Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tujuh Tradisi Ilmu Komunikasi
10 September 2023 5:40 WIB
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Banyak yang berpendapat bahwa ilmu komunikasi itu mudah karena setiap manusia dapat berkomunikasi secara natural. Tentu, saja anggapan ini benar jika yang dimaksud adalah kemampuan berbicara secara alamiah sebagai potensi alamiah manusia.
Tetapi, anggapan ini kurang benar jika kita melihat dari sisi akademik bahwa ilmu komunikasi adalah kompleksitas hasil dari kompilasi ilmu pengetahuan yang dikumpulkan secara sistematis, empiris dan metodologis.
ADVERTISEMENT
Segala hal terkait dengan dimensi komunikasi manusia dan masyarakat termasuk media yang digunakan dalam sepanjang peradaban manusia dari zaman purba hingga era digital kontemporer diteliti dalam ilmu komunikasi.
Secara filosofis dan akademik, Robert T. Craig (1999) dan James A. Anderson dan Geoffrey Baym (2004) memetakan tradisi teoretis yang dapat digunakan untuk membaca fenomena komunikasi di era digital ini secara mendalam.
Paling tidak, ada tujuh tradisi ilmu komunikasi yang dapat dijadikan pintu untuk memasuki dan mengenali lebih dalam sisi filosofis ilmu komunikasi yaitu retorika, semiotika, fenomenologi, sibernetik, sosial-psikologis, sosial budaya, dan kritis (Littlejohn, Foss, Oetzel, 2017).
Dengan memahami tujuh tradisi teoretis ini, generasi Millenial dan Gen-Z dapat lebih menyelami kedalaman ilmu komunikasi di era digital ini dan tidak mudah termanipulasi dan salah paham.
ADVERTISEMENT
Pertama, retorika. Dalam kajian retorika, ilmu komunikasi bertujuan mendiskusikan segala daya dan upaya manusia untuk menjadikan setiap praktik komunikasinya baik verbal dan non-verbal sebagai alat dan seni untuk meyakinkan lawan bicara baik individu maupun kelompok, komunitas atau publik yang lebih besar.
Namun secara spesifik, retorika adalah seni berbicara dan berwacana di depan khalayak luas. Retorika penting agar penyampaian lebih berseni dan meyakinkan.
Pidato Sukarno bisa menjadi contoh praktik retorika yang baik. Pidato Sukarno berapi-api dan membuat yang mendengarnya tersihir dan bersemangat untuk berjuang.
Sayangnya, retorika kini identik dengan sekadar aksi memanipulasi kata. Saat ini ilmu komunikasi membutuhkan pesan yang dilandasi nalar dan argument yang benar.
Mungkin titik tengahnya adalah menjadikan retorika sebagai cara untuk menyampaikan pesan yang berbasis pada data yang benar atau digunakan untuk kepentingan pragmatis misalnya menjadi MC dan Host yang menarik dan meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, semiotika. Dalam kajian semiotika, komunikasi manusia diperiksa secara filosofis dari lautan tanda yang mereka gunakan. Fokus analisisnya adalah bagaimana manusia berkomunikasi dengan tanda sebagai entitas paling filosofis dari bahasa.
Ketika seseorang mengucapkan kata anjing maka itu berarti orang tersebut boleh jadi sedang menyatakan seekor hewan yang berkaki empat yang dapat menggongong dan umumnya dipelihara oleh pecinta binatang.
Tetapi secara semiotik post-strukturalis, anjing bisa berarti makian yang menandakan bahwa orang tersebut sedang kesal atau marah. Ini tak berbeda ketika seseorang pemuda memberikan seorang pemudi bunga mawar maka bunga mawar secara konotatif di sini bukan sekedar tumbuhan, tetapi ungkapan rasa cinta yang romantis.
Ketiga, fenomenologi. Fenomenologi melihat pengalaman sebagai aspek esensial dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, berkomunikasi diteliti sebagai fenomena pengalaman manusia yang memiliki makna yang sangat tergantung kepada orang yang mengalami.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian Engkus Kuswarno (2013) misalnya memperlihatkan fenomena komunikasi kaum pengemis di Kota Bandung dalam bahasa verbal dan non-verbal yang bernuansa subjektif. Bagi banyak orang, mengemis adalah pekerjaan hina dan dilakukan secara alamiah.
Tetapi, Engkus Kuswarno (2013) memperlihatkan fenomena berbeda kaum pengemis di Kota Bandung di mana sebagian pengemis memiliki konsep diri yang positif dan melakukan pekerjaan dan berkomunikasi kepada calon dermawan secara verbal dan non-verbal dengan manajemen kesan dan komunikasi yang telah disiapkan dengan baik dan teroganisir.
Keempat, sibernetik. Dari sisi tradisi sibernetik, komunikasi dilihat sebagai proses informasi yang pasti. Logika informasi adalah input dan output.
Artinya hasil segala sesuatu didesain dan terukur sesuai dengan pola dan skala input yang diberikan. Ini dapat dilihat bagaimana mesin sederhana beroperasi sesuai dengan desain dan maksud mesin diciptakan.
Tetapi, teori sibernetika ini mengalami perkembangan dan perubahan paradigma dengan kehadiran teknologi Artifical Intelligence (AI) mutakhir yang terlihat seolah-olah bisa beinterakasi melewati watak mesin yang disebut sebagai post-human.
ADVERTISEMENT
Kelima, sosio-psikologis. Tradisi teori sosio-psikologis selama ini dominan dibahas dalam kajian komunikasi secara generik. Tradisi sosio-psikologis adalah teori komunikasi yang secara filsofis dan prinsipil menggambarkan proses komunikasi, interaksi dan saling mempengaruhi antara satu manusia dengan manusia lain dalam kehidupan yang berdampak pada kognisi (nalar), emosi (rasa) dan perilaku manusia yang empiris dan alamiah.
Proses berkomunikasi ini berfokus pada individu dan bisa berlangsung face to face dan bisa juga dengan perantara media dan teknologi informasi.
Namun, fokus utama pengembangan tradisi ini melihat dengan teliti sebab dan akibat tindakan berkomunikasi antarindividu untuk perbaikan kontrol proses komunikasi di masa depan dan menghindarkannya dari manipulasi perilaku.
Dengan kata lain, manusia belajar komunikasi antar individu dari kehidupan dengan melihat dan belajar dari pola kausalitan interaksi antar manusia.
ADVERTISEMENT
Ini mudah dipahami dalam adagium golden rule bahwa jika kamu berkata baik dan menghormati orang lain maka orang lain pun pasti bereaksi dengan berkata baik dan menghormati anda.
Keenam, sosial-budaya. Tradisi teori sosial-budaya lebih melihat komunikasi sebagai proses simbolik yang memproduksi dan mereproduksi pola-pola sosial-budaya yang dianut bersama. Tradisi ini dipengaruhi oleh semiotika, antropologi dan sosiologi.
Komunikasi secara filosofis dalam tradisi ini fokus melihat bagaimana tatanan sosial yang bersifat makro diciptakan, dipengaruhi, dipertahankan, ditransformasi oleh proses-proses interaksi dan komunikasi di level mikro.
Dengan kata lain, lingkungan sosial budaya kita yang bersifat makro dibentuk dan direkatkan oleh kode-kode simbolik dan media komunikasi di level mikro.
Ketujuh, kritis. Tradisi teori komunikasi yang menggambarkan kompleksitas filsafat komunikasi adalah tradisi kritis. Tradis kritis adalah tradisi yang lahir dari penolakan terhadap penyederhanaan komunikasi sebagai sekadar ritual transmisi-resepsi dan sharing makna.
ADVERTISEMENT
Tradisi kritis menolak bersikap netral melihat realitas termasuk praksis komunikasi dan berkomunikasi. Komunikasi seharusnya dipahami sebagai refleksi wacana yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran kritis, menelanjangi kekuasaan dan mendorong keterlibatan untuk beraksi nyata dalan kehidupan sosial.
Komunikasi adalah praksis pembebasan manusia dari struktur ekonomi politik kapitalisme yang menindas, hegemoni kekuasaan elit dan ideologi fetisisme komoditas.
Alhasil, tujuh tradisi teoretis ilmu komunikasi sungguh merepresentasikan secara singkat esensi filsafat komunikasi yang dapat membantu menavigasi dunia komunikasi digital hari ini.