Review - 'Bumblebee' Is The First Heartwarming Transformers Movie

The Shonet
The Shonet adalah platform lifestyle untuk perempuan dan millenials di Indonesia. Yuk kenal lebih dekat di theshonet.com
Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 13:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari The Shonet tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Review - 'Bumblebee' Is The First Heartwarming Transformers Movie
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak seperti banyak so-called cinephile, saya cukup menikmati seri Transformers, tepatnya film pertama, ketiga, dan kelima. Walau begitu, pasca The Last Knight hanya memperoleh $605 juta (terendah di antara semua film), saya setuju bahwa franchise ini butuh arah baru. Di bawah arahan Travis Knight (Kubo and the Two Strings) sang CEO studio animasi Laika, Bumblebee, yang bertindak selaku prekuel, terbukti menghembuskan angin segar (dan hati). Siapa sangka film Transformers mampu tampil hangat bagai pertemuan The Iron Giant dengan Herbie?
ADVERTISEMENT
Bumblebee dibuka oleh pertarungan di Cybertron, saat Autobot dipukul mundur setelah perlawanan mereka dipatahkan Decepticon. Masih menampilkan baku hantam antar robot yang berubah bentuk, tapi keriuhan penuh ledakan dan robot metalik berkarat (baca: Bayhem Signature) digantikan pertarungan rapi serta tampilan jernih yang lebih dekat ke gaya animasi. Warnanya lebih mencolok, aksinya lebih mudah dilihat, dengan kadar kehancuran dan kebrutalan yang ditekan. Tapi bukan itu saja modifikasi yang Knight bawa.
Atas perintah Optimus Prime (Peter Cullen), Bumblebee (Dylan O'Brien) terbang ke Bumi guna menyiapkan markas baru bagi Autobot sebelum melancarkan serangan balik. Di Bumi, Bee bertemu Charlie (Hailee Steinfeld), gadis remaja tomboi yang tak mempedulikan jerawat di dahi dan gemar mendengarkan musisi-musisi seperti A-ha, Rick Astley, sampai The Smiths (filmnya berlatar tahun 80-an). Sikap Charlie yang semaunya (dan keluwesan Steinfeld melakoninya) membuat saya terpikat sejak pandangan pertama. Akhirnya ada karakter manusia menyenangkan di film Transformers.
ADVERTISEMENT
Charlie tampak ceria di luar, namun tidak demikian di dalam. Pasca kematian ayahnya, ia kesulitan beradaptasi. Rutinitas memperbaiki mobil yang dahulu jadi hobinya bersama sang ayah tak lagi mampu diselesaikan, loncat indah berhenti ia lakukan, pun Charlie kesal melihat sang ibu (Pamela Adlon) telah bahagia bersama suami barunya, Ron (Stephen Schneider). Tanpa ayahnya, bukan saja mobil yang tak mampu Charlie perbaiki, juga lubang dalam hatinya.
Permasalahan tersebut jadi pijakan naskah karya Christina Hodson (Shut In, Unforgettable) membangun dasar hubungan manusia-mesin. Volkswagen Beetle yang Charlie bawa dari pusat rongsokan ternyata adalah Bee yang kehilangan memori serta suaranya akibat pertarungan terakhir. Charlie tentu terkejut, tapi menariknya (akibat kerusakan memori), Bee lah yang lebih merasa takut.
ADVERTISEMENT
Knight membuat Bee tampak seperti anjing kecil lucu yang ketakutan lewat gestur dan mata, bahkan saat ia sedang berdiri jauh di belakang fokus kamera. Bee dalam film ini terasa lebih hidup, lebih bernyawa ketimbang robot lain (termasuk dirinya sendiri) di film-film Transformers sebelumnya. Itulah alasan persahabatan Charlie-Bee bermakna. Keduanya memiliki hati, dan seiring berjalannya waktu, saling membantu menyembuhkan satu sama lain.
Charlie memperbaiki kerusakan Bee, termasuk memberinya suara baru lewat frekuensi radio, pula nantinya berani melawan sepasukan tentara demi menyelamatkan sahabat barunya itu. Sementara Bee membantu Charlie mengalahkan sakit hati untuk kembali menjadi diri lamanya. Bumblebee bukan sekadar cerita seorang remaja yang berubah “keren” karena menemukan robot-mobil dan berhasil menggaet perhatian gadis populer (Go to hell, Sam!). Faktanya, love interest Charlie justru seorang kutu buku canggung bernama Memo (Jorge Lendeborg Jr.).
ADVERTISEMENT
Keseluruhan alurnya dibagi dua: 1) Eksplorasi kisah pertemanan, dan 2) Plot khas Transformers mengenai menyelamatkan dunia. Jenis alur kedua merupakan aspek terlemah film ini. Hodson bagai terjebak kewajiban, kurang tertarik mengolahnya, sehingga menghasilkan paparan medioker, mudah ditebak, dan datar, khususnya saat para militer bodoh kembali terlibat. Bahkan John Cena sebagai Jack Burns tak sanggup menyelamatkan mereka.
Tidak perlu khawatir, sebab elemen itu cuma menyita sedikit waktu. Bumblebee lebih sering bertahan di skala kecil, mempresentasikan perjalanan menyenangkan yang meliputi usaha Charlie mengajari Bee bersembunyi atau membalas dendam pada seorang gadis “jahat”. Benar bahwa naskahnya tidak menyuntikkan hal baru, tapi tujuannya jelas, sederhana, dan terpenting, berhasil dicapai. Bumblebee ingin penontonnya menyukai kedua protagonis, dan itulah yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Daya tarik diciptakan melalui hal kecil alih-alih cerita besar yang terlampau rumit, sampai-sampai filmnya tersesat sendiri. Ambil contoh sewaktu Bee penasaran dengan benda-benda di sekelilingnya, yang membua saya pun penasaran menanti kelucuan apa yang bakal ia lakukan berikutnya. Dan untuk pertama kali, saya tertawa lepas menyaksikan humor milik seri Transformers berkat kecanggungan serta keluguan sang robot tituler berwarna kuning.
Knight mengganti suasana “akhir dunia” kesukaan Bay (yang harus diakui efektif membangun intensitas aksi) dengan sense of wonder ala Steven Spielberg lewat musik gubahan Dario Marianelli (Pride & Prejudice, Kubo and the Two Strings, Darkest Hour). Biarpun Knight belum menyempurnakan sentuhan Spielbergian miliknya (kemampuan menguras air mata penonton lewat drama), Bumblebee tetap sajian hangat yang mengingatkan akan karya-karya klasik Spielberg. Akhirnya ada film Transfomers yang tidak membuat saya berharap karakter manusianya tewas, atau lebih baik lagi, hilang dari eksistensi.
ADVERTISEMENT
RATING: 4/5