MK Di Antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Kepalsuan

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
22 April 2024 9:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Esok adalah sejarah dan masa depan hukum kita. Rakyat Indonesia akan disuguhkan sebuah diskursus keadilan atau dramaturgi elit di balik keputusan PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Tetapi, kita sedikit ragu apakah MK berani memutuskan perkara ini dengan hati nurani dan nalar hukum yang paling adil dan bijaksana. Akademisi dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, malah melihat MK paling berani hanya akan berkompromi dengan memerintahkan pemilihan ulang (PSU).
Palu keadilan hakim MK menjadi penentu masa depan demokrasi di negeri ini. Foto: www. pexels.com
Sebaliknya, Refly Harun sebagai pengacara 01 Amin di sidang PHPU Pilpres mencoba memberi dorongan moral kepada hakim MK untuk berani mendiskualifikasi kandidat yang cacat prosedural dan menjadi bagian dari politisasi pemilu Pilpres 2024.
Beberapa hari sebelumnya, Megawati menulis khusus di Harian Kompas (8/4/2024) sebuah tulisan yang menggugah berjudul "Kenegarawanan Hakim Konstitusi" juga dalam rangka memberikan kekuatan moral kepada hakim MK agar berani memutus perkara sengketa pemilu Pilpres 2024 ini secara adil. Megawati menekankan betapa keputusan hakim MK ini menjadi petanda terang atau gelapnya demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, nasib Indonesia di tangan hakim MK.
ADVERTISEMENT
Tak tanggung-tanggung pula, banyak kalangan yang mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan demi menguatkan MK untuk mendorong supremasi hukum dan menegakkan fundamen filsafat konsitusi kita yang hanya memiliki satu tujuan yang jelas yaitu menegakkan keadilan hukum walau langit runtuh.
MK menyatakan amicus curiae terhadap perkara sengketa pemilihan presiden atau Sengketa Pilpres 2024 telah mencapai 52. Namun, hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae yang telah dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami.
Namun, tekanan politik kekuasaan Jokowi dan budaya kompromi elit yang tinggi yang dapat menekan posisi hakim MK membuat sebagian kalangan pesimis dan melihat proses mencari keadilan di MK sebagai sekadar gimik semata. Semua telah diorkestrasi dari atas kursi kekuasaan elit. Ini persis tak ubahnya dengan orkestrasi yang mematikan isu hak angket terkait pemilu 2024 kemarin.
ADVERTISEMENT
Alhasil, esok adalah wajah yang nyata dari pembangunan sektor hukum kita, apakah hukum di negeri ini masih bagian dari demokrasi kriminal atau demokrasi yang sejati dan menjanjikan masa depan. Nasib Indonesia tentu ada di tangan hakim MK, apakah menjadi Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menegakkan konsitusi yang berkeadilan di negeri ini atau malah menjadi Mahkamah Kepalsuan yang sekadar menjadi media untuk memelihara kepalsuan elit di negeri ini.