Konten dari Pengguna

Bencana Alam yang Mengguncang Jepang

Alya Kamila Putri Arifin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga
10 Oktober 2024 9:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Kamila Putri Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Angelo_Giordano on Pixabay (https://pixabay.com/photos/earthquake-rubble-collapse-disaster-1665891/)
zoom-in-whitePerbesar
Angelo_Giordano on Pixabay (https://pixabay.com/photos/earthquake-rubble-collapse-disaster-1665891/)
ADVERTISEMENT
Jepang, terkenal dengan keindahan alam dan budayanya yang menarik perhatian di seluruh dunia. Di balik pesonanya, Jepang juga terkenal sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana alam. Jepang terletak di sepanjang Pacific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, yang merupakan wilayah cincin dengan gempa paling aktif di dunia. Cincin Api Pasifik memiliki panjang 40.000 km dan berisi sekitar 450 gunung berapi. Jepang berada di posisi pertemuan antar empat lempeng tektonik bumi, yakni lempeng Pasifik, Eurasia, Filipina dan Amerika Utara. Berdasarkan posisi geografisnya, Jepang memiliki sejarah panjang terkait bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami.
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara dengan gempa bumi terbanyak di dunia. Sekitar 1.700 hingga 2.000 gempa bumi dapat terjadi di Jepang setiap tahunnya. Hingga 20% dari gempa bumi ini berkekuatan 6 atau lebih tinggi. Jepang telah mengalami beberapa gempa bumi besar dalam sejarah. Pada 11 Maret 2011, sekitar pukul 14:46, terjadi gempa bumi Tohoku di Jepang. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo terjadi sekitar 130 km timur-tenggara Semenanjung Oshikaa di Prefektur Miyagi dengan kedalaman 24 km dari Pantai Sanriku. Ini adalah gempa terbesar keempat di dunia sejak tahun 1900. Gempa ini menyebabkan tsunami yang signifikan melanda Pantai Pasifik, terutama di Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima. Dalam beberapa prefektur, tsunami mencapai ketinggian lebih dari 9,3 meter di Soma Prefektur Fukushima, lebih dari 8,5 meter di Miyako Prefektur Iwate, lebih dari 8,0 meter di Ofunato, dan lebih dari 7,6 meter di Ayukawa City Ishinomaki Prefektur Miyagi. Area banjir seluas 561 km2 tersebar di 62 kota di enam prefektur Aomori, Iwate, Miyagi, Fukushima, Ibaraki, dan Ciba (Wamafma, 2024).
ADVERTISEMENT
Tsunami adalah ombak yang terjadi setelah gempa bumi, gempa laut, gunung berapi meletus, atau hantaman meteor di laut. Namanya berasal dari bahasa Jepang, Tsu berarti "pelabuhan", dan nami berarti "gelombang", yang secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan". Beberapa gejala umum tsunami yang harus diwaspadai termasuk beberapa tanda penting yang dapat digunakan untuk memulai kesiapsiagaan. Salah satu tanda awal adalah gempa bumi kuat, terutama yang terjadi di wilayah pesisir atau bawah laut. Gempa bumi ini sering kali menjadi indikasi bahwa tsunami mungkin terjadi. Perubahan permukaan laut, seperti air laut yang tiba-tiba surut dan meninggalkan garis pantai yang lebih jauh dari biasanya, juga merupakan pertanda penting. Gempa Tohoku pada tahun 2011 menyebabkan tsunami yang mengerikan dengan gelombang setinggi hingga 40 meter, menghancurkan wilayah yang terletak lebih dari 10 km dari pantai dan mencakup 561 km2. Lebih dari 14.8 juta orang terkena dampak gempa dan sarana umum seperti bangunan, jalan, rel kereta, dan jembatan juga mengalami kerusakan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari setelah bencana, gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Tohoku pada Maret 2011 juga menyebabkan beberapa pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima hancur, menyebabkan ledakan. Ledakan ini menyebarkan emisi radiasi dan mengkontaminasi radioaktif. Pemerintah Jepang mengatakan bahwa 177.503 orang terancam terkena radiasi yang sangat berbahaya dalam jarak 20 km dari pembangkit Listrik(Rahma Savitri et al., 2021). Bencana Fukushima digolongkan sebagai kecelakaan nuklir paling serius kedua dalam sejarah, setelah bencana Chernobyl.
Topan di Jepang adalah siklon tropis seperti badai dengan pusaran angin dengan kecepatan lebih dari 200 km/jam di sekitar pusat badai. Topan biasanya terjadi dari Juli hingga Oktober dan biasanya disertai dengan angin kencang dan hujan. Pulau Ryukyu dan Kyushu selalu memperhatikan angin topan di bagian barat Samudera Pasifik. Angin topan muncul di perairan hangat dan dapat membawa hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi ke daratan, menyebabkan banjir dan kerusakan infrastruktur. Sekitar dua puluh hingga tiga puluh topan menghantam Jepang setiap tahunnya. Media Jepang menamai topan dengan nomor daripada nama spesifik. Topan menyebabkan kerusakan yang lebih besar di Jepang bagian barat daripada di pantai timur. Topan hampir selalu bergerak ke timur laut, bermula di Okinawa; akibatnya, Kepulauan Ryukyu terkena dampak yang signifikan selama musim topan tahunan. Meskipun struktur yang lebih kokoh telah membantu mengurangi korban topan dalam beberapa tahun terakhir, topan masih dapat menyebabkan kerusakan dan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Mengingat lokasinya yang rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan angin topan, Jepang memiliki sistem kesiap-siagaan bencana yang terus dikembangkan. Selain itu, pemerintah Jepang menerapkan sistem peringatan dini yang canggih, termasuk sirene dan pesan teks yang dikirim melalui smartphone beberapa detik sebelum bencana terjadi untuk memberikan informasi tentang ancaman yang akan datang secara real-time. Hal ini akan membantu masyarakat mengambil tindakan pencegahan dan evakuasi yang diperlukan untuk menyelamatkan diri sebelum bencana terjadi. Metode sistematis yang digunakan di Jepang untuk mempersiapkan orang untuk menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami dikenal sebagai pelatihan evakuasi. Jepang secara teratur mengadakan simulasi bencana yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat hingga sekolah dan lembaga pemerintah. Berbagai pihak, termasuk sekolah, sektor swasta, dan lainnya, melaksanakan pelatihan menghadapi bencana.
ADVERTISEMENT
Penanganan bencana tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada organisasi atau instansi terkait; sebaliknya, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari instansi terkait hingga ke lapisan masyarakat yang berbeda. Saat Bencana Gempa dan Tsunami melanda Prefektur Fukushima pada 11 maret 2011, dilaporkan bahwa satu sekolah berhasil menerapkan pelatihan mitigasi bencana setiap tahunnya. Peristiwa tersebut akhirnya dikenal sebagai The Miracle of Kamaishi. Pada hari bencana terjadi, SD dan SMP Kamaishi, yang berada di Prefektur Iwate, berhasil menyelamatkan diri dari bencana tsunami dan selamat. Geografisnya, sekolah tersebut hanya berjarak 500 meter dari garis pantai, yang juga merupakan lokasi yang mungkin terjadi bencana tsunami (Widiandari, 2021).
Pada 11 Maret 2011, gempa bumi Tohoku berkekuatan 9,0 magnitudo menyebabkan tsunami yang sangat besar yang melanda wilayah pantai, menyebabkan banyak kerusakan dan memicu bencana nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima. Selain itu, topan sering terjadi di Jepang dari Juli hingga Oktober, yang menghasilkan angin kencang dan hujan lebat, terutama di bagian barat negara. Jepang memiliki sistem kesiap-siagaan yang canggih untuk menghadapi ancaman bencana, seperti peringatan dini dan pelatihan evakuasi yang melibatkan masyarakat dan lembaga. SD dan SMP Kamaishi berhasil menyelamatkan diri dari tsunami berkat persiapan yang dilakukan. Selain itu, masyarakat Jepang sangat kuat; solidaritas dan semangat gotong royong sangat penting untuk pemulihan setelah bencana. Jepang telah menunjukkan bagaimana kerja sama dan perencanaan yang matang dapat membantu menghadapi masa krisis. Dalam hal ini, sangat penting untuk memahami cara Jepang menghadapi bencana dan belajar dari pengalaman tersebut untuk membangun masa depan yang lebih aman.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Rahma Savitri, A., Musa Julius, A., Windra Sandi, A., Ali Hakim, F., Widyaningrum, N., Kartika Sakti, S., & Dewa Ketut Kerta Widana Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, I. (2021). Pelajaran Pada Manajemen Bencana di Jepang Untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. NUSANTARA:JurnalIlmuPengetahuanSosial, 8, 142–157. https://doi.org/10.31604/jips.v8i1.2021.142-157
Wamafma, D. (2024). Kondisi Jepang Pasca Gempa Bumi dan Tsunami dalam Ehon “Kataritsugi Ohanashi Ehon 3-gatsu 11-nichi.” Jurnal Sakura : Sastra, Bahasa, Kebudayaan dan Pranata Jepang, 6(2), 232. https://doi.org/10.24843/js.2024.v06.i02.p10
Widiandari, A. (2021). Penanaman Edukasi Mitigasi Bencana pada Masyarakat Jepang. KIRYOKU, 5(1), 26–33. https://doi.org/10.14710/kiryoku.v5i1.26-33