Konten dari Pengguna

Budaya Populer dan Cultural Studies

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
6 September 2023 15:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Musik sebagai budaya pop. Foto: https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Musik sebagai budaya pop. Foto: https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
Budaya populer telah menjajah kita. Budaya populer demikian masif di mana-mana, mulai dari konser dangdut Koplo, festival tradisi keagamaan dan kenegaraan, pagelaran konser musik rock dan jazz, komik, anime, novel, film, penggemar klub sepak bola hingga drama Korea. Kita seolah tak bisa lagi berpaling dari budaya populer hari ini.
ADVERTISEMENT
Budaya populer adalah budaya yang disukai oleh banyak orang (Williams, 1983). Tetapi, budaya populer selama ini dipersepsi secara peyoratif sebagai jenis budaya yang lebih rendah, kosong makna dan sekadar bertujuan komersial.
Namun, budaya populer dalam pandangan cultural studies sesungguhnya bukan hanya sekadar menjual isu popularitas tanpa isi dan menciptakan penggemar, melainkan sebuah fenomena politik keseharian dan pertarungan hegemoni budaya.
Cultural studies mengubah pandangan kita terhadap makna budaya yang esensialis, elitis, sakral dan seolah jauh dari kehidupan sehari-hari serta tidak boleh dimiliki para kawula (Storey, 2014; 2021).
Menurut Turner (1996), budaya populer adalah tempat di mana konstruksi kehidupan sehari-hari dapat diperiksa. Tujuan dari melakukan ini bukan hanya secara akademis sebagai upaya untuk memahami suatu proses atau praktik, tetapi juga secara politis untuk memeriksa hubungan kekuasaan yang membentuk kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, budaya populer membuka pintu bagi kita untuk menyelami secara mendalam proses produksi budaya itu sendiri. Cultural studies mengajarkan kita untuk melihat secara objektif dan empiris setiap aspeknya, agar kita dapat mengapresiasi atau mencounternya (Storey, 2014).
Setiap budaya populer memiliki dimensi mendalam yang sangat bergantung pada politik pemaknaannya atau cara individu mengartikannya secara subjektif. Hal inilah yang membuat budaya populer bersifat mitologis dalam pengertian Barthesian (Storey, 2021), menjadi politis dan berfungsi sebagai medan pertempuran kuasa hegemonik (Storey, 2014).
Setiap karya budaya populer jika dianalisis secara objektif dan empiris melewati sirkuit kebudayaan yaitu produksi, representasi, identitas, konsumsi dan regulasi. Proses produksi menandakan upaya dan proses mematerialkan ide yang abstrak agar bernilai.
ADVERTISEMENT
Lalu ketika ide itu telah menjadi utuh dan konkret, ia berubah menjadi produk. Produk ini bisa mewujud dalam ragam bentuk representasi, mulai dari seni tradisional, festival keagamaan, musik pop, dancing, film, fashion hingga produk media digital yang lagi booming melalui konten Instagram dan Tiktok dst.
Tahap berikutnya dari sirkuit kebudayaan adalah pembentukan identitas yang muncul dari adanya representasi budaya pop. Setiap budaya pop memberi identitas baru kepada penggemarnya. Banyak penggemar yang membentuk identitas baru dengan berperilaku dan memilih trend fashion sesuai dengan budaya pop yang digemari.
Ilustrasi Wibu. Foto: Ameer Mussard-Afcari/Shutterstock
Seorang Wibu akan menyukai identitas yang berkaitan dengan budaya populer Jepang misalnya anime, komik dan cosplay dst. Demikian pula, seorang K-Popers akan menyukai identitas terkait budaya populer Korea misalnya drama Korea, Dance Korea, grup musik Korea dst.
ADVERTISEMENT
Tahap selanjutnya adalah proses konsumsi budaya yang dilakukan oleh penggemar. Proses konsumsi budaya populer inilah dalam waktu lama menciptakan budaya penggemar (fandom). Setiap budaya populer memiliki penggemar yang lahir secara alami karena merasa terhubung dengan karya budaya populer tersebut. Di titik inilah lahir adagium, aku mengkonsumsi maka aku ada.
Tahap terakhir dalam sirkuit budaya adalah regulasi budaya pop, di mana adopsi budaya ini mengikuti norma dan nilai-nilai masyarakat serta hukum yang berlaku secara kontekstual.
Komik dan anime dianggap sebagai industri kreatif di Jepang. Drama dan dance diapresiasi di Korea. Dangdut dianggap musik yang bagus di Indonesia. Tentu, proses ini membantu melegitimasi budaya populer untuk dikonsumsi oleh penggemarnya secara nyaman dan tak melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Contoh sederhana untuk menggambarkan proses produksi dan representasi budaya populer ini adalah lagu Komang yang diciptakan oleh seniman dari Indonesia Timur, Raim Laode. Raim mengungkapkan gagasannya melalui lirik yang menghibur. Kemudian, lagu tersebut direpresentasikan melalui berbagai media seperti YouTube, TikTok, dan Spotify.
Lalu, identitas yang muncul dari lagu Komang ini adalah lirik tentang manusia yang harus memiliki cinta universal. Menurut Raim, lagunya dibuat untuk semua kalangan yang memiliki cinta di hati.
Dari sisi konsumsi, penggemar lagu Komang telah mendengar lagu tersebut jutaan kali di media sosial seperti YouTube dan Spotify. Bahkan, Raim Laode sebagai pencipta dan penyanyi lagu telah mengadakan konser di berbagai tempat di Indonesia.
Budaya pop dalam pandangan cultural studies paling tidak mengajarkan bahwa tidak ada budaya yang tiba-tiba lahir dari langit tetapi melalui proses yang konkret dan subjektif. Semua budaya setara dalam nilai subjektifnya. Setiap budaya tergantung pada cara individu mengartikannya dalam konteks ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
Dalam cultural studies, tidak penting mempersoalkan benar atau salah dalam selera budaya populer. Tetapi, yang penting, memaknai identitas dan kepentingan di balik selera budaya populer itu. Mengapa seseorang menyukai atau membencinya dst.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah apakah menjadi penggemar budaya populer membuat seseorang terhegemoni atau malah sebaliknya mendapatkan pencerahan dan pembebasan?
Ketika generasi muda menggemari Grup K-Pop, seperti Seventeen, Black Pink, atau BTS, apakah mereka hanya menjadi pengikut tanpa pemikiran, atau justru sedang menjalani proses pembebasan diri dan penemuan jati diri mereka?
Tak ada jawaban pasti sebelum memeriksa secara hati-hati dan empiris para penggemar itu. Bagi sebagian orang, penggemar budaya populer K-Pop mungkin dianggap naif. Namun, bagi generasi milenial dan Gen-Z, tidak ada yang lebih memikat daripada K-Pop.
ADVERTISEMENT
Musiknya membangkitkan semangat, tariannya dinamis, dan artis-artis penyanyi dan dramanya memikat dengan pesona ketampanan dan kecantikan mereka. Bahkan, seringkali penggemar budaya K-Pop merasa menjadi The New One setelah mengkonsumsi Budaya K-Pop.
Budaya populer adalah cerminan pertarungan identitas dalam kehidupan sehari-hari yang kontekstual di mana budaya populer itu hadir dan dikonsumsi. Cultural studies membantu memahami fenomena budaya ini untuk menggali makna kekuasaan yang lebih sepele, mikro, dan hegemonik dalam kehidupan sehari-hari. Selamat merayakan kehadiran budaya populer di mana-mana.