Konten dari Pengguna

3 Jiwa dalam Perjalanan Spiritual menurut Jalaluddin Rumi

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
13 September 2023 5:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perjalanan spiritual manusia tidaklah mudah dan pasti terdapat tirai-tirai spiritual. Namun, watak manusia telah diilhami free will untuk bebas dalam memilih jalan hidup. Manusia telah memilih untuk memikul amanah langit.
Muhammad sebagai simbolitas jiwa ilahiah yang agung dan  penakluk jiwa kebinatangan di dunia. Foto: https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad sebagai simbolitas jiwa ilahiah yang agung dan penakluk jiwa kebinatangan di dunia. Foto: https://www.pexels.com/
Rumi menggambarkan diri manusia memiliki pilihan jalan menuju kebaikan dan kejahatan. Maka sungguh Tuhan-Mu telah mengilhami dua pilihan yaitu kefujuran atau ketakwaan.
ADVERTISEMENT
Konsep yang relevan untuk menegaskan hal ini bahwa manusia itu secara potensial sejatinya setengah malaikat dan sekaligus setengah binatang. Manusia bisa memilih untuk menjadi malaikat yang agung atau menjadi binatang yang hina.
Apabila nurani spiritual manusia dapat mengatasi nafsu kebinatangannya, maka manusia lebih mulia daripada malaikat. Namun, jika nafsu kebinatangannya mengalahkan nurani spiritualnya, maka manusia lebih rendah daripada binatang.
Burung-burung adalah makhuk-Nya. Mereka terbang di atas Hagia Sophia, Turki. Foto: https://www.pexels.com/
Al-Quran menegaskan bahwa manusia yang tidak memperdulikan jiwa malaikatnya dan tidak menggunakan akal pikirannya bisa lebih hina dari binatang.
Dalam pandangan Rumi, jiwa manusia terdiri dari tiga yaitu Jiwa yang Agung, Jiwa Manusia, dan Jiwa Kebinatangan. Konsep jiwa-jiwa ini merepresentasikan kecenderungan dan keadaan terkait pilihan kepada kebaikan atau kejahatan.
Menurut Rumi, Tuhan telah ada dalam diri manusia melalui Jiwa Besar dan Jiwa Manusiawi. Ini dikenal dalam Bahasa Arab sebagai Al-latifah Ar-rabbaniyyah wal Jauharat Ar-Ruhaniyyah atau kelembutan Tuhan dan permata ruhaniah.
Allah sebagai simbolitas Tuhan yang hakiki. Tujuan perjalanan spiritual. Foto: https://www.pexels.com/
Tuhan telah menjadi bagian dari diri manusia. Jika manusia mengenal dirinya maka manusia pasti mengenal Tuhan.
ADVERTISEMENT
Tuhan tercermin dalam kasih sayang, pengampunan, kerendahan hati, intuisi, dan pengetahuan esoteris manusia. Tuhan adalah sumber kebijaksanaan manusia.
Rumi berkata bahwa tugas manusia bukan mencari Tuhan, tetapi menyucikan jiwanya dari hijab agar Tuhan menjadi terang dalam dirinya. Tuhan telah bertajalli dalam kemanusiaan yang hakiki.
Sebaliknya, dalam diri manusia ada jiwa kebinatangan. Jiwa kebinatangan selalu menuntut untuk dilepaskan pada objek kesenangan tubuh semata.
Kesenangan dan kenikmatan tubuh sesungguhnya membawa kepada ketergantungan pada kenikmatan semu saja, kenikmatan materi, dan akhirnya hanya menciptakan penderitaan jiwa tak berujung.
Tentu, siapa yang mengejar materi maka ia akan menyesal tak akan mendapatkan apa-apa. Tetapi siapa yang mencari Tuhan, maka ia akan menemukan kebahagiaan sejati.
Jiwa kebinatangan manusia hanya membawa kepada kelalaian dan kemalasan. Jiwa kebinatangan hanya akan mengarahkan kepada kebahagiaan semu.
ADVERTISEMENT
Jiwa kebinatangan atau Nafs berbeda dengan Qalb atau hati. Qalb atau hati yang bersifat spiritual memerlukan penyucian dari pengaruh Nafs agar pintu menuju Cinta Ilahi terbuka. Hati yang bersih akan mudah sampai kepada Tuhan.
Membersihkan hati bisa dimulai dengan menuju tempat ibadah. Foto: https://www.pexels.com/
Kemalasan, nafsu birahi, ketidaktahuan, kebanggaan, iri, ketidakdermawanan, dan kerakusan materialistik semuanya berasal dari jiwa kebinatangan manusia yang membawa kepada kegelisahan dan ketidakpuasan hidup. Inilah puncak penderitaan manusia.
Menurut Rumi, pejalan spiritual harus menempuh jalan Jihad atau upaya melatih diri bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan.
Jihad seorang pejalan spiritual pencari kebenaran hakiki adalah dengan membersihkan hati dari segala kejahatan terutama melawan Nafs (ego kebinatangan).
Hafez, seorang penyair sufi, mengatakan bahwa pejalan spiritual perlu melakukan Jihad diri dalam mencari Cinta Ilahi.
ADVERTISEMENT
Pejalan spiritual perlu mensucikan diri agar Tuhan dalam dirinya semakin tersingkap.
Pejalan spiritual juga perlu menjaga pikiran dan ingatan yang baik dan hanya ingat kepada Tuhan yang Agung (Zikir).
Alhasil, Nabi Muhammad bersabda bahwa perang yang lebih besar adalah perang melawan nafsu kebinatangan. Perang melawan nafsu kebinatangan lebih dahsyat dari perang Badar.
Dengan kata lain, pejalan spiritual perlu mensucikan diri dari jiwa kebinatangan untuk meraih Cinta Ilahi. Jika jiwa kebinatangan sirna maka terbitlah jiwa ketuhanan yang agung.
Rumi berkata bahwa pejalan spiritual juga hendaknya menyucikan diri dan akal pikirannya karena Tuhan yang agung telah hadir dalam diri dan akal pikiran manusia.
Tuhan telah terkoneksi dengan Jiwa yang Agung dan Jiwa Kemanusiaan dalam diri manusia.
Allah adalah pemilik taufik. Foto: https://www.pexels.com/
Dalam perjalanan spiritual yang mendaki dan berliku, misi pejalan spiritual adalah bersungguh-sungguh melawan dan menghilangkan jiwa kebinatangannya.
ADVERTISEMENT
Tetapi, proses perjalanan spiritual ini menurut Rumi seharusnya dilakukan dengan bantuan mursyid atau Guru spiritual yang dapat membukakan jalan dan memberi pencerahan spiritual hakiki.