Konten dari Pengguna

Jalan Kebenaran Sains dan Agama

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
5 Februari 2024 13:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awalnya sains modern dikembangkan oleh Descartes (1596-1650) dari metode membangun jarak dengan realitas antara subjek manusia sebagai res cogitans dan objek alam sebagai res extensa. Metode membangun jarak inilah yang kemudian perlahan melahirkan metode deduksi rasional (Rasionalisme) dan induksi empiris (Empirisme).
Sains modern menjadi jalan manusia memahami realitas dan mengembangkan kehidupan modern. Foto: https://www.istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sains modern menjadi jalan manusia memahami realitas dan mengembangkan kehidupan modern. Foto: https://www.istockphoto.com
Metode Rasionalisme dan Empirisme dipegang teguh oleh ilmuwan hari ini sebagai jalan sains. Metodologi keilmuan modern melalui jalan rasionalisme dan empirisme dianggap satu-satunya jalan metodologi keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, sekelompok ilmuwan mencoba menggugat kemapanan metodologi sains yang dipengaruhi oleh paradigma Cartesian dan Newtonian ini. Mereka di antaranya adalah Paul Karl Feyerabend yang menganjurkan metodologi yang relatif anarkis dalam memahami realitas, Oppenheimer dan Schrodinger yang berkutat dengan fisika relativitas dan kuantum, dan Fritjof Capra yang mencoba menggabungkan sains fisika modern dengan kebijaksanaan spiritualisme timur untuk menawarkan paradigma holistik dalam memahami realitas.
Dalam pandangan Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla (2021), sains dan agama dapat membawa kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya keduanya berada di level yang setara. Sains tidak lebih unggul dari agama dan begitupun sebaliknya, agama memiliki relasi yang bisa melengkapi sains.
Tentu, bahasa agama sangat komplek dan melampaui bahasa sains yang terobsesi dengan rasionalisme. Untuk mengerititik agama, kata Hadidar Bagir (2021), harus benar-benar mampu memahami bahasa agama secara utuh dan fair. Anda tak bisa menjatuhkan agama dengan kepentingan yang subjektif atau memberikan pandangan dari ketidaktahuan. Jika anda tak ada waktu memahami bahasa agama, maka harus bersikap seperti Stephen Hawking yang mencukupkan diri dalam sains tanpa menjatuhkan agama.
ADVERTISEMENT
Bagi Ulil Abshar Abdalla (2021), agama malah tak bertentangan dengan sains sama sekali dalam tradisi keilmuan dan filsafat Islam. Ini dibuktikan oleh filsuf awal Islam seperti Ibu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd yang mewarisi semangat Aristotelian dari era Yunani kuno yang mengembangkan embrio sains modern dari Ilmu Kedokteran, Biologi, Fisika, Matematika, Astronomi, Politik hingga Musik dsb.
Agama hanya bermasalah dengan sains di dunia Barat karena tekanan Gereja yang cenderung anti-sains karena menganggap sains merusakan akidah gereja. Penemuan Fisika Modern dan Ilmu Biologi Darwinian makin memperkuat posisi sains Barat yang sekuler dan tak membutuhkan Tuhan untuk menjustifikasi nalar manusia.
Metode agama dalam memahami realitas berbeda dari sains modern, tetapi ini tak berarti agama lebih rendah dari sains. Foto: https://www.istockphoto.com
Alhasil, agama dan sains dapat membawa kepada kebenaran. Dalam lintasan sejarah, ada benturan dan kerjasama antara sains dan agama karena faktor politik dan kekuasaan. Tetapi, sejatinya keduanya dapat membawa kepada kebenaran dan tidak saling menegasi.
ADVERTISEMENT