Konten dari Pengguna

Kematian dalam Kesendirian di Jepang

Alya Kamila Putri Arifin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga
20 April 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Kamila Putri Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Anja from Pixabay (https://pixabay.com/photos/woman-train-train-compartment-3478437/)
zoom-in-whitePerbesar
Image by Anja from Pixabay (https://pixabay.com/photos/woman-train-train-compartment-3478437/)
ADVERTISEMENT
Fenomena kodokushi (孤独死), fenomena ini biasanya diterjemahkan sebagai "lonely death" yang secara harfiah berarti "mati kesepian," Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kematian seseorang yang terjadi sendirian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada yang mengetahuinya atau merawatnya. Kodokushi biasanya dialami oleh lansia yang hidup sendiri, yang ditemukan meninggal di rumahnya setelah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, tanpa ada yang tahu bahwa dia meninggal. Fenomena ini mulai dikenal luas setelah gempa besar Kobe pada tahun 1995, ketika banyak lansia yang terisolasi dan tidak memiliki dukungan sosial meninggal dalam kondisi kesepian di tempat penampungan sementara. Kodokushi disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks, termasuk perubahan dalam struktur keluarga, isolasi sosial, peningkatan jumlah rumah tangga satu orang, dan tekanan budaya untuk tidak mengganggu orang lain. Kasus kodokushi di Jepang terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Jepang memiliki harapan hidup tertinggi di dunia, sekitar 83,7 tahun, dikombinasikan dengan penurunan angka kelahiran yang terus-menerus, yang mengubah struktur demografi negara, menurut data dari WHO dan berbagai sumber. Pada tahun 2016, sekitar 27,3% dari seluruh penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, ini membuat Jepang menjadi salah satu negara dengan populasi lansia terbesar di dunia.
Selain itu, pola keluarga mengalami pergeseran yang signifikan. Data menunjukkan bahwa jumlah orang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah tangga satu orang meningkat dari 10,7% pada tahun 1980 menjadi 26,3% pada tahun 2015. Sebaliknya, proporsi lansia yang tinggal bersama anak-anak mereka turun dari 69% menjadi 39% pada tahun yang sama. Selain itu pada tahun 1980, sekitar setengah dari populasi Jepang tinggal di rumah tangga tiga generasi. Namun, pada tahun 2015, angka ini turun drastis menjadi 12,2%.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini membuat banyak lansia hidup sendiri tanpa jaringan sosial yang memadai, yang menyebabkan fenomena kodokushi muncul. Fenomena ini semakin menjadi perhatian karena meningkatnya jumlah lansia yang hidup sendiri dan berkurangnya ikatan keluarga tradisional, yang meningkatkan risiko kematian dalam isolasi sosial.
Meningkatnya tuntutan kesetaraan gender dari kalangan perempuan mempengaruhi penurunan tingkat pendidikan dan kesempatan kerja perempuan. Selain itu, pergeseran ekonomi dari industri ke ekonomi jasa membuat perempuan menikmati hidup sebagai lajang. Sejak pertengahan tahun 1970-an, perspektif yang mendukung keluarga modern secara bertahap melemah, yang ditandai dengan pembagian gender suami pencari nafkah-ibu di rumah tangga.
Perempuan dengan pendidikan tinggi sering kesulitan menyeimbangkan pekerjaan mereka dan tanggung jawab rumah tangga. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% wanita pekerja penuh waktu yang dapat kembali bekerja setelah melahirkan hingga tahun 2000-an. Banyak perempuan menunda pernikahan karena kondisi ini. Penundaan pernikahan ini kemudian menyebabkan penurunan tingkat kelahiran di Jepang, yang menyebabkan meningkatnya lansia di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hanya 11,8 persen dari populasi pada tahun 2021 adalah anak-anak usia 0–14 tahun, sedangkan 28,9 persen adalah orang dewasa berusia 65 tahun ke atas. Kondisi ini menunjukkan masalah demografis yang signifikan, di mana beban sosial dan ekonomi meningkat sebagai akibat dari populasi yang menua dan berkurangnya generasi muda. Selain itu, fenomena ini menyebabkan perubahan dalam struktur keluarga dan peran gender di Jepang. Struktur ini terus berubah seiring dengan upaya pemerintah dan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Evolusi istilah kodokushi dapat dipisahkan menjadi empat fase:
1. 1970-an – 1980-an:
Kodokushi pertama kali muncul dalam laporan media, menggambarkan kematian yang tidak terdeteksi sebagai sesuatu yang mengejutkan (odoroki) atau menimbulkan ketidaknyamanan (iwakan). Pada masa ini, perhatian terhadap kodokushi masih terbatas, meskipun ada beberapa penelitian akademis yang mulai membahas isolasi sosial di kalangan lansia. Tetapi belum menjadi isu yang menarik perhatian public.
ADVERTISEMENT
2. 1990-an:
Setelah gempa bumi Kobe tahun 1995, banyak korban lansia yang meninggal sendirian di tempat penampungan sementara, dan jasad mereka baru ditemukan setelah beberapa hari. Peristiwa ini menarik perhatian media dan menjadikan kodokushi sebagai isu publik yang lebih dikenal, meskipun saat itu fenomena ini masih dikaitkan terutama dengan bencana alam.
3. 2000-an
Media mulai melaporkan bahwa kodokushi bukan hanya terjadi dalam situasi bencana, tetapi juga di lingkungan perkotaan yang dihuni oleh kemiskinan, pekerja tidak tetap, dan pengucilan sosial.
4. 2010-an – Sekarang
Dikemukakan bahwa kematian kesepian tidak lagi terbatas pada dampak bencana atau lingkungan hidup tertentu yang rentan, tetapi bisa terjadi pada siapa saja.
Kasus kodokushi di Osaka meningkat pesat selama pandemi COVID-19, bahkan naik lima kali lipat. Menurut data Kantor Medis Prefektur Osaka, sekitar 1.314 mayat yang tinggal sendirian ditemukan meninggal di apartemen mereka setelah minimal empat hari. Peningkatan ini terkait dengan pembatasan interaksi sosial yang diberlakukan selama pandemi. Akibatnya, mayat orang yang tinggal sendiri tidak langsung ditemukan dan baru diketahui setelah beberapa minggu atau lebih.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kota di Jepang bekerja sama dengan berbagai organisasi seperti polisi, petugas kesejahteraan, relawan, dan NPO untuk memantau kondisi lansia dan mencegah fenomena kodokushi. Pemerintah menyediakan layanan kunjungan pribadi oleh perusahaan swasta yang menawarkan layanan berbayar untuk memantau dan berinteraksi dengan lansia secara rutin, termasuk memantau penggunaan peralatan rumah tangga dan melakukan percakapan untuk mencegah kesepian.
Teknologi juga dimanfaatkan melalui alat pemantauan seperti kamera dan sensor di rumah lansia, yang dapat mendeteksi pergerakan dan aktivitas mereka serta memberi tahu anggota keluarga jika terjadi sesuatu yang mencurigakan. Selain itu, program berinteraksi sosial seperti bergabung dalam kegiatan masyarakat, klub hobi, dan menjadi sukarelawan turut membantu mengurangi risiko isolasi dan keterasingan pada lansia.
ADVERTISEMENT
Salah satu inovasi penting adalah “kartu registrasi keamanan” (anshin tōroku kādo, 安心登録カード) yang berisi data pribadi, kondisi medis, dan kontak darurat lansia yang tinggal sendiri. Kartu ini hanya dapat diakses dalam keadaan darurat dan membantu mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi mengalami kodokushi. Selain itu, proyek patroli pemantauan, seperti (mimamori katsudō, 見守り活動) memantau kondisi lingkungan lansia yang mencurigakan, seperti kotak surat yang penuh, pakaian yang tidak diambil selama berhari-hari, atau lampu yang terus menyala di siang hari. dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda kematian yang tidak terdeteksi.
Selain upaya formal, komunitas juga berperan aktif dalam menciptakan ruang sosial seperti kafe komunitas dan acara rutin, seperti menyanyi, permainan papan, upacara pembuatan mochi, dan hari olahraga yang melibatkan warga lanjut usia, anak-anak, serta mahasiswa. Program ini bertujuan untuk mempererat hubungan sosial dan mengurangi rasa kesepian di kalangan lansia. Melalui kombinasi teknologi, dukungan komunitas, dan partisipasi keluarga, pemerintah Jepang berupaya menciptakan lingkungan yang aman dan penuh perhatian bagi lansia agar mereka tidak lagi merasa sendirian dan terisolasi.
ADVERTISEMENT
Fenomena kodokushi atau kematian dalam kesepian semakin menjadi perhatian di Jepang karena meningkatnya jumlah lansia yang hidup sendiri dan perubahan struktur keluarga. Faktor sosial, ekonomi, dan budaya, seperti isolasi sosial, penurunan angka kelahiran, dan perubahan peran gender dan gaya hidup modern, berkontribusi pada peningkatan kasus ini. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan masyarakat melakukan inovasi seperti penggunaan teknologi pemantauan, layanan kunjungan, dan program komunitas yang bertujuan untuk mempererat hubungan sosial dan mencegah kematian yang tidak terdeteksi.
Dahl, N. (2020). Governing through kodokushi Japan’s lonely deaths and their impact on community self-government. Contemporary Japan, 32(1), 83–102. https://doi.org/10.1080/18692729.2019.1680512
Elsy, P., Wirawan, I. B., & Saptandari, P. (2024). Kodokushi as the Impact of Juggernaut of Modernity in Japanese Hyper-Aging Era. MOZAIK HUMANIORA, 24(1), 28–43. https://doi.org/10.20473/mozaik.v24i1.47981
ADVERTISEMENT