Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bencana Alam Sumbar, Kerusakan Lingkungan dan Paradigma Ekologi Holistik
12 Mei 2024 14:18 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Provinsi Sumatera Barat memiliki alam yang indah. Jalan-jalan berkelok menyambungkan kota-kota dan desa-desa dengan pemandangan alam yang asri. Anda juga bisa berkunjung ke Danau Maninjau dan Danau Singkarak untuk melihat sekeping keindahan surga di sana. Atau datanglah melihat kawasan Harau di Kabupaten Limapuluh Koto sekaligus menyambangi Ngarai Sianok di Bukittinggi. Tentu, masih banyak spot wisata yang indah di provinsi ini.
ADVERTISEMENT
Tetapi, di balik keindahan alamnya, seolah ada problem fundamental yang seolah sering terulang. Bencana alam yang ekstrim yang acapkali tak hanya merusak fasilitas publik dan perumahan, tetapi memakan korban jiwa dan merusak lahan pertanian dan perkebunan sebagai sumber kehidupan masyarakat lokal.
Mungkin pemerintah bisa berdalih bahwa kondisi topografi wilayah Sumatera Barat memang rawan bencana. Atau para agamawan yang sekadar mengingatkan ini sebagai ujian dan peringatan keimanan. Tapi bukankah yang lebih penting adalah berbuat secara saintifik memastikan alam yang rawan ini terjaga dan menkondisikan tingkat keamanan dan pelestariannya.
Faktanya, laporan lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti LBH Padang dan Walhi melaporkan berbagai proyek eksploitasi atas alam dan sumber dayanya secara massif telah dan akan dilakukan oleh barbagai korporasi kapitalis yang telah bekerjasama dengan pemerintah. Bahkan, ekploitasi alam pun perlahan diikuti oleh oknum-oknum personal di berbagai tempat mulai dari penebangan pohon secara liar dan atau membuka lahan atau pertambangan ilegal.
Eksploitasi ini menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan sekitar di Sumatera Barat. Karena ekosistem alam dan lingkungan berubah secara drastis misalnya hutan-hutan yang mulai gundul di bagian hulu maka bencana alam setiap saat mengintai dari banjir, longsor hingga banjir bandang (galodo) yang disertai dengan tanah langsor yang membawa potongan kayu hasil penebangan liar. Ancaman ini makin menggila seiring gunung Merapi yang kini aktif mengeluarkan debu atau banjir lahar dingin yang menyapu wilayak sekitarnya. Benar-benar horor dan tragis.
ADVERTISEMENT
Melihat bencana alam dan kerusakan lingkungan yang ekstrim ini maka selayaknya semua pihak terutama pemerintah dan masyarakat setempat perlu melakukan refleksi kritis dan kontruktif yang bersifat jangka panjang. Tentu sangat perlu kembali kepada kearifan spiritual yang dalam dan jernih dalam melihat eksistensi alam sekitar kita.
Dalam pandangan filsuf muslim, Sayyid Hossein Nasr (1993), alam seharusnya dipandang secara sakral sebagai bagian dari keutuhan spiritualisme manusia. Alam adalah media manusia berkomunikasi dan terkoneksi dengan yang sakral yaitu Tuhan. Merusak alam artinya manusia merusak koneksinya dengan Tuhan. Sebab Tuhan mencintai manusia melalui alam ini.
Allah bahkan kerapkali berfirman di berbagai surah dalam kitab suci Al-Quran (Surah Al-An'am: 95; Surah An-Nahl: 11) bahwa Dia telah menumbuhkan berbagai tanaman dan buah-buahan di alam ini demi kebutuhan dan kebahagiaan manusia. Tak hanya itu, Allah bahkan menurunkan hujan-Nya (Surat An-Nahl:10) agar tanaman dan buah-buahan itu tumbuh sempurna untuk kebutuhan makhluk-Nya baik manusia maupun hewan di alam ini.
ADVERTISEMENT
Tentu, ini hanyalah kenyataan kecil dari Tuhan untuk menjadi kiasan bahwa alam ini harus dibiarkan tumbuh asri dan alami serta harus dijaga dengan baik agar tanaman dan berbagai kebutuhan makanan manusia dapat dihasilkan dari kerjasama yang baik dengan alam.
Pandangan Sayyid Hossein Nasr tak berbeda dengan pandangan fisikawan dan ahli ekologi, Fritjof Capra (1982), bahwa alam ini harusnya dipandang secara mendalam dan kritis dengan menggunakan paradigma holistik yang tak memisahkan sains dari spiritualisme. Jika sains terpisah dari alam inilah yang dilakukan oleh sains modern Cartesian-Newtonian yang menjadikan alam sebagai objek yang sekadar dieksploitasi sehingga melahirkan kenestapaan manusia. Inilah dosa sains pertama sejak ditemukan manusia, menjadi kendaraan bagi keserakahan manusia.
Tak ada yang lebih kejam dari sains modern yang melahirkan paradigma kapitalisme yang rakus sehingga alam hanya dijadikan barang dagangan dan perburuan keuntungan semata demi hasrat dan ego manusia modern yang tak pernah puas. Bahkan, pada suatu ketika, manusia pun menjadi barang dagangan dan korban dari sains modern yang tak terkendali. Senjata memakan tuannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Mencintai alam memang tak mudah. Mencintai alam membutuhkan kapasitas, pengetahuan dan seni seperti yang diisyaratkan oleh Erich Fromm (1956). Sebab jika tak mencintai alam dengan total, maka ini dapat menjadi salah satu bagian dari kenestapaan eksistensi manusia modern hari ini.
Alhasil, bencana alam beruntun di Sumatera Barat setidaknya dalam lima tahun belakangan ini bukanlah teguran Tuhan semata, tetapi wajah dari keserakahan manusia yang telah merusak alam dan kealpaan elit decision makers. Pemerintah, swasta dan masyarakat sipil perlu mempelajari secara serius paradigma ekologi spiritual-holistik dalam melihat alam dan tentu mendesain kebijakan ekologis yang tepat untuk melestarikan alam dalam jangka panjang.
Tetapi, ini tak mudah karena semua stakeholder harus memiliki kapasitas, pengetahuan dan seni untuk mencintai alam tanpa batas dan pamrih. Tentu, semuanya belum terlambat sebab better late than never. Generasi muda Sumbar harus di depan menyuarakan keprihatian dan janji ekologis ini.
ADVERTISEMENT