Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Minke, Nyai Ontosoroh, dan Kehancuran Mitos Kolonial dalam Novel Bumi Manusia
21 September 2023 5:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Novel Bumi Manusia adalah kisah tentang orang-orang pribumi yang berjuang keras untuk menyingkap identitasnya dan menjadi percaya diri di tengah pergolakan hidup yang terjadi di tanah airnya pada awal abad ke-20 di bawah kolonialisme. Novel ini memiliki cerita menarik yang penuh dengan intrik dan konflik manusiawi.
ADVERTISEMENT
Novel Bumi Manusia mengeritik representasi yang salah, penyesatan, dan identitas yang stagnan dari stereotip kolonial dan orientalis, serta hubungan biner yang menyatakan bahwa baik masyarakat maupun individu pribumi yang terjajah memiliki inferioritas yang kompleks yang sulit diubah dan bahkan tidak dapat mengatasi konflik dalam kehidupan mereka.
Kaum Pribumi tidak dapat mengubah diri mereka, bahkan ketika mereka menjadi korban dari diskriminasi dan marginalisasi tatanan kolonial.
Dalam konteks ini, novel karya Pramudya Ananta Toer ini memainkan peran penting dalam memecah stereotip yang dikonstruksi oleh kolonialisme dan orientalisme.
Minke dan Nyai Ontosoroh adalah contoh nyata dari bagaimana individu dari budaya pribumi tidak hanya mampu menghadapi konflik dalam hidup mereka tetapi juga mampu mengubah diri mereka untuk melawan ketidaksetaraan dan diskriminasi.
Minke awalnya mengagumi budaya modern dan superior dari negara kolonial, tetapi seiring berjalannya waktu dan pengalaman yang dia alami yang mengorbankan istrinya, Annelies, maka dia menyadari ketidakadilan dan diskriminasi yang diterapkan pada penduduk pribumi.
ADVERTISEMENT
Hal ini mendorong Minke untuk berjuang melawan kekuasaan kolonial meneguhkan hak-haknya paling asasi sebagai manusia. Minke berkata dalam novel ini bahwa sekali dalam hidup, setiap orang harus memilih. Jika tidak, ia tidak akan menjadi apa-apa.
Nyai Ontosoroh, di sisi lain, awalnya mungkin terlihat sebagai simbol wanita tradisional yang patuh dan menjadi gundik dari seorang kolonial. Namun, karakternya berkembang seiring berjalannya cerita, dan dia menjadi kritis terhadap praktik kolonial yang merampas hak-hak dan martabat dirinya, putrinya dan anak menantunya. Dia juga menunjukkan kemampuan untuk bertransformasi menjadi sosok yang kuat dan mandiri serta menginspirasi.
Novel ini dengan tegas menunjukkan bahwa identitas tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang dan berubah dalam merespons pengalaman hidup dan ketidakadilan. Ini adalah kritik terhadap pandangan stereotip bahwa penduduk asli adalah entitas statis yang tidak mampu berubah atau berkonflik.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, novel ini membuktikan bahwa individu dapat menjadi agen yang berubah, dan berjuang keras untuk hak-hak mereka, bahkan dalam konteks kolonial yang keras.
Identitas pribumi bukanlah identitas yang stagnan atau terkungkung dalam stereotip kolonial, tetapi dapat berkembang, bertransformasi, dan melawan ketidaksetaraan. Ini adalah pesan penting dalam konteks wacana poskolonialisme dan perjuangan untuk hak asasi manusia yang adil.
Novel ini tampaknya cukup adil dalam mewakili identitas pribumi yang memiliki intelek dan alasan, hidup dalam konflik dan kemelut sejarah kemudian bangkit untuk berjuang demi hak-hak mereka agar bertahan hidup dan tidak mendapatkan diskriminasi dan marginalisasi.
Namun, identitas Minke dan Nyai Ontosoroh adalah identitas yang hibrid. Terlihat bahwa kisah kehidupan Minke dan Nyai Ontosoroh sama dengan kehidupan normal manusia lainnya yang tampak kadang-kadang biasa dan fluktuatif secara bergantian.
ADVERTISEMENT
Awalnya berjalan tanpa masalah, lalu muncul masalah, kemudian secara bertahap ada ketegangan sebagai akibat dari konflik, dan akhirnya menjadi lebih realistis, matang, dan bertahan hidup sebagai alternatif solusi. Itulah yang terjadi pada Minke dan Nyai Ontosoroh.
Konflik sebagai bagian yang melekat dalam identitas manusia yang akan mengubah identitas tersebut menjadi identitas hibrid di bawah tatanan kolonial dan semangat pribumi. Dalam konteks ini, konflik adalah bagian penting dari kehidupan manusia dan sangat alami dalam perjalanan hidup. Tetapi, beradaptasi dengan keadaan yang dominan.
Di sinilah kelemahan diskursus orientalisme karena sangat bertentangan dengan kehidupan manusia yang dinamis dan reflektif terhadap waktu dan ruang. Sesungguhnya siapa pun termasuk manusia pribumi seperti Minke dan Nyai Ontosoroh tidak mungkin stagnan ketika mereka memiliki intelek dan rasa dalam menghadapi beberapa masalah dalam hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dalam novel ini, identitas terutama Minke & Nyai Ontosoroh sangat hibrid di bawah tatanan kolonial dan etos pribumi yang kritis. Identitas seperti itu secara tidak langsung mendekonstruksi, menggantikan, dan merevisi beberapa stereotip dan mitos kolonialis dan orientalis yang naif.