Di Balik Rutinitas Debat Scopus di Indonesia

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
14 April 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jurnal. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jurnal. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Debat rezim Scopus (publikasi di jurnal bereputasi tinggi) di kalangan dosen di Indonesia hampir selalu muncul ke permukaan setiap tahun. Ada pro dan kontra. Salah satunya adalah tulisan baru dan viral dari dosen filsafat Universitas Pelita Harapan, Fitzerald Kennedy Sitorus, yang berjudul “Rezim Scopus dan Skandal Akademik” sebagai respon terhadap tulisan yang baru dipublikasikan oleh media online yang relatif terpercaya yaitu www.retractionwatch.com tentang anomali seorang dosen Indonesia, Kumba Digdowiseiso, Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Nasional, Jakarta, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Memang laporan media online www.retractionwatch.com tidak mengaitkan prestasi 160 buah publikasi Kumba Digdowiseiso hanya di tahun 2024 ini dengan rezim Scopus, tetapi kehendak nalar filsafat Fitzerald Kennedy Sitorus mencoba memberi konteks lahirnya anomali ini sebagai dampak domino dari adanya pressure sistem pendidikan dan irasionalitas penelitian di Indonesia yang salah satunya adalah kewajiban menerbitkan hasil penelitian saintifik di jurnal sains bereputasi tinggi.
Mari kita coba telisik sedikit konteks yang diinginkan oleh Fitzerald Kennedy Sitorus. Saya termasuk akademisi jalan tengah yang rajin mengamati hampir setiap tahun pro-kontra ini. Mereka yang pro adalah mayoritas dosen-dosen sains eksakta karena mereka relatif konfiden dan kuat berkompetisi jika memaksakan diri dan pandai bermain. Tapi, tidak semua dosen sains eksakta setuju dengan rezim Scopus.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya yang kontra berasal dari mayoritas dosen sosial humaniora karena tidak cukup kuat berkompetisi apalagi harus memaksakan diri. Tapi, sama halnya dengan watak dosen sains eksakta, tak semua dosen sosial humaniora menolak scopus. Yang pintar dan lincah apalagi alumni luar negeri, tentu akan tetap mencoba menari di atas titian tali Scopus.
Jika melihat produktifitas ilmuwan di seluruh dunia, dosen-dosen sains eksakta sangat produktif karena keilmuan mereka yang sangat potensial dikembangkan, apalagi jika anggaran penelitian besar dan hal-hal terkait administrasi dan birokrasi cenderung mudah dan tidak mengancam. Hal ini yang terlihat jelas dalam dunia penelitian sains di Amerika, Eropa dan di Jepang.
Di Jepang misalnya, seperti yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri terhadap kawan-kawan saya yang melakukan penelitian di dunia sains eksakta, mereka begitu menikmati penelitiannya dengan anggaran yang besar dan fasilitas penelitian yang serba lengkap. Apalagi, dosen-dosen yang meneliti ini begitu mendapatkan kepercayaan penuh dari professor pembimbing penelitian dan institusi penelitiannya. Tentu, target riset harus jelas dan berorientasi pada hasil yang sangat teruji secara saintifik.
ADVERTISEMENT
Gambaran sistem penelitian doktoral ini tentu tak berbeda dengan ekosistem penelitian dosen-dosen di Jepang yang melakukannya penuh dedikasi karena fasilitas, anggaran, administrasi dan ekosistem yang mendukung.
Di Indonesia bagaimana? Entah bagaimana menjelaskan akar persoalannya. Saya mengenal beberapa dosen-dosen sains eksakta di luar negeri yang mengambil jenjang doktoralnya terlihat begitu menikmati penelitian doktoralnya karena fasilitas yang lengkap, anggaran penelitian yang mengucur seolah mata air yang jernih, kepercayaan yang tinggi dari professor pengasuhnya, dan administrasi birokrasi yang serba 5 (lima) menit termasuk hal-hal terkait keuangan, dan tentu saja ada space waktu untuk traveling, kuliner dan healing.
Setelah pulang ke Indonesia, mereka terlihat kurang nyaman dengan minimnya fasilitas, anggaran yang terbatas dan penuh dengan kecurigaan, dan belum lagi administrasi yang serba mengekang.
ADVERTISEMENT
Nah, dalam kondisi yang penuh rintangan dan ketidaknyamanan inilah, para dosen-dosen Indonesia berusaha bekerja dan melakukan penelitiannya dengan penuh dedikasi dan semangat nasionalisme.
Satirnya, di samping rintangan di sektor penelitian yang hanya memiliki anggaran terbatas (jika lumayan banyak, kadang tak masuk akal syarat-syaratnya. Juga umumnya hanya bisa diakses oleh dosen-dosen senior yang memiliki jam terbang tinggi), fasilitas penelitian yang serba kawe (terutama penelitian sains eksakta), dan administrasi yang mengekang, para dosen peneliti dihadapkan pada tugas-tugas lain di sektor pengajaran dan pengabdian yang rintangan strukturalnya relatif sama.
Sebuah meme yang sering beredar di Facebook dosen Indonesia menggambarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh para dosen Indonesia. Gambar itu adalah gambar manusia dengan seribu tangan yang menggenggam tugas dan tanggung jawab kemanusiaan dan profesionalnya sebagai dosen Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dosen Indonesia harus mengisi absen setiap hari, mengajar dan menguji sebanyak mungkin mahasiswa S1, S2 dan S3 demi rupiah remunerasi, melakukan penelitian demi mengisi lembar BKD (Beban Kerja Dosen) dan demi mendapatkan uang tambahan, melakukan pengabdian juga demi laporan lembar BKD dan uang tambahan, tak lupa memburu jabatan karena hanya dengan jabatan dan kekuasaan maka dosen-dosen bisa melakukan loncatan revolusioner yang dapat melampaui rintangan struktural dan material yang ada selama ini.
Para sarjana adalah pewaris semangat ilmiah era Yunani dan era pencerahan. Foto: https://www.istockphoto.com/
Tentu di balik kesatiran ini, sesungguhnya menjadi dosen di Indonesia adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa jika sudah bergelar doktor, memiliki kekuasaan berupa jabatan di dalam kampus, pangkat yang dicapai minimal Lektor dan bertugas di universitas negeri. Inilah awal kenikmatan material dosen-dosen di Indonesia. Langkah selanjutnya tinggal survive mengikuti sistem medioker pendidikan dan penelitian di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Progres positif lainnya, ada beberapa universitas negeri yang relatif bisa adaptif membangun tradisi penelitian yang relatif bagus dan menjanjikan di tengah rintangan struktural pendidikan dan penelitian di negeri ini. Misalnya Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada dan semacamnya. Dosen-dosen peneliti di universitas-universitas ini relatif mendapatkan ekosistem saintifik yang jauh lebih baik dibandingkan banyak perguruan tinggi swasta di negeri ini, yang hidup segan, mati tak mau.
Alhasil, dosen-dosen yang terlihat secara deliberatif melontarkan debat Scopus dan anti-Scopus setiap tahun sesungguhnya hanya merepresentasikan watak kritis akan ketidakadilan dan irasionalitas struktur pendidikan dan penelitian di Indonesia. Wujudnya salah satunya adalah permintaan tinggi untuk memamerkan hasil penelitian di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi, tetapi prakondisi gagal diciptakan berupa anggaran penelitian yang tanpa batas dan inklusif, fasilitas yang mumpuni dan inklusif, waktu riset yang panjang dan rasional untuk sebuah hasil penelitian yang akurat dan saintifik, administrasi keuangan yang seharusnya mengawal lahirnya sebuah penelitian yang sangat akurat dan saintifik.
ADVERTISEMENT
Tentu, ada dosen yang bisa mengikuti dan mengejar target ini dalam keterbatasan terutama dosen-dosen sains eksakta atau dosen sosial humaniora yang memang pintar dan berlatar lulusan universitas bagus di luar negeri, tetapi sebagian besar dosen secara rasional tidak akan bisa melakukan itu kecuali dengan melakukan manuver politik publikasi.
Anda bisa membayangkan dosen-dosen swasta yang lulus S2 dan S3 dengan bantuan ghost writer atau sekadar ingin memiliki gelar, tak terbiasa dengan tradisi riset yang berkualitas, tak pernah hidup dalam ekosistem riset yang merupakan warisan modernitas Barat, diminta untuk menulis jurnal Scopus. Anda yang menjawabnya. Terima kasih