Konten dari Pengguna

Islam, Tionghoa, dan Raymond Chin: Refleksi Menembus Kaca Pemisah

Thareq Akmal Hibatullah
Seorang Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pembelajar sepanjang hayat.
8 September 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thareq Akmal Hibatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah pecinan di Yogyakarta. Tampak sekumpulan perempuan berhijab sedang berlalu lalang di depan gerbang pecinan. Hal tersebut menjadi potret toleransi dan kebersamaan antargolongan, dalam hal ini umat Islam dan masyarakat Tionghoa. Foto: Mardanafin.
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah pecinan di Yogyakarta. Tampak sekumpulan perempuan berhijab sedang berlalu lalang di depan gerbang pecinan. Hal tersebut menjadi potret toleransi dan kebersamaan antargolongan, dalam hal ini umat Islam dan masyarakat Tionghoa. Foto: Mardanafin.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini, jagat warganet Indonesia dihebohkan dengan munculnya fakta bahwa Raymond Chin, salah satu influencer terkenal di bidang bisnis dan keuangan ternyata seorang Muslim. Pasalnya, sebagian netizen mengira Raymond Chin adalah seorang Non Muslim.
ADVERTISEMENT
Raymond Chin lahir di keluarga Muslim keturunan Tionghoa. Ibunya merupakan wanita Jawa yang taat dan pekerja keras. Sementara ayahnya adalah seorang Tionghoa asal Singapura yang bekerja sebagai eksekutif di bidang usaha keramik.
Raymond Chin lalu membangun berbagai usaha. Salah satu yang terkenal adalah ternak uang, sebuah usaha start-up yang bergerak di bidang edukasi keuangan. Selain itu, Raymond juga menjadi content creator yang memiliki ratusan ribu bahkan jutaan pengikut di berbagai lini media sosial.
Raymond Chin adalah salah satu potret kehidupan seorang Tionghoa Indonesia dan seorang Muslim.
Tionghoa Indonesia dalam Kilasan
Masyarakat Tionghoa Indonesia tentu bukan bagian baru dari masyarakat Indonesia. Kronik-kronik Tiongkok Tua menjadi saksi sejarah bagi peradaban nusantara. Indonesia pun menjadi saksi naik-turunnya kondisi politik dan ekonomi di Tiongkok. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima migrasi dari Tiongkok selama ratusan tahun.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Tionghoa Indonesia kini kian berbenah. Dari awal Indonesia Merdeka, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Tionghoa Indonesia terus memberikan kontribusi kepada perjalanan hidup bangsa.
Menjadi Tionghoa, bukan lagi menjadi hal yang tabu. Misalnya, istilah Chindo atau China Indonesia menjadi semakin digandrungi dan berkonotasi positif. Hal tersebut tak bisa lepas dari warna yang diberikan oleh masyarakat Tionghoa kepada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Stereotip sebagai suku yang pekerja keras dan ulung berniaga menjadi bagian identitas masyarakat Tionghoa. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang masih harus diperhatikan.
Pekerjaan rumah tersebut adalah masih adanya anggapan keterasingan antara Islam dan Tionghoa. Apabila Islam ada di kutub yang satu, maka Tionghoa pasti ada di kutub yang lain. Islam dan Tionghoa bagai minyak dengan air.
ADVERTISEMENT
Misalnya dalam kasus Raymond Chin di atas. Banyak warganet yang mengaku kaget bahwa Raymond adalah seorang Muslim. Banyak yang mengira bahwa Raymond merupakan seorang mualaf, meskipun Beliau terlahir sebagai seorang Muslim.
Kisah yang kurang mengenakkan adalah yang menimpa sementara warga Tionghoa Indonesia yang menjadi mualaf. Mereka mengalami penolakan dari keluarga terdekat. Salah satu poin yang diangkat adalah dengan menjadi muslim, maka akan meninggalkan adat istiadat Tionghoa.
Nanti kufur nikmat atas pengorbanan leluhur dengan tak melakukan ritual sembahyang. Islam erat kaitannya dengan poligami, bisa-bisa akan dimadu. Apabila menjadi Islam, maka akan menjadi Pribumi, luntur identitas Tionghoa-nya. Demikian alasan yang terlontar dan menjadi jurang pemisah antara Islam dan Tionghoa.
Resepsi Adat-Islam: Menjadi Solusi?
ADVERTISEMENT
Alasan-alasan tersebut sebenarnya tidak dibenarkan. Islam datang menjadi penyempurna, penentu antara yang benar dan salah. Apa yang menjadi kebaikan, maka Islam akan melingkupinya. Hal yang menjadi keburukan, maka Islam akan memperbaikinya.
Apabila berbicara dengan nada yang lebih serius, maka dapat diambil mutiara dari Hazairin, seorang tokoh hukum Islam yang juga mantan Menteri Dalam Negeri. Beliau mengatakan bahwa hukum Adat menjadi berlaku dengan melaraskan jiwanya dengan hukum Islam. Apabila bertentangan, maka Adat tersebut akan disesuaikan nafasnya dengan ketentuan yang diatur menurut Islam.
Meminjam dari suku Minangkabau, Adaik basandikan Syarak, Syarak basandikan Kitabullah. Demikian dengan indahnya prinsip tersebut terangkum. Dalam bahasa ilmiah disebut dengan teori resepsi a contrario.
Prinsip tersebut ternyata terlaksana dalam bentuk perbuatan. Misalnya, dalam suku Minangkabau dikenal sistem kewarisan matrilieneal. Pada awalnya, harta benda diwariskan melalui jalur ibu. Begitu pula asal usul seseorang yang ditentukan sukunya dari jalur ibu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dengan resepsi hukum Islam, maka dibedakan antara harta pusako tinggi dan harta pusako rendah. Harta pusako tinggi dijadikan harta komunal dan diwariskan menurut aturan adat Minangkabau yang telah berlaku. Harto pusako rendah diwariskan menurut aturan yang diatur dalam hukum kewarisan Islam.
Contoh lain yang menarik adalah sintesis antara Islam dan Jawa. Mulai dari tata busana, upacara adat, hingga konsepsi alam pikir masyarakat Jawa sendiri telah tercelup dalam lautan keislaman. Masyarakat Jawa yang hidup dengan upacara selametan, berbaju kebaya, dan membagi waris harta benda dua berbanding satu antara laki-laki dan perempuan adalah sedikit contoh manifestasi perpaduan Islam dan Jawa.
Hal yang sama tentu saja dapat berlaku antara Islam dan Tionghoa. Aturan Islam melingkupi adat Tionghoa. Mengisi relung-relung yang kosong dengan memberikan hikmah di setiap sisinya,
ADVERTISEMENT
Ketaatan terhadap leluhur terwujud dalam bentuk doa kepada orang tua yang terpanjatkan sehabis shalat. Belum lagi doa bersama dalam selametan ala Tionghoa sebagai bentuk sembahyang dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan membagikan berkat kepada sanak saudara dan dimakan bersama.
Poligami dibatasi oleh aturan hukum Islam dan Negara, dengan persyaratan yang tidak semua orang mampu memenuhinya. Adat Istiadat tetap dilaksanakan, seirama selaras dengan aturan yang diatur dalam Kitabullah.
Bukankah masyarakat Tionghoa yang memberikan baju koko yang senantiasa dipakai umat Islam dalam hari kebesaran? Lantas, menjadi Islam dan Tionghoa bukan pertentangan. Menjadi Islam dan Tionghoa adalah penghayatan kepada Sang Ilahi dan prinsip Negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika melalui akulturasi dan resepsi.
ADVERTISEMENT