yang menjadi acuan bagi tindakan manusia dalam organisasi.
ADVERTISEMENT
Etika di dalam administrasi perpajakan menerapkan prinsip-prinsip moral seperti hak dan kewajiban. Etika ini akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Prinsip moral merupakan alat yang digunakan untuk menilai apakah kebijakan telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan. Dipandang dari segi materi, etika administrasi merupakan pedoman untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan ketetapan. Dari segi formal, etika dalam administrasi pajak merupakan pedoman dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak, khususnya wajib pajak. Proses pelaksanaan administrasi harus bertumpu pada kebenaran dan keadilan agar dapat menciptakan ketertiban sosial. Dalam etika administrasi sendiri terdapat dua konsep utama tentang individu yang berada dalam organisasi, yaitu etika netralitas dan etika struktur
Etika netralitas artinya seseorang harus mengikuti keputusan dan kebijakan organisasi diatas prinsip moral pribadi. Walaupun begitu, etika netralitas tidak membantah bahwa dalam mengambil keputusan seseorang seringkali dipengaruhi oleh penilaian subjektif. Etika netralitas memberikan ruang bagi pegawai pajak untuk mengikuti penilaian pribadi sebelum kebijakan tersebut bersifat final. Ketika kebijakan telah ditetapkan, setiap administrator harus patuh dan menjalankan kebijakan tersebut sesuai ketetapan. Hal ini berkaitan dengan kode etik pegawai pajak yang menjadi sebuah kewajiban untuk dilakukan bagi seluruh pegawai pajak.
ADVERTISEMENT
Etika Struktur menginstruksikan bahwa tanggung jawab dari suatu keputusan dan kebijakan dipikul oleh organisasi secara keseluruhan. Prinsip ini menekankan bahwa objek dari penilaian moral adalah organisasi secara utuh. Karena dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan melibatkan banyak pihak, maka tidak dapat diketahui siapa yang bertanggung jawab secara moral terkait suatu keputusan. Hal ini dikenal sebagai “the problem of many hands”. Tindakan seorang pegawai pajak dalam organisasi dipandang hanya sebatas outcome dari kebijakan yang ada. Maka dari itu, sangat penting bagi pegawai pajak untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada wajib pajak, karena outcome yang dipengaruhi dari tindakannya adalah keseluruhan instansi pajak.
Internalisasi Etika ke dalam Diri Pegawai Pajak
ADVERTISEMENT
Pendekatan untuk menegakkan etika tersebut dapat dilakukan dengan compliance approach atau integrity Approach. Compliance mengandalkan law and regulation. sedangkan integrity mengandalkan stimulus berupa training, education, dan workshop. Dari sisi compliance, aturan seperti kode etik sangat diperlukan karena setiap manusia yang menjadi bagian dari anggota organisasi tersebut pastinya memiliki kepentingan masing-masing.. Maka dari itu, diperlukan sebuah aturan bersama yang mengatur di tengah perbedaan tersebut. Integrity sendiri lebih mengedepankan bahwa manusia memiliki internal control, dimana manusia akan berpikir yang baik untuk diri dan lingkungannya.
Kode etik merupakan kombinasi nilai dan aturan yang dibentuk dan diberlakukan dalam organisasi. Kode etik menjadi inducement positif bagi para anggota dari top-bottom level tentang bagaimana cara berperilaku dan aware terhadap ethical obligation dan expectations dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti konsumen atau dalam kasus ini wajib pajak. Agar kode etik dapat berfungsi dan berjalan dan dipatuhi oleh seluruh anggota maka terlebih dahulu diperlukan cara-cara untuk menuju hal tersebut, Kode etik harus berupa ketikan atau tulisan yang menyangkut budaya organisasi dan etos kerja. Kedua, perlu dibangun standar bagaimana cara menjalankan organisasi dan perilaku staff secara day to day. Training atau pelatihan kode etik akan sangat membantu dalam penginternalisasian kode etik. Terakhir, untuk menjamin kode etik ini, diperlukan external scrutiny berupa komite etik yang dapat berasal dari dalam atau luar organisasi.
ADVERTISEMENT
Kode Etik Pegawai Pajak
Sebelum adanya reformasi perpajakan, tidak ada kode etik internal pegawai pajak. Kode etik yang digunakan hanyalah kode etik PNS biasa atau umum. Hal ini berefek pada kinerja pegawai yang dinilai lamban karena jam kerja yang juga santai. Kode etik PNS tidak mengatur tentang aturan bagaimana melakukan pelayanan perpajakan. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar acuan mengenai tata cara pelayanan pajak. Penilaian pegawai juga dilakukan hanya berdasarkan DP3, yaitu Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan oleh pejabat penilai sama seperti PNS pada umumnya.
Pegawai Negeri Sipil atau yang biasa disebut PNS menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok kepegawaian adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini pegawai DJP termasuk sebagai Pegawai Negeri Sipil. Untuk mewujudkan tujuan nasional, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai aparatur sipil negara mempunyai visi dan misi. Visi dari Direktorat Jenderal Pajak adalah “menjadi pengelola keuangan negara untuk mewujudkan perekonomian Indonesia yang produktif kompetitif, inklusif dan berkeadilan”. Selain mempunyai visi, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai misi yaitu berkaitan dengan merumuskan regulasi perpajakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, meningkatkan kepatuhan pajak melalui pelayanan yang berkualitas, dan mengembangkan proses bisnis inti berbasi digital yang didukung oleh budaya organisasi yang adaptif dan kolaboratif serta berintegritas.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan visi dan misinya,pegawai aparatur sipil negara atau dalam konteks ini pegawai DJP, selain memiliki profesi dan kompetensi, harus juga memiliki integritas moral dalam mewujudkan perilaku yang baik dan bukan perilaku yang menyimpang. Dalam upaya menjaga profesionalisme, kompetensi, dan integritas aparatur sipil negara, pegawai pajak memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya diperlukan suatu pedoman tingkah laku dalam bentuk kode etik untuk melaksanakan tugas dan kewajiban serta menghindari segala larangan yang telah diatur.
Kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Dalam rangka melakukan pembenahan di bidang Sumber Daya Manusia, DJP sejak tahun 2002 memberlakukan kode etik pegawai pajak. Langkah tersebut merupakan langkah lanjutan reformasi birokrasi di lingkungan DJP selain melakukan pembenahan struktur, proses bisnis, dan teknologi informasi. Kode etik pegawai pajak tercantum di Keputusan Menteri Keuangan Nomor 222/KMK 02/2002/ 14 Mei 2002 tentang Kode Etik Pegawai Pajak di Lingkungan DJP. Kemudian, kode etik itu mengalami penyempurnaan pada tahun 2007 dan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor I/PM 3/2007. Di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini Nomor I/PM 3/ 2007 pasal 2, kode etik memiliki tujuan, yaitu meningkatkan disiplin pegawai, menjamin terpeliharanya tata tertib, menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif, serta menciptakan kondisi kerja yang profesional, dan meningkatkan citra kinerja pegawai. Setiap Pegawai wajib mematuhi kode etik yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini. kode etik berisi kewajiban dan larangan pegawai dalam menjalankan tugasnya. Adapun kode etik pegawai DJP ini meliputi delapan kewajiban yang tercantum pada pasal 3, serta sembilan larangan seperti yang tercantum pada pasal 4.
ADVERTISEMENT
Pasal 3
Setiap Pegawai mempunyai kewajiban untuk :
1. menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain;
2. bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel;
3. mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak;
4. memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain dalam pelaksanaan tugas dengan sebaik-baiknya;
5. mentaati perintah kedinasan;
6. bertanggung jawab dalam penggunaan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak;
7. mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor;
8. menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan;
9. bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan.
Pasal 4
Setiap Pegawai dilarang :
1. bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas;
ADVERTISEMENT
2. menjadi anggota atau simpatisan aktif partai politik;
3. menyalahgunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung;
4. menyalahgunakan fasilitas kantor;
5. menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan Pegawai yang menerima, patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya;
6. menyalahgunakan data dan atau informasi perpajakan;
7. melakukan perbuatan yang patut diduga dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan dan atau perubahan data pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak;
8. melakukan perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta martabat Direktorat Jenderal Pajak.
Asas pemungutan pajak
ADVERTISEMENT
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat terkhusus orang pribadi atau badan yang sudah masuk kedalam aturan yang sudah ditetapkan. Namun meskipun pajak bersifat wajib dan memaksa, pajak tetap memiliki asas atau prinsip dalam pemungutan yang tetap memperhatikan wajib pajak. Asas dan prinsip yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak khususnya yang berhubungan dengan pelayanan kepada Wajib Pajak adalah Equity/Equality (keadilan) dan Ease of Administration. Asas Equity mengisyaratkan bahwa dalam pemungutan pajak yang dilakukan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap wajib pajak. Negara harus bersikap adil kepada semua wajib pajak. Selain itu, asas Ease of Administration sendiri merupakan gabungan dari beberapa asas. Keempat asas yang membentuk Ease of Administration adalah, sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Asas Certainty : adanya kepastian bagi petugas pajak maupun wajib pajak dan seluruh masyarakat meliputi subjek, objek, dasar pengenaan, tarif, dan prosedur pajak;
2. Asas Convinience : Pajak dipungut hendaknya dalam waktu yang paling menyenangkan atau memudahkan wajib pajak;
3. Asas Efficiency : asas efisiensi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi fiskus dan wajib pajak, sisi fiskus efisien apabila biaya pemungutan pajak yang dilakukan lebih kecil dari jumlah pajak, sedangkan dari segi wajib pajak dikatakan efisien apabila biaya yang dikeluarkan untuk perpajakan seminimal mungkin;
4. Asas Simplicity : menitikberatkan pada kesederhanaan alam perhitungan pajak bagi wajib pajak. Dengan kata lain peraturan tidak berbelit.
Hubungan Antara Etika Pegawai Pajak dan Kepuasan Wajib Pajak
ADVERTISEMENT
Pelayanan yang diberikan pegawai pajak pada setiap kantor pajak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia haruslah memberikan pelayanan yang terbaik. Kepuasan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan perpajakannya merupakan salah satu parameter pengukuran seberapa baik pelayanan yang telah diberikan para pegawai pajak. Kepuasan Wajib Pajak tentu memiliki hubungan dengan realisasi nilai hingga kode etik pegawai yang diemban oleh instansi pajak, baik di tingkat DJP atau KPP sebagai unit kantor pajak terkecil yang tersebar di wilayah Indonesia . Hal ini dikarenakan secara tidak langsung kesan pertama yang ditangkap oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan perpajakan merupakan yang paling diingat dan menjadi trigger para Wajib Pajak yang nantinya akan memiliki kesan yang memuaskan atau tidak berdasarkan pengalamannya mendapat pelayanan terkait perpajakan.
ADVERTISEMENT
Pelayanan pajak berkaitan dengan persepsi dan harapan dari Wajib Pajak itu sendiri. Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. (Davidoff, dalam Walgito, 1994:54). Sementara harapan menurut Hill (1992:45) yang dikutip oleh Stephanie Prasetyo (2007) adalah, apa yang konsumen pikirkan harus disediakan oleh penyedia jasa. Akan tetapi, harapan bukan merupakan prediksi dari apa yang akan disediakan oleh penyedia jasa. Allen(1998) yang dikutip oleh Stephanie Prasetyo (2007) menyebutkan teori harapan yang dikembangkan oleh Vroom yang dikenal dengan Vroom’s Expectacy Model, yaitu bahwa pada umumnya manusia memilih salah satu di antara beberapa alternatif perilaku karena manusia tersebut melakukan antisipasi yang secara khusus akan membawa seseorang kepada hasil sesuatu yang diinginkan dan perilaku yang akan membawanya kepada sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam hal ini harapan (expectacy) dipercaya sebagai sesuatu yang diinginkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
ADVERTISEMENT
Orientasi Kantor Pelayanan Pajak adalah kepuasan pelanggan. Untuk memberikan pelayanan terbaik untuk meningkatkan kepuasan Wajib Pajak tentu harus memperhatikan hubungan dengan kepuasan dan persepsi Wajib Pajak. Maka dari itu pelayanan yang diberikan harus bergantung kepada realisasi nilai, budaya organisasi, hingga kode etik pegawai yang diemban oleh DJP dan KPP setempat.. Apabila kinerja atau pelayanan yang diberikan pegawai pajak di bawah harapan Wajib Pajak tentu akan membuat kekecewaan Wajib Pajak, namun sebaliknya jika harapan tersebut terpenuhi, Wajib Pajak akan merasakan kepuasan terhadap pelayanan pajak yang diterimanya.
Wajib pajak (WP) merupakan bagian dari lingkungan yang memberikan tuntutan kepada otoritas pajak. WP sebagai konsumen tentunya menuntut pelayanan terbaik yang mengedepankan kemudahan dan kenyamanan. Meski begitu, masih ditemui keluhan seperti sistem yang berbelit-belit, pegawai pajak yang lamban, dan fasilitas yang kurang memadai. Terdapat celah antara harapan dan realisasi pelayanan yang dirasakan oleh WP. Melihat berbagai tuntutan pelayanan yang datang dari wajib pajak. Melihat hal ini, DJP perlu merespon dengan melakukan pengawasan atau quality control terhadap pelayanan yang diberikan oleh pegawai pajak. Pelayanan pajak tentunya harus sesuai dengan asas-asas pemungutan pajak. Dalam proses pelayanan tersebut, pegawai pajak harus mengedepankan nilai-nilai INTROSPEK dan mematuhi kode etik pegawai pajak. Bila hal-hal ini dilakukan maka tingkat kepuasan wajib pajak akan meningkat dan membuat citra yang positif pegawai pajak di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT
DJP sebagai instansi yang menangani tuntutan konsumen harus mengacu pada indeks kepuasaan masyarakat pada suatu pelayanan agar nantinya kualitas atau standar pelayanan pajak dapat meningkat serta semakin banyaknya wajib pajak yang puas akan pelayanan yang diberikan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus menetapkan standar prosedur yang ditetapkan pemerintah agar tujuan yang telah ditetapkan dapat terlaksana dan mendapatkan hasil yang terbaik.
Dalam suatu instansi, terdapat pihak-pihak yang diharapkan dapat membuat kualitas pelayanan pajak yang baik salah satunya adalah fiskus. Fiskus diharapkan mampu menciptakan kualitas pelayanan yang baik dan sesuai dengan harapan wajib pajak. Maka, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009, pelayanan pajak merupakan pelayanan publik. Nila (2011:10) mengatakan bahwa terdapat 5 indikator yang berkaitan dengan kualitas pelayanan pajak, antara lain :
ADVERTISEMENT
a) Fiskus diharapkan memiliki kompetensi skill, pengetahuaan, pengalaman dalam hal kebijakan perpajakan, administrasi pajak dan perundang-undangan.
b) Fiskus memiliki motivasi tinggi sebagai pelayan publik.
c) Perluasan Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).
d) TPT dapat memudahkan pengawasan terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak.
e) Sistem informasi perpajakan dan sistem administrasi perpajakan merupakan sistem layanan prima kepada Wajib Pajak manjadi semakin nyata
Adanya kualitas pelayanan yang baik dan sesuai dengan aturan yang telah diterapkan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebabkan meningkatnya kepuasaan pelayanan perpajakan sehingga semakin banyaknya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal ini, dapat dilihat dari penelitiaan Anggun (2012) yang menyatakan bahwa kepuasaan pelayanan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu, Henry (2012) juga mendukung bahwa variabel sosialisasi perpajakan dan kualitas pelayanan pajak memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak. Penelitiaan Anggun dan Hendry menyatakan bahwa adanya kualitas perpajakan yang baik maka akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Hal tersebut, berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Siska (2010) yang menyatakan bahwa variabel kepuasan atas dimensi jaminan dan bukti fisik belum mampu mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak. Siska mengatakan bahwa kepuasan Wajib Pajak hanya sebagai variabel moderasi/moderator saja, yaitu sebagai variabel penghubung untuk memperkuat pengaruh kepatuhan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak. karena Walaupun pelayanan yang diterima belum sesuai dengan yang diharapkan, Wajib Pajak tetap melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak karena adanya sanksi yang akan dikenakan.
ADVERTISEMENT
Pada hasil survei yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak sudah merasa puas dengan pelayanan pajak. Pada indeks kepuasan pelayanan terdapat adanya peningkatan yang terjadi dari tahun ke tahun. Pada periode 2019 telah mencapai angka 3,42 yang artinya mengalami peningkatan sebesar 0,01 dari tahun sebelumnya. Adanya peningkatan kualitas pelayanan, perlu dilakukan, karena berpengaruh positif terhadap kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak puas dengan pelayanan yang diberikan akan mendorong mereka untuk patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, dan hal ini akan berdampak terhadap jumlah penerimaan pajak yang semakin meningkat.
Kesimpulan
Orientasi Kantor Pelayanan Pajak bukanlah bersifat untuk mencari keuntungan melainkan kepuasan pelanggan. Untuk itu pelayanan yang diberikan pegawai pajak di setiap kantor pajak harus memberikan pelayanan terbaik. Kepuasan Wajib Pajak merupakan salah satu parameter pengukuran seberapa baik pelayanan yang diberikan. Kepuasan ini erat kaitannya dengan persepsi dan harapan Wajib Pajak. Apabila kinerja atau pelayanan yang diberikan pegawai pajak memenuhi harapan tersebut, Wajib Pajak akan merasakan kepuasan terhadap pelayanan pajak yang diterimanya. Saat ini masih ditemui keluhan seperti sistem yang berbelit-belit, pegawai pajak yang lamban, dan fasilitas yang kurang memadai. Terdapat celah antara harapan dan realisasi pelayanan yang dirasakan oleh WP. DJP perlu merespon dengan melakukan pengawasan atau quality control terhadap pelayanan yang diberikan oleh pegawai pajak. Pelayanan pajak tentunya harus sesuai dengan asas-asas pemungutan pajak pegawai pajak harus mengedepankan nilai-nilai INTROSPEK dan mematuhi kode etik pegawai pajak. Bila hal-hal ini dilakukan maka tingkat kepuasan wajib pajak akan meningkat dan membuat citra yang positif pegawai pajak di mata masyarakat.Adanya pihak-pihak yang terlibat dalam membuat kualitas pelayanan pajak yang baik salah satunya adalah fiskus. Fiskus diharapkan mampu menciptakan kualitas pelayanan yang baik sesuai yang diharapkan oleh wajib pajak.
ADVERTISEMENT
Dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan kualitas pelayanan yang baik, harus memperhatikan dan mengacu pada 5 indikator yang telah ditetapkan pemerintah berkaitan dengan kualitas pelayanan pajak yang diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009. Kualitas pelayanan pajak yang baik akan menyebabkan meningkatnya kepuasaan pelayanan pajak dan meningkatnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Selain itu, juga terdapat variabel sosialisasi perpajakan yang mendukung bahwa pelayanan pajak yang baik memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Disisi lain, terdapat penelitian yang mengatakan bahwa variabel kepuasaan belum mempunyai bukti fisik yang mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak karena wajib pajak akan tetap melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak karena adanya sanksi yang akan dikenakan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR REFERENSI
Peraturan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 32/PMK.03/2007 tentang Kode Etik pegawai di Lingkungan Direktorat Pajak
Buku
Yuniningsih, Tri. (2018). Etika Administrasi Publik. Semarang:Program Studi Doktor Administrasi Publik Press Fisip-Undip.