Konten dari Pengguna

Intoleransi Beragama dan Kesadaran Nasionalisme Masyarakat Indonesia

Thauam Marufah
Master of Sociology in Islamic Law. Saat ini mengajar sebagai Dosen di Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.
22 September 2021 20:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thauam Marufah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : https://pixabay.com/id/photos/masalah-konflik-sengketa-hubungan-1783777/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : https://pixabay.com/id/photos/masalah-konflik-sengketa-hubungan-1783777/
ADVERTISEMENT
Berita perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang beberapa waktu lalu menyita perhatian saya. Bagaimana tidak, kasus ini menambah daftar panjang kasus intoleransi beragama yang terjadi di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa penyerangan, kekerasan, dan diskriminasi atas nama agama selalu terjadi lagi dan lagi?
ADVERTISEMENT
Rasanya geram dan ingin berkata kasar kepada mereka yang melakukan penyerangan terhadap saudaranya sesama warga negara. Bahkan tidak masuk di otak saya, bagaimana mereka melakukan itu sambil menyerukan takbir. Apakah mereka sudah yakin benar bahwa yang mereka lakukan itu diridai Allah? di satu sisi menyebut nama Allah, tetapi di sisi lain menyakiti umat Allah.
Menyoal Ahmadiyah yang menjadi fokus tulisan ini, sejak kemunculannya di Indonesia sekitar tahun 1930an, organisasi ini memang sudah menuai perdebatan dan kontroversi. Namun awal perjalanannya tidak terlalu mengalami kendala sampai berakhir dengan kekerasan seperti sekarang. Setelah beberapa organisasi Islam melakukan debat terbuka membahas Ahmadiyah, pada tahun 1953 organisasi ini mendapatkan status legal dari pemerintah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam Ketetapan Menteri tanggal 13 Maret 1953.
ADVERTISEMENT
Setelah orde baru, status hukum dan politik yang didapatkan Ahmadiyah mulai digugat dan pengikutnya mendapat berbagai macam penolakan. Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah Qodian menyimpang dari agama Islam dan mengganggu ketertiban negara pada tahun 1984 yang diperkuat lagi dengan fatwa MUI tahun 2005 bahwa Ahmadiyah sesat dan pengikutnya dianggap murtad. Puncaknya pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Tiga Menteri (SKB) yang isinya adalah melemahkan ruang gerak Ahmadiyah.
Pasca SKB tersebut, meledaklah gelombang penolakan di berbagai daerah. Fatwa dan SKB seolah membenarkan tindakan penolakan berupa kekerasan dan diskriminasi tersebut. Walaupun fatwa tidak berkekuatan hukum dalam sistem ketatanegaraan, tapi mau tidak mau bisa dikatakan bahwa fatwa mempunyai peran besar terhadap sentimen publik dalam hal keberagaman di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tak terhitung sudah berapa kasus penyerangan, diskriminasi, dan intimidasi terhadap jemaat Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah. Rumah-rumah dirobohkan, masjid dibakar, dan banyak korban luka-luka. Masih segar di ingatan saya peristiwa di Cikeusik Banten tahun 2011 lalu di mana penyerangan terhadap Ahmadiyah sampai memakan korban jiwa. Insiden Monas tahun 2008, di NTB tahun 2018, di Bogor dan Depok tahun 2011, dan masih banyak lagi kasus kasus penyerangan tersebut dilakukan di berbagai daerah.
Tak hanya penyerangan fisik, secara psikis muslim Ahmadi juga diserang dengan berbagai intimidasi dan diskriminasi, dilecehkan, dikucilkan, kehilangan rasa aman, hingga kehilangan mata pencaharian. Bahkan seringkali perempuan dan anak anak menjadi korban.
Jika menelisik lebih dalam lagi, masyarakat yang kontra dan melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah kebanyakan merasa dirinya benar dan tidak melakukan kesalahan. Jika ditanya mengapa mereka melakukan itu, kebanyakan jawabannya adalah untuk membela agama dan mewujudkan tatanan negara yang berketuhanan. Agar Indonesia lebih Islami, dengan memberantas aliran yang menurut mereka menodai agama. Begitu kira-kira.
ADVERTISEMENT
Baik, mari kita lihat dalam konteks kebangsaan. Indonesia bukanlah negara dengan semangat nasionalisme religius. Ini bisa dilihat dari konstitusi negara kita yang tidak menyandarkan pada suatu agama tertentu. Tetapi di sisi lain, Indonesia juga tidak bisa disebut dengan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara karena agama masih diurus oleh negara melalui konsensus umum yang telah berlaku melalui undang-undang. Lantas negara kita negara agama atau negara sekuler?
Inilah uniknya Indonesia, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dirumuskan khusus oleh para founding fathers untuk Indonesia yang berpenduduk majemuk dengan berbagai macam suku, agama, dan budaya menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama. Namun, prinsip ketuhanan tetap dijunjung tinggi dan menjadi ideologi yang tertuang dalam sila pertama pancasila yang membuat Indonesia juga menjadi bangsa yang berketuhanan.
ADVERTISEMENT
Inilah kemudian yang dikatakan Jeremi Menchik--seorang Profesor Studi Politik dan Agama--sebagai nasionalisme ketuhanan. Sebuah kesadaran yang bertumpu pada dua arus besar nasionalisme, nasionalisme religius di satu sisi dan nasionalisme sekuler disisi lain. Nasionalisme ketuhanan memandang seorang warga negara yang baik memiliki keyakinan pada Tuhan lebih baik daripada yang tidak memiliki keyakinan pada Tuhan, sangat berbeda dengan negara sekuler yang mana perilaku warga negara dinilai baik apabila tidak melanggar hukum dan membayar pajak.
Itulah mengapa kemudian banyak kasus intoleransi yang terjadi atas nama agama, pelakunya dalam keadaan sadar dan tidak merasa melakukan kesalahan. Karena itu tadi, kesadaran ketuhanannya membuatnya memiliki pandangan bahwa semua yang bertentangan atau menyimpang dengan agama umum dan mayoritas--Islam yang dipahami secara umum--harus diberantas dan kebenaran harus ditegakkan karena dianggap menodai pandangan mayoritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Inilah kemudian yang menjadi tantangan bagi kita semua, baik masyarakat, dan juga pemerintah. Bagaimana kita menggunakan nasionalisme ketuhanan itu dengan lebih bijak dan fleksibel. Bahwa selama aliran kepercayaan itu masih memiliki pandangan tentang ketuhanan,dan berperan aktif dalam terwujudnya pemerintahan yang baik, maka seharusnya tidaklah layak untuk didiskriminasi, apalagi sampai melakukan penyerangan dengan kekerasan.
Sama halnya dengan NU dan Muhammadiyah yang diakui legalitasnya sebagai organisasi keagamaan, demikian juga dengan Ahmadiyah yang secara legal merupakan organisasi berbadan hukum sesuai surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Sosial Politik tahun 1993 dengan no 363.4/DPM/SOS/93. Jika sama-sama legal mengapa hanya Ahmadiyah yang mendapatkan perlakuan diskriminasi? Jika pun berbeda soal apa yang diyakini, bukankah NU dan Muhammadiyah juga mengalami perbedaan dalam hal-hal tertentu?
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kontroversi kesesatannya menurut beberapa pihak, sepanjang pembacaan saya, Ahmadiyah masih berada dalam pagar Islam. Jika kita mau terbuka, coba ikuti saja acara-acara ritual mereka. Syahadatnya sama, salatnya sama, Al-Quran-nya sama, kiblatnya pun juga sama. Yang berbeda itu soal ajaran kenabian dan soal khilafah. Ini pun ada dua variabel keyakinan di dalam tubuh Ahmadiyah sendiri. Sehingga kurang bijak kiranya jika kita buru-buru melabeli mereka semua dengan tuduhan sesat.
Jika kita mau sedikit membaca sejarah, kita akan tahu bahwa dalam konteks kebangsaan, jemaat Ahmadiyah memegang teguh ideologi pancasila dan NKRI. Tercatat juga dalam sejarah bahwa Ahmadiyah turut berjuang menghapus ketidakadilan kolonialisme di masa penjajahan, ide-idenya juga banyak diadopsi oleh beberapa tokoh kemerdekaan, mereka juga taat hukum dan punya legalitas organisasi yang jelas. Singkatnya, mereka tidak melakukan sesuatu yang mengancam keutuhan NKRI.
ADVERTISEMENT
Kita boleh tidak sependapat dengan keyakinannya. Tetapi sebagai sesama manusia dan sesama warga negara yang sama-sama punya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, tidaklah bijak kiranya jika kita melakukan diskriminasi kepada mereka, apalagi sampai melakukan penyerangan dan kekerasan. Karena hidup di negeri ini perbedaan adalah suatu keniscayaan, maka menurut saya menggunakan kesadaran nasionalisme kebangsaan dalam memandang perbedaan lebih bijak dibandingkan menggunakan kesadaran religiusitas yang disandarkan pada satu agama.
Semoga ke depannya kita semua menjadi masyarakat yang berkemajuan, terbuka, dan toleran sehingga negara kita dapat maju dengan percaya diri menyaingi negara-negara maju lainnya. Harapannya, peristiwa penyerangan atas nama agama tidak perlu terjadi lagi karena hanya akan menjadi sebuah tragedi.