Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Problem Serius Muslim Society: Bisa Membaca tetapi Tidak Bisa Memahami
1 Desember 2021 19:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Thauam Marufah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kutipan sederhana pada postingan sebuah akun di media sosial ini berhasil membuat tangan saya berhenti sejenak dari aktivitas scrolling di suatu sore. Rasanya seperti sedang ditegur dan diingatkan entah oleh siapa yang membuat kalimat sederhana yang penuh makna ini.
ADVERTISEMENT
Banyak orang mungkin bisa membaca, tetapi tidak banyak yang bisa memahami. Banyak orang mungkin bisa langsung paham apa yang tersurat dari suatu teks, tetapi sedikit yang bisa memahami apa yang tersirat. Sehingga menurut saya, kemampuan membaca tidak hanya sebatas membaca kata-perkata, tetapi juga kemampuan untuk menafsirkan dan menjelaskan ulang apa yang tidak dijelaskan dalam sebuah teks.
Kemampuan membaca seperti ini seharusnya dimiliki oleh seorang muslim yang berakal budi untuk mengcounter realitas sosial dengan isu keagamaan yang marak terjadi. Sebut saja poligami, terorisme, KDRT, dan isu-isu kekerasan yang dilegalkan atas nama agama.
Islam paradoks menjadi persoalan serius yang menuntut pembacaan ulang atas Islam sebagai sebuah agama yang diyakini maupun yang dipahami oleh pemeluknya. Bagaimana memposisikan Islam sebagai sebuah ajaran di satu sisi, dan juga sebagai sebuah realitas di sisi lain. Mungkin belum semua orang Islam bisa sampai di level ini, tidak apa-apa, mereka hanya perlu dibantu.
ADVERTISEMENT
Seperti memahami tentang ayat poligami. Saya sempat terheran-heran ketika dalam sebuah grup “emak-emak” yang kebetulan saya ikuti sedang berdiskusi soal poligami, lebih tepatnya ghibah perihal problem temannya teman segrup yang “katanya” dipoligami oleh suaminya. Saya lihat dari komentar yang ada, kebanyakan dari mereka ini menolak poligami di satu sisi, tetapi membenarkan di sisi lain. Mereka tidak mau dipoligami, tetapi tetap meyakini bahwa poligami adalah sebuah syariat yang jika diikuti dan diamalkan oleh seorang perempuan, maka itu akan menjadi jalan membawanya ke surga dengan mulus tanpa halangan.
Lebih terheran lagi ketika muncul istilah “mentor poligami” yang biaya pelatihannya bisa sampai puluhan juta. Menariknya, ini tidak hanya diikuti oleh laki-laki, tapi juga oleh perempuan. Kok bisa? Nampaknya poligami dalam imaji mereka adalah sebuah ibadah sunah yang menjanjikan surga bagi siapa saja yang mengamalkannya. Doktrin seperti ini saya kira hanya bisa diterima mentah-mentah oleh mereka yang kurang cerdas akalnya--kalau boleh menyebut bodoh.
ADVERTISEMENT
Mereka mungkin hanya memaknai kalimat “ ...Maka kawinilah wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat..” tanpa memaknai secara tuntas kalimat “..jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, MAKA SATU SAJA” (huruf kapital berasal dari saya).
Padahal, secara teks terjemahan ayat itu saja sudah bisa dipahami bahwa maksud dari ayat itu adalah bahwa laki-laki boleh menikah dengan satu, dua, tiga hingga empat, namun syaratnya harus adil, kalau tidak yakin bisa berlaku adil yasudah satu saja.
Itu baru terjemahannya lo, belum lagi kalau mengkaji dari konteks turunnya ayat, munasabah ayat dan kaidah-kaidah penafsiran, juga kaidah fiqhiyah yang berujung pada kesimpulan bahwa perkawinan dalam Islam itu ya monogami. Karena misi Islam sebagai agama yang berkeadilan dan rahmat bagi semesta alam hanya bisa terwujud dalam perkawinan monogami.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga terjadi pada pembacaan ayat-ayat jihad yang dijadikan landasan kaum radikal melakukan aksi terorisme. Surah al-Baqarah ayat 191 yang menyerukan untuk memerangi, mengusir bahkan membunuh orang kafir dibaca hanya berdasarkan bunyi teks ayat tersebut tanpa mencoba memahami bagaimana konteks turunnya ayat yang mana pada saat itu turun ketika umat muslim dalam masa peperangan yang konsepnya “membunuh atau dibunuh”.
Ayat itu turun pada sebuah keadaan di mana budaya perang masih menjadi budaya yang lumrah ketika terjadi perebutan kekuasaan. Dan itu bukan hanya terjadi di tanah Arab, tetapi juga di seluruh belahan dunia. Maka sebenarnya spirit dari ayat tersebut adalah “jangan diam dan berpangku tangan dalam peperangan, tetapi lawanlah musuh”.
ADVERTISEMENT
Menurut saya spirit ini tentu masih relevan diterapkan di masa sekarang. Spiritnya lo ya, bukan tindakannya. Seperti “Jangan berpangku tangan tapi tuntutlah ilmu’ atau “Jangan berpangku tangan, kalahkan malasmu”. Bukan jihad dalam bentuk pertumpahan darah, tapi jihad melawan hawa nafsu. “Asyaddul jihad, jihaadul hawaa”.
Dari sini saya sadar bahwa kita mungkin masih jauh dari level membaca sebagai usaha memahami. Banyak yang masih ikut-ikutan saja tanpa tahu, padahal sebenarnya doktrin yang beredar dan dipahami di masyarakat bisa jadi adalah hasil membaca sebuah aturan agama yang berdasar pada bias kepentingan individu. Bisa jadi lo ya.
Seperti bagaimana kita merespons sebuah peraturan. Contohnya peraturan yang baru-baru ini masih hangat diperbincangkan yaitu Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Penggagas aturan ini tentu spiritnya adalah ingin memberikan ruang aman terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, namun pihak lain bisa jadi tidak memandangnya seperti itu.
ADVERTISEMENT
Hal yang mencuat dan menjadi topik yang diperdebatkan adalah frasa “Tanpa persetujuan korban” yang dinilai oleh sebagian pihak sebagai legalisasi zina. Berarti jika dengan persetujuan korban maka aktivitas seksual itu diperbolehkan dong? Begitu kira-kira logika mereka yang menurut saya ini adalah hasil dari membaca yang terburu-buru.
Dari awal harusnya kita tahu peraturan ini membahas tentang kekerasan seksual, bukan tentang aktivitas seksual yang boleh dan tidak boleh. Kekerasan adalah tindak pidana yang bahkan dalam Islam pun yang namanya pemaksaan harus ada unsur “Tanpa persetujuan korban” yang membedakan sebuah tindakan sebagai tindakan pidana atau tindakan asusila.
Singkatnya, permendikbud ini menyoal tentang kekerasan seksual, bukan soal asusila. Sehingga jika “Dengan persetujuan” dan diluar nikah, maka keduanya adalah pelaku asusila dan rujukannya bukan permendikbud ini, bisa di kode etik kampus, KUHP dan aturan-aturan lain. Sehingga, kekerasan seksual adalah satu hal, dan zina adalah hal lain. Tidak bisa langsung ditafsirkan bahwa peraturan ini melegalkan zina dan seks bebas, karena saya yakin peraturan ini sudah digodok sedemikian rupa dengan dasar pancasila dan norma-norma agama yang begitu kuat di negara kita.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini semoga kita bisa merenung sejenak. Sejauh mana kemampuan membaca dan memahami kita terhadap ayat-ayat Allah baik yang tersurat maupun yang tersirat? Jangan-jangan selama ini kita hanya membaca sambil lalu atau malah hanya sekadar ikut-ikutan tanpa menggunakan nalar kritis sebagai usaha mencari dan menyelami kebenaran. Apakah kita sudah membaca secara holistik dan komprehensif? Tidak hanya berhenti di koma, tetapi sampai titik.