Konten dari Pengguna

Review - 'Glass' (Hampir) Membawa Shyamalan Kembali Ke Titik Nadir

The Shonet
The Shonet adalah platform lifestyle untuk perempuan dan millenials di Indonesia. Yuk kenal lebih dekat di theshonet.com
17 Januari 2019 13:55 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari The Shonet tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Review - 'Glass' (Hampir) Membawa Shyamalan Kembali Ke Titik Nadir
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Unbreakable (2000) dan Split (2016) sukses berkat kemampuan menyembunyikan jati diri sebagai kisah asal muasal jagoan dan penjahat super, sehingga kejutan khas M. Night Shyamalan pun berhasil menghentak. Keduanya menyimpan “senjata” lain. Ketika Unbreakable adalah character-driven thriller sedangkan Split merambah area horor psikologis dengan pendekatan b-movie, Glass total berusaha menjadi “film pahlawan super bernuansa realistis yang unik”. Setidaknya unik menurut sang sutradara.
ADVERTISEMENT
Di sini Shyamalan bagai pria yang tinggal di basemen rumah orang tuanya, berpikir dirinya seorang jenius yang melakukan gebrakan, tanpa tahu bahwa ide briliannya telah dianggap familiar oleh dunia luar. Glass adalah film yang terlambat dirilis satu dekade. Sekadar mengingatkan, konsep pahlawan super membumi, crossover, dan sentuhan meta kini sudah umum, wahai Mr. Night.
Setelah David Dunn (Bruce Willis) muncul di penghujung Split, akhirnya kita berkesempatan melihatnya bertemu Kevin (James McAvoy) si lelaki dengan 24 kepribadian, termasuk The Beast yang brutal. Pertemuan itu terjadi kala David—sekarang dipanggil The Overseer—tengah menyelidiki berbagai kasus penculikan gadis remaja. Tapi penantian akan konforntasi perdana mereka berujung mengecewakan, karena seperti telah kita saksikan dalam The Last Airbender (2010) dan After Earth (2013), Shyamalan bukan ahlinya menangani adegan laga.
ADVERTISEMENT
Dia pun menyadari itu, dan segera membawa Glass menuju teritori kekuasaannya, tatkala David dan Kevin ditangkap, lalu dijebloskan ke rumah sakit jiwa yang dikepalai oleh Dr. Ellie Stape (Sarah Paulson). Tempat itu juga jadi kurungan bagi Elijah Prince alias Mr. Glass (Samuel L. Jackson). Sang dokter percaya bahwa mereka mengidap delusions of grandeur, atau dengan kata lain, segala kekuatan yang ketiganya punya bukanlah kenyataan.
Disusun menggunakan tempo lambat khas Shyamalan, babak keduanya berpotensi menghasilkan psikoterapi penuh intrik, namun Shyamalan kentara tak menyimpan cukup ide guna menghasilkan naskah yang layak bagi film berdurasi lebih dari 2 jam. Setidaknya ada satu momen menarik, kala Dr. Ellie mengumpulkan tiga pasiennya, lalu menyampaikan hipotesis-hipotesis meyakinkan, selaku penjelas mengapa segala aksi superhero itu hanya fantasi.
ADVERTISEMENT
Tapi itu saja. Mayoritas babak keduanya sebatas selingan agar Shyamalan bisa memasukkan adegan provokatif di atas. Sisanya lemah. Kita sudah melihat cukup banyak eksplorasi bagi karakter David dan Mr. Glass di Unbreakable, demikian pula Kevin dalam Split. Apa yang Glass berikan cuma tambahan detail-detail minor. Dan sebagai suguhan berjudul “Glass”, film ini urung menyediakan porsi memadahi bagi sang dalang kejahatan tituler.
Sewaktu Bruce Willis lagi-lagi “tidur berjalan” sepanjang durasi alih-alih menampilkan akting subtil kuat serupa di Unbreakable karena memang sudah tak tersisa banyak kisah tentang David untuk diceritakan, James McAvoy menonjol sebagai elemen terbaik filmnya. Melihatnya beralih karakter sekejap mata sungguh memuaskan, terlebih saat McAvoy menaruh perhatian hingga ke detail kecil dalam bahasa tubuhnya. Kita bisa menyadari pergantian kepribadian Kevin hanya lewat perubahan tempo pernapasan McAvoy (Patricia will always be his best, though).
ADVERTISEMENT
Babak akhirnya merupakan kompilasi twist khas Shyamalan dengan showdown antara para manusia super yang dikemas ala kadarnya mengisi di sela-sela. Terdapat satu twist apik, yang—sebagaimana deretan referensi yang ditebar sepanjang film—agar bisa dirasakan dampaknya, anda harus menonton dua film sebelumnya. Sisanya mengecewakan. Shyamalan meluangkan banyak waktu menyiratkan bahwa sebuah kejutan besar bakal datang, hanya untuk memberikan sesuatu yang tak lagi spesial pada masa ketika film superhero setia mengisi layar lebar hampir dua bulan sekali.
Dia berlagak bak ahli “aturan” buku komik, memperlakukan penonton layaknya orang bodoh, dan mempersembahkan konklusi payah yang ia pikir merupakan bentuk world-building dramatis nan cerdas. Ketika elemen pahlawan super dan komiknya gagal, maka demikian pula keseluruhan filmnya. Karena sekali lagi, Glass tak memiliki kamuflase layaknya dua pendahulunya. Ini adalah usaha menciptakan film pahlawan super segar, namun berujung memancing penonton berujar, “That's it???”.
ADVERTISEMENT
RATING: 2.5/5
Artikel ini telah dipublikasikan di: https://movfreak.blogspot.com/2019/01/glass-2019.html