Konten dari Pengguna

Pemikiran Revolusioner Gramsci, Shariati, dan Bung Karno untuk Gen Z Indonesia

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
25 Juli 2024 11:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung karno adalah pemikir revolusioner yang berjuang nyata untuk rakyat Indonesia. Foto: https://www.istockphoto.com/
zoom-in-whitePerbesar
Bung karno adalah pemikir revolusioner yang berjuang nyata untuk rakyat Indonesia. Foto: https://www.istockphoto.com/
ADVERTISEMENT
Tak ada intelektual yang begitu menarik dielaborasi bagi anak muda yang kritis dan para aktivis sosial politik melebihi Antonio Gramsci, Ali Shariati, dan Bung Karno. Ketiganya adalah intelektual revolusioner yang membawa misi ideologis yang konkret. Apa persamaan ketiganya dalam pemikiran politiknya?
ADVERTISEMENT
Jika Gramsci mencoba menganalisis faktor kegagalannya bersama Partai Komunis Italia melawan Fasisme dan memberikan resep dosis tinggi berupa politik praktis untuk setiap intelektual revolusioner demi memperbaharui strategi perlawanan dan perjuangannya yang bertujuan memperjuangkan kaum subaltern/massa yang tertindas (McNally, 2015).
Ini tak berbeda dengan Shariati dan Bung Karno yang juga berkontribusi dalam mendesain pemikiran politik yang revolusioner dan konkret. Shariati terlibat secara nyata dalam perjuangan revolusioner menjatuhkan rezim politik Pahlavi di Iran pada tahun 1979, sedangkan Bung Karno terlihat jelas di dalam pergumulan politik berjuang bersama rakyat memerdekakan Indonesia dari hegemoni dan kebiadaban rezim kolonial.
Ketiga pemikir revolusioner ini, Gramsci, Shariati, dan Bung Karno, memainkan politik posisional yang strategis (war of position) dalam menkonter politik dominan dan secara strategis berikhtiar membangun kesadaran politik massa (war of movement) yang awalnya termarjinalkan kemudian menjadi kekuatan massa revolusioner.
ADVERTISEMENT
Jadi, Gramsci secara jelas memandang politik adalah praktis konkret dalam memperjuangkan kaum subaltern yang tereksploitasi dan terpinggirkan. Politik bukan sekadar ide filosofis yang tak mengakar dalam perjuangan politik yang nyata. Hanya saja kekuatan dominan elite politik, misalnya para elite Fasis di Italia kala itu, akan mempertahankan hegemoni politik Fasisme yang membuat massa rakyat kehilangan kesadaran kelas. Ini tak berbeda dengan para buruh pabrik, komunitas adat, kaum marjinal lainnya yang tertindas karena terhegomoni oleh ideologi elite mereka (McNally, 2015).
Tak berbeda, Shariati juga secara konkret mendorong intelektual untuk mengenali dan mendekati masyarakat demi membangkitkan kesadaran perlawanananya (Shariati, 1995). Tetapi, Shariati berbeda dengan Gramsci yang dipengaruhi oleh pemikiran Marxian dan Leninis, Ia mendasarkan pemikiran politiknya kepada kesadaran Tauhid yang menggerakkan perlawanan politik revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan-kekuasaan yang menindas kemanusiaan yang hakiki dan keadilan yang sejati. Shariati membangun filsafat eksistensial yang lebih spiritual dan menggerakkan perlawanan di atas tradisi Islam (Byrd adn Miri, 2017).
ADVERTISEMENT
Bung Karno pun selalu berorientasi jelas dan konkret bukan hanya membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme, tetapi membangun proyek revolusi permanen dalam memperjuangkan kaum kecil yang disebutnya sebagai proyek Marhaenisme. Marhaenisme adalah politik konkret memperjuangkan nasib kaum kecil yang tertindas di negeri ini (Pribadi, 2023).
Alhasil, pemikiran revolusioner Gramsci, Shariati dan Bung Karno adalah permata pemikiran yang sangat berguna bagi Gen Z menjalani politik kehidupan yang konkret dalam keberpihakan yang jelas untuk rakyat tertindas di mana pun, terutama di negeri bernama Indonesia.