Film dan Novel Buya Hamka: Belajar Nasionalisme dari Popular Culture

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2023 13:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah aktor dan aktris film bersiap di acara Premiere Film Buya Hamka di XXI Epicentrum, Jakarta, Minggu (9/4/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah aktor dan aktris film bersiap di acara Premiere Film Buya Hamka di XXI Epicentrum, Jakarta, Minggu (9/4/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang 17 Agustus, ide tentang nasionalisme bergaung di mana-mana: di kantor, di sekolah, dan di media—baik media massa maupun media sosial. Bung Karno telah jauh hari menggaungkan ide nasionalisme ini dalam praksis perjuangan nasional dan dalam tulisan-tulisannya.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (2016), Bung Karno mengutip Ernest Renan, Karl Kautsky, Karl Radek dan Otto Bauer untuk menekankan nasionalisme sebagai ideologi perjuangan bangsa Indonesia.
Nasionalisme sangat penting dari sisi politik dan agama. Dari sisi politik, nasionalisme adalah alat untuk memerdekakan diri dari penjajah sejak masuknya kaum serakah ini mencari sumber rempah-rempah dan sumber daya alam yang kaya di negeri ini.
Bangsa luar menyebut Indonesia sebagai surga yang eksotis. Mereka datang untuk mengeruk kekayaan alam kita di bawah todongan senjata dan bahkan secara politik mendidik kaum pribumi—yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer—untuk dijadikan alat mengontrol dan menjajah bangsa sendiri.
Nasionalisme adalah ide modern yang digaungkan oleh Bung Karno dan para pejuang pergerakan nasional untuk memerdekakan Indonesia pada tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Dari sisi agama, nasionalisme adalah bagian dari iman, hubbul watan minal iman. Ungkapan slogan yang sering dipopulerkan oleh kaum NU yang juga mengilhami K.H. Abdul Wahab Hasbullah, ulama modern pendiri NU dan surat kabar Soeara NO, untuk menciptakan lagu Yaa Lal Wathan yang berisi lirik-lirik cinta tanah air.
Menurut K.H Ma'ruf Amin, Wapres Jokowi, slogan nasionalisme hubbul wathan minal iman disarikan dari hadis nabi tentang kecintaannya kepada kota Madinah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Nabi pernah berdoa, Ya Allah jadikan kami cinta kota Madinah sebagaimana cinta kami kepada Makkah, atau melebihi Makkah (H.R. Al-Bukhari).
Namun, nasionalisme juga dapat dipelajari dari popular culture seperti film dan novel. Popular culture dapat menjadi media transfer nilai termasuk ide nasionalisme yang paling efektif hari ini jika melihat dampak signifikan dari Anime Jepang dan film Drama Korea di kalangan anak-anak dan remaja.
ADVERTISEMENT
Salah satu novel dan film yang baru saja rilis adalah novel biografi Buya Hamka pada tahun 2021 dan film Buya Hamka vol. 1 pada tahun 2023 ini.
Novel dan Film Buya Hamka ini dapat memberi gambaran mendasar dari jiwa nasionalisme Buya Hamka, sekaligus membantu menyambung beberapa puzzle kehidupan politik dan agama dari Buya Hamka yang masih misteri dan jarang diperbicangkan di ruang publik selama ini.

Novel Buya Hamka

Buya Hamka. Foto: Wikimedia Commons
Novel "Buya Hamka" memaparkan lika-liku perjalanan hidup sosok Hamka dengan gambaran yang relatif komprehensif. Novel biografi ini ditulis oleh Ahmad Fuadi seorang novelis yang juga telah menulis trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Ahmad Fuadi melakukan riset kurang lebih dua tahun secara mendalam sejak tahun 2019 untuk menuliskan novel ini.
ADVERTISEMENT
Dalam novel tersebut, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka direpresentasikan sebagai sosok putra dari ulama yang masyhur di ranah Minang yaitu Haji Rasul, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Haji Rasul sendiri adalah murid spesial dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, sosok ulama masyhur asal Sumatera Barat yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram.
Haji Rasul sangat terobsesi untuk menjadikan Hamka sebagai ulama besar penerusnya dengan sistem tradisional dan berharap kelak ke Makkah belajar agama seperti dirinya di bawah bimbingan ulama-ulama Islam yang pandai dan dalam ilmunya.
Tetapi, Hamka rupanya memilih jalan memutar dan lebih tampak pergolakan pemikiran dan jiwanya sejak kecil hingga menjadi seorang aktivis Islam yang berjuang di tengah-tengah masa pergolakan menuju kemerdekaan Indonesia 1945.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya Hamka menjadi ulama legendaris di Indonesia, tetapi dalam plot yang penuh drama kehidupan. Sangat besar kemungkinan, pengaruh pamannya, Angku Muaro, yang pandai bercerita dan perpisahan ayah dan ibunya di saat masih kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan diri dan pergolakan hidup Hamka yang tak biasa dan dinamis, yang terlihat dalam pilihan-pilihan hidupnya.
Dalam masa pergolakan dan pergerakan nasional, Hamka dikenal sebagai jurnalis, penulis, pujangga revolusi, aktivis dan pemimpin Muhammadiyah, sahabat Bung Karno, dan juga oposisi soft terhadap dominasi PKI di era Orde Lama.
Hamka melintasi beragam generasi dan mengalami masa perubahan menuju kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya mencakup era liberal dan terpimpin Sukarno hingga era Soeharto. Meskipun pendekatannya lebih moderat, realitas keras kehidupan politik dan agama tetap tergambar dalam perjalanan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu momen epik yang mencerminkan komitmen nasionalisme Hamka adalah ketika ia menerima nasihat dari Agus Salim di Makkah. Ia memutuskan kembali berjuang di tanah air dengan kemampuan menulis, pidato dan pemahaman agama yang ia miliki, daripada melanjutkan pendidikannya yang nyaman dan damai di Makkah.
Ini tentu saja pilihan sulit, tetapi bisa menggambarkan keinginan besar Hamka terlibat dalam proses politik di masa pergolakan untuk mengakhiri kolonialisme di Indonesia.
Hamka dalam novel ini juga menjadi lambang penyatuan antara agama dan pergerakan, dan relatif mampu secara praksis menjembatani arah dari konflik politik dan tujuan utama dari agama. Pandangan optimisnya terhadap kemerdekaan sejalan dengan sikap Bung Karno saat menghadapi era pendudukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Keduanya memilih jalur diplomasi untuk mencapai tujuan nasional. Bahkan Bung karno pernah berujar terus terang ke Hamka bahwa kalau Bung Karno bekerja sama dengan Jepang secara politik bukanlah semata-mata untuknya, tetapi untuk kepentingan rakyat yang ia cintai (Novel Buya Hamka, halaman 222).

Film Buya Hamka

Foto First look film Buya Hamka. Foto: Dok. Falcon Pictures
Tak jauh berbeda dengan Novel Buya Hamka, Film Buya Hamka volume 1 adalah ikhtiar yang tulus dalam menampilkan Hamka secara komprehensif dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi yang juga telah berhasil menjadikan film Dilan 1990 sebagai box office di Indonesia dengan penonton lebih dari enam juta penonton. Film Hamka sendiri hingga pertengahan 2023 menurut cinepoint, penontonnya telah mencapai angka satu juta lebih penonton (Muhamad, 2023).
ADVERTISEMENT
Film Hamka sangat serius menjelajahi narasi-narasi penting perjalanan hidup Hamka. Namun, tidak bisa diabaikan bahwa film ini memiliki kekurangan secara teknis dan konten. Secara teknis, penggambaran karakter Hamka dan Raham saat memasuki usia tua terkesan mengganggu imajinasi penonton.
Penggunaan makeup yang berlebihan dan tak natural seakan mengurangi kesan otentisitas dari karakter tersebut. Sedang dari sisi konten, terjadi perbedaan tafsir melihat posisi Hamka di hadapan kolonial Jepang antara hero dan pragmatis.
Walau demikian, sebagai tokoh utama dalam pergerakan Muhammadiyah, pemimpin redaksi surat kabar di Medan, dan figur kunci pada masa pendudukan Jepang masih tercermin dengan jelas dan telah menampilkan nasionalisme Hamka secara utuh.
Ia menjadi individu yang dihormati oleh penjajah dan sangat kontributif dalam pergerakan nasional. Presiden Sukarno pun sangat mengapresiasi berbagai pendekatan politik Hamka di masa kolonial. Hamka telah memperlihatkan cara menjadi ulama pejuang.
ADVERTISEMENT
Tetapi, kontradiksi film dan novel Buya Hamka terlihat janggal. Di dalam film, Buya Hamka ditampilkan begitu powerful dengan menolak pemberian mobil dari jenderal Jepang setelah kalah dari sekutu.
Sedangkan di novel, Hamka menerima tawaran mobil Jenderal Jepang untuk dijadikan tunggangan ke Kota Bukit Tinggi untuk mengamankan keluarganya dari kekacauan pasca kalahnya Jepang. Tentu, kelanjutan film ini dalam Buya Hamka volume 2 harus memenuhi harapan publik dengan memberikan keajaiban dan pencerahan baru terkait sosok Buya Hamka.
Alhasil, Hamka telah menunjukkan jalan hidup dan nasionalisme yang unik dengan menjadi seorang pejuang, penulis dan pujangga revolusioner sejak masa pergerakan nasional hingga menelurkan karya-karya besarnya yang kini banyak menjadi rujukan ilmiah. Hamka, salah seorang nasionalis sejati.
ADVERTISEMENT