Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Review - 'Green Book' Is A Heartwarming Fight Against Racism And Prejudice
30 Januari 2019 13:20 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari The Shonet tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Meski jauh dari sempurna dan bukan yang terbaik di antara nominasi Best Picture Oscar tahun ini, saya tak keberatan bila Green Book akhirnya keluar sebagai jawara. Penyutradaraan solo kedua Peter Farrelly sejak Dumb and Dumber (1994) ini mengingatkan kepada jajaran pemenang dari masa lalu, khususnya era 80 hingga 90-an, tatkala sajian menghibur nan hangat sekaligus kental pesan positif yang dipaparkan lewat optimisme mendominasi.
ADVERTISEMENT
Ditulis naskahnya oleh Peter Farrelly, Brian Currie (Two Tickets to Paradise), dan Nick Vallelonga (Deadfall, Choker), kisahnya terinspirasi kisah nyata tentang Tony Vallelonga (Viggo Mortensen), pria Italia-Amerika yang menjadi sopir Don Shirley, pianis jazz Afrika-Amerika yang hendak menjalani tur di area Deep South Amerika. Tony, yang tengah mencari pekerjaan sementara pasca kelab malam tempatnya bekerja direnovasi, sebagaimana banyak orang di tahun 1960-an (hell, even until now) menyimpan ketidaksukaan pada kulit hitam.
Masalah terbesar saya dengan Green Book terletak pada caranya mempresentasikan perubahan sikap Tony. Kita sempat melihatnya membuang gelas yang dipakai dua tukang ledeng berkulit hitam minum. Peristiwa itu memotretnya bak “rasis sejati” yang memendam kebencian dan/atau rasa jijik terhadap kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa ia bersedia bekerja untuk Don demi uang, dan sepanjang perjalanan ia kerap melontarkan celotehan stereotipikal, misalnya ekspresi keheranan Tony kala mengetahui Don tidak mendengarkan “black music” atau makan ayam goreng. Tapi dibandingkan aksi membuang gelas, karakterisasinya jelas berubah jauh lebih lembut, bahkan sebelum mengalami pengalaman berharga, yang jadi elemen penting dalam road movie semacam ini.
Andai “adegan gelas” itu tidak ada, atau naskahnya memberi gradasi lebih bagi proses yang terjadi, transformasi Tony bakal jauh lebih berdampak. Tapi di luar lubang tersebut, Green Book menyimpan setumpuk momen hangat meskipun karakternya harus menempuh jalan terjal, berjibaku melawan rasisme serta segala bentuk prasangka.
Film ini pun tampil unik ketika memposisikan dua tokoh utamanya dalam beberapa situasi terbalik terkait kondisi sosial dan stereotip terkait ras di masa itu. Tony si kulit putih menjadi pelayan kasar nan kurang berpendidikan, sedangkan Don memasang sikap yang lebih bermartabat juga bertabur kemewahan. Ketika Don dibanjiri tepuk tangan lewat permainan pianonya, Tony sibuk berjudi bersama para sopir berkulit hitam.
ADVERTISEMENT
Perjalanan ini memantik rasa kemanusiaan Tony seiring banyaknya ia menyaksikan ketidakadilan menimpa Don. Berkebalikan dengan sang bos, Tony tak kuasa menahan luapan emosi. Bukan saja karena ia bersumbu pendek, pula karena tanpa sadar, Tony selalu menikmati hak istimewa sebagai pria kulit putih, yang takkan dibanjiri konsekuensi berbahaya bila berbuat kekeliruan. Bayangkan jika Don yang memukuli seorang pemicu keributan di awal film.
Don paham betul, bahwa untuk bertahan hidup dan lebih dihargai, ia wajib menjaga sikap. Bahkan setelah semua itu pun, sekadar memakai toilet pun ia tetap tak diperkenankan. Don berharap dihormati, tapi pilihan itu justru sering membuatnya serba salah, sebab ia tidak “cukup putih” untuk memperoleh perlakuan layak, pula “kurang hitam” untuk dianggap sebagai satu kaum. Di sinilah naskah Green Book menyentuh area kompleks isu rasisme, yakni mengenai tuntutan menjadi seragam agar bisa diterima dengan tangan terbuka. Bahwa rasisme atau bentuk opresi lain terjadi akibat keengganan manusia merayakan perbedaan. Green Book berusaha melawan prasangka. Bahkan Don—yang acap kali jadi korban—pun terjebak dalam kecenderungan berprasangka.
ADVERTISEMENT
Walau menyinggung subjek sensitif dan cenderung gelap, Green Book sejatinya tontonan crowd-pleaser. Beberapa momen kebersamaan mampu menghangatkan hati, dan tentu saja, serupa film-film Peter Farrelly lain, komedi jadi salah satu menu utama. Tidak seluruhnya tepat sasaran, tapi kreativitas dalam kejenakaan usil Farrelly bukan saja menghibur, juga menguatkan hubungan dua tokoh utamanya.
Berkat chemistry solid Viggo-Mahershala, Green Book menjadi buddy comedy renyah. Keduanya piawai menyeimbangkan porsi drama dan komedi, sambil terus saling melontarkan kelakar yang menjaga dinamika film, terlebih ketika Tony dan Don mulai meruntuhkan tembok pembatas di antara mereka. Berbeda dengan dua tahun lalu, kali ini saya mendukung Mahershala memenangkan Oscar keduanya. Kompleksitas gejolak batin Don sanggup dimunculkan, sambil sesekali memamerkan kemampuannya bermain piano.
ADVERTISEMENT
RATING: 4/5
Artikel ini telah dipublikasikan di: https://movfreak.blogspot.com/2019/01/green-book-2018.html