Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Masuk Angin? Kerokan Saja
21 November 2017 12:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Oleh Johanna Debora Imelda
Associate Professor, Universitas Indonesia
Ketika pelayanan medis menjadi barang komoditas, orang akan beralih ke pengobatan tradisional atau alternatif untuk kesembuhannya. Inilah salah satu alasan mengapa orang melakukan kerokan sebelum memutuskan berobat ke dokter.
ADVERTISEMENT
Kerokan populer di negara-negara Asia dan tidak banyak dikenal di benua lain. Bahkan praktik ini tidak ikut berasimilasi walaupun banyak orang Asia bermigrasi ke negara lain. Di Vietnam dan Kamboja kerokan dikenal dengan nama cao gio, sementara dalam bahasa Cina disebut gua sha.
Kerokan dan Masuk Angin
Kerokan termasuk terapi yang dermabrasive (merusak kulit) untuk menyembuhkan gejala masuk angin, seperti mual, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, dan pusing. Gejala masuk angin ini biasanya timbul saat tubuh terganggu oleh udara dingin yang menyempitkan pembuluh darah dan membatasi asupan oksigen di kulit.
Terkadang, reaksi ini hanya terjadi di beberapa bagian tubuh yang spesifik seperti leher dan bagian belakang tubuh. Kerokan berguna untuk memanaskan tubuh dengan menggosok/mengerok bagian tubuh yang terasa dingin.
ADVERTISEMENT
Kulit yang digosok akan terbuka dan menghasilkan tanda merah karena pembuluh darah di bawahnya rusak. Namun, reaksi ini memungkinkan kulit untuk menerima lebih banyak oksigen dalam pembuluh darah untuk kemudian menetralkan zat beracun yang ada di dalam tubuh.
Kenyataannya, kerokan bukanlah cara yang efektif meningkatkan panas tubuh dibandingkan dengan misalnya minum air hangat atau ramuan herbal seperti air jahe. Namun, rasa nyaman sehabis kerokan membuat orang ketagihan melakukan kerokan setiap kali merasakan gejala masuk angin.
Umumnya kerokan diaplikasikan di bagian punggung yang dipercaya memiliki 365 titik akupuntur. Apabila dilakukan dengan tekanan yang tepat di titik-titik tersebut, kerokan mempengaruhi sistem syaraf yang akan memerintahkan otak untuk memproduksi hormon endorfin sebagai reaksi tubuh untuk menahan rasa sakit dengan memberikan sensasi relaksasi.
ADVERTISEMENT
Rasa nyaman ini membuat si penderita bisa tidur nyenyak dan merasa lebih segar setelahnya. Daya tahan tubuh penderita akan meningkat dengan sendirinya setelah tubuh istirahat dengan tidur yang cukup.
Faktanya, gejala masuk angin bisa juga disebabkan karena infeksi virus yang mengganggu sistem pencernaan, pernapasan, dan peredaran darah sehingga timbul demam dan nyeri otot, diikuti dengan bersin dan batuk. Dalam dunia medis, gejala ini dikenal dengan sindrom influenza. Tidak ada satu pun obat yang bisa melenyapkan virus ini.
Virus akan hilang dengan sendirinya dalam 5-7 hari sejalan dengan meningkatnya daya tahan tubuh. Penderita hanya perlu istirahat dengan baik, minum banyak air putih dan makan makanan yang bergizi karena demam menghilangkan banyak energi dan cairan dalam tubuh. Kerokan akan membantu penderita untuk bisa istirahat dengan baik.
ADVERTISEMENT
Walaupun dianggap tidak berbahaya, kerokan membuat si penderita sangat kesakitan. Kerokan bisa menyebabkan komplikasi dan reaksi alergi pada kulit yang digosok terutama untuk kulit sensitif. Apalagi jika uang koin atau alat lain yang digunakan untuk menggosok kulit tidak disterilkan terlebih dulu. Ini bisa menjadi media penularan penyakit, seperti Hepatitis C.
‘Folk belief’ dari Kerokan
Nilai dan kepercayaan adalah alasan mengapa orang Indonesia melakukan kerokan. Di masyarakat, respons terhadap penyakit berakar dalam sistem kepercayaan dan praktik yang memiliki struktur logika tersendiri.
Walaupun dari sudut pandang ilmiah, keyakinan akan penyebab suatu penyakit tidak masuk akal, namun pengobatan dan perawatan dari penyakit tersebut merupakan konsekuensi yang logis dari kepercayaan tersebut. Dalam pengobatan tradisional, seperti kerokan, logika pengobatan diyakini bersama antara penderita dan pemberi layanan karena mereka memiliki sudut pandang dan dasar nilai budaya yang sama.
ADVERTISEMENT
Pengobatan tradisional Indonesia dipengaruhi oleh filosofi Cina sejak abad kelima. Pengobatan Cina meyakini bahwa keseimbangan antara panas (yang) dan dingin (yin) mempengaruhi keharmonisan hubungan antara kondisi spiritual dan fisik dari tubuh dengan alam.
Seseorang akan sakit bila tubuh tidak dalam keadaan yang harmonis dan seimbang. Logika inilah yang diyakini masyarakat Indonesia dalam melakukan kerokan. Kerokan diyakini sebagai praktik untuk mengeluarkan angin dingin penyebab penyakit dengan menggosok kulit di bagian yang terkena angin sampai bagian tersebut terasa panas. Tanda merah di kulit menjadi simbol hilangnya angin dari dalam tubuh.
Keluarnya keringat dan buang angin setelah kerokan juga diyakini menandakan hilangnya angin dingin dalam tubuh manusia. Dalam sudut pandang ilmiah ini irasional dan tidak masuk akal karena tidak mungkin angin bisa keluar masuk tubuh manusia melalui cara tersebut. Tetapi masyarakat mempunyai logika tersendiri dalam menyembuhkan suatu penyakit.
ADVERTISEMENT
Efek Psikoterapis
Pengobatan tradisional yang memiliki dampak psikososial dan psikoterapis membuat orang menjadi kecanduan akan kerokan. Kerokan memerlukan bantuan orang lain karena diaplikasikan di bagian belakang tubuh. Walaupun kerokan lebih mujarab bila dilakukan oleh tukang pijat yang berpengalaman, namun semua orang bisa melakukannya.
Seperti kebanyakan pengobatan tradisional lain, kerokan dipelajari secara turun temurun, biasanya oleh anggota keluarga perempuan, terutama ibu yang dianggap bertanggung jawab atas kesehatan keluarga.
Apalagi selama proses kerokan akan terjadi interaksi dan komunikasi yang memungkinkan penderita mengeluarkan uneg-uneg di luar keluhan akan penyakitnya, seperti persoalan keluarga, ekonomi, politik, gosip di tetangga, dan lain sebagainya. Efek psikoterapis inilah yang membuat orang ketagihan melakukan kerokan lagi dan lagi.
---
Tulisan ini pertama kali terbit di The Conversation . Baca artikel asli.
ADVERTISEMENT