Konten dari Pengguna

Museum Buya Hamka di Danau Maninjau Sebagai Kenangan dan Pariwisata Budaya

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
12 April 2024 14:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak masih di tingkat SLTA, saya telah membaca buku Buya Hamka, Tasauf Modern, dan mendengar drama radio yang disadur dari karyanya yang berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck." Hamka tentu saja sosok yang sangat fenomenal. Anak ulama besar yang pernah mencoba menjadi wartawan di era kolonial Jepang seraya menjadi aktivis Muhamadiyah lalu kemudian di usia kematangannya kembali total ke khittah garis darah keulamaan yang diturunkan oleh ayahnya, Haji Rasul, dan bahkan pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia di zaman Suharto.
Penulis bersama keluarga berfoto dengan salah satu anak bungsu Buya Hamka, Amir Syakib, di dalam museum Buya Hamka. Foto: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Penulis bersama keluarga berfoto dengan salah satu anak bungsu Buya Hamka, Amir Syakib, di dalam museum Buya Hamka. Foto: Penulis
Kemarin, 11 April 2024, saya mengunjungi museum Buya Hamka yang terdapat di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Nagari di sekitar nagari ini terkenal dengan nama Nagari Maninjau. Dari lokasi parkir mobil saja, telah terlihat hamparan luas danau Maninjau yang luas dan indah.
Danau Maninjau terlihat jelas dari kawasan museum Buya Hamka. Foto: Penulis.
Di depan gerbang museum, ada penjual buku-buku karya Buya Hamka dan juga ada yang berjualan baju kaos bergambar Buya Hamka. Saat masuk, ada tangga yang menanjak ke atas menuju rumah berkarakter budaya Minangkabau, yang dijadikan sebagai lokasi utama museum Buya Hamka. Jadi, museum ini lokasinya di atas bukit kecil.
ADVERTISEMENT
Museum ini memiliki tangga kayu yang pendek untuk mencapai ruangan utama museum. Saat tiba di ruang utama museum kita melihat berbagai jejak peninggalan Buya Hamka dari foto-foto hingga tongkat dan kitab yang telah ditulisnya. Di bagian dalam kamar tidur yang terdapat dalam museum ini, ada berbagai baju-baju muslim yang menggambarkan profil busana Buya Hamka.
Jejak karya dan penghargaan untuk Buya Hamka dipamerkan dalam museum Buya Hamka. Foto: Penulis.
Saat di dalam museum, saya bertemu dengan salah satu anak Buya Hamka dan muridnya yang terlibat dalam pengelolaan museum. Mereka berdua mengenang Buya Hamka sebagai sosok yang hebat dan patut diteladani.
Menurut anak dan muridnya, museum Buya Hamka berada di ketinggian sekitar lima meter dari posisi jalan raya dan langsung menghadap ke arah danau Maninjau. Arsitektur Rumah Gadang yang khas Minangkabau membuatnya menjadi bangunan yang berbiaya tinggi dan banyak dibantu oleh pengusaha Malaysia yang memiliki kedekatan khusus dengan Buya Hamka semasa hidup.
Salah satu kitab karya Buya Hamka, Kitab Mujarobat, tentang ragam doa perlindungan dan penyembuhan. Foto: Penulis.
Museum ini mulai dibangun pada tahun 2000 dan diresmikan tahun 2001 oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Zainal Bakar. Ada tulisan besar “Museum Rumah Kelahiran Buya HAMKA” yang letaknya di tebing, berhiaskan tatanan bebatuan. Museum ini mengkhususkan diri pada koleksi benda-benda peninggalan Buya Hamka.
Ragam tongkat Buya Hamka juga dapat dilihat dalam museum Buya Hamka. Foto: Penulis.
Alhasil, mesum Buya Hamka adalah rumah yang ditempati oleh ulama legendaris ini sejak lahir hingga sebelum pindah ke Padang Panjang. Adanya museum ini bukan hanya mengabadikan kenangan baik tentang Buya Hamka, tetapi juga menjadi bagian dari pariwisata budaya yang berdampak sosial ekonomi bagi masyarakat di Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT