Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bersama Kita Lalui Pandemi Corona
20 Maret 2020 15:47 WIB
Tulisan dari Theofilus Harefa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini hanya sebuah pengamatan sederhana di tengah-tengah merebaknya wabah COVID-19 atau saya singkat saja VIKOR. Sebuah upaya katarsis.
ADVERTISEMENT
Vikor ini yang selama berbulan-bulan rasanya jauh, cuma kita dengar kabarnya saja di media sekarang pelan tapi pasti terasa semakin dekat. Bahkan sangat mungkin sebenarnya Vikor sedang berinkubasi di antara kita dan menunggu waktu untuk say hello!
Social Media Fatigueness
Pengamatan ini bukan untuk membuat orang makin panik. Bukan! Saya pribadi sudah agak lelah mengikuti kabar-kabar yang berseliweran. Buka medsos dan group chat sudah puluhan sampai ratusan pesan menunggu untuk dibuka.
Bila sekedar pesan dan rumor gak masalah buat saya untuk langsung scroll down. Sayang, terselip di antaranya ada kerjaan kantor, tugas diklat atau mention pribadi yang harus saya jawab. Mau tidak mau pesan-pesan itu saya lihat satu persatu. Rasanya seperti orang yang terombang-ambing dalam lautan informasi. Kepala saya tidak henti-hentinya dihantam ombak notifikasi. Menggigil karena badai rumor Vikor belum tahu kapan mereda.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari saja saya sudah mengalami keletihan akibat bisingnya Vikor di medsos. Letihnya ini tidak main-main. Sekarang saya harus membatasi diri untuk berada di luar rumah atau berkumpul dengan teman atau relasi. Ingin berolahraga di luar rumah juga diliputi perasaan was-was.
Balada Social Distancing
Keletihan sosmed ini terpaksa harus dijalani. Untuk menekan penyebaran Vikor banyak negara termasuk Indonesia menghimbau adanya social distancing atau jaga jarak sosial. Praktis hal ini diikuti dengan konsekuensi agar masyarakat diminta bekerja di rumah (work from home/WFH). Memanfaatkan kemajuan teknologi, termasuk medsos, ihwal kirim-mengirim kerjaan atau perlunya tatap muka idealnya bukan hal yang sulit.
Masalahnya, kerja dari rumah tidak semudah kedengarannya. Pertama, banyak kantor belum siap dengan skenario ini. Ada waktu yang dibutuhkan, baik untuk menyiapkan panduan WFH maupun untuk penyesuaian ritme kerja. Belum lagi bagi kantor-kantor pelayanan publik yang memerlukan prosedur khusus. Masyarakat harus tetap terlayani sambil memastikan upaya pencegahan Vikor.
ADVERTISEMENT
Kedua, kerja dari rumah jelas akan berpengaruh terhadap produktivitas. Menerapkan disiplin bekerja seperti di kantor butuh upaya tambahan. Membagi waktu antara tugas kantor dengan memberi perhatian kepada anak-anak yang sedang diliburkan (atau belajar dari rumah) sangat tidak mudah. Kerja dari rumah harusnya dibarengi pengertian dari pimpinan. Sudah jelas ini bukan kondisi ideal. Adakah empati kepada karyawan-karyawan anda wahai pimpinan?
Seorang guru yang saya kenal, misalnya, mengeluhkan bahwa seberat-beratnya mengajar, masih lebih nyaman melakukannya di sekolah daripada dari rumah. Loh, bukannya malah gampang ya? Cukup cuap-cuap di kanal aplikasi tatap muka?
Ternyata para guru mesti menyiapkan rencana mengajar yang baru. Guru juga jadi sedikit kesulitan melakukan evaluasi terhadap murid-muridnya, terutama mereka yang belum dapat belajar mandiri. Lah kita saja yang dewasa gak semua bisa belajar mandiri kok. Belum lagi tidak sedikit orangtua yang kurang berempati kepada para guru ini. Macam-macam tingkahnya. Ada yang mengeluh para guru ini makan gaji buta. Ada juga yang protes karena orangtua kerepotan harus tetap bekerja dan membantu anaknya belajar. Ada juga sih yang di saat ini akhirnya bisa memahami sulitnya jadi guru. Ingat sekali lagi ini bukanlah waktu yang normal.
ADVERTISEMENT
Work From Home, Sebuah Privilege?
Sayangnya, kerja dari rumah tidak bisa dilaksanakan semua pekerja. Gaya kerja ini hanya bisa dilakukan para pekerja kantoran, yang tidak membutuhkan hard skill atau berhubungan dengan logistik misalnya.
Bayangkan saudara-saudara kita yang tidak punya privilege ini. Bagaimana caranya para pengemudi ojek, taksi atau pengantar paket melakukan tugasnya dari rumah? Siapa yang menangani para pasien kalau dokter dan perawat ditugaskan dari rumah?
Jadi walaupun anjuran kerja dari rumah ini tujuannya untuk mengurangi kemungkinan penyebaran Vikor, risiko penularannya masih ada. Mereka yang tidak dapat bekerja dari rumah sangat rentan terpapar. Pun demikian, dengan kantor-kantor disiplin menerapkan kerja dari rumah diharapkan laju penyebaran Vikor setidaknya bisa dikurangi. Jadi walaupun merepotkan dan less productive, yang pertama harus diingat adalah dengan bekerja dari rumah anda ikut membantu sesama agar tidak terpapar Vikor.
ADVERTISEMENT
Masalah Kebiasaan
Sebagai respon Pandemi Vikor, pemerintah telah menerapkan masa darurat Covid-19 hingga 29 Mei 2020. Kurang lebih ini berarti upaya jaga jarak sosial termasuk kerja dari rumah akan berlangsung setidaknya 91 hari. Bisa jadi kalau keadaan segera membaik, kita bisa segera beraktivitas seperti sedia kala.
Lain halnya kalau Vikor masih bertahan selewat masa darurat tadi. Kita memang tidak menginginkan itu terjadi. Namun, tentu harapannya masyarakat bisa disiplin menerapkan jaga jarak sosial. Di sinilah tantangannya. Masyarakat kita yang guyub, demen kumpul-kumpul tidak bisa begitu saja hidup bak manusia purba di gua (baca: rumah) masing-masing.
Sudah banyak kegiatan-kegiatan sosial ditunda atau dibatalkan. Namun, di sekitar tempat saya tinggal, masih ramai saja masyarakat kita lalu-lalang entah untuk jajan dan bercengkerama. Semoga hal ini cuma sementara karena masyarakat masih berupaya membiasakan diri untuk saling jaga jarak.
ADVERTISEMENT
Para pemuka agama telah berupaya mengimbau agar umatnya beribadah dari rumah. Sekali lagi tidak mudah karena ritual keagamaan yang sudah turun-temurun jadi bagian jati diri kita untuk sementara waktu terdisrupsi oleh Vikor. Tapi sebagai bangsa yang religius mestinya kita berupaya sadar bahwa menjaga jarak sosial juga termasuk ibadah. Mengasihi sesama agar tidak saling memaparkan Vikor bukankah sebuah penghargaan kepada Tuhan dan ciptaanNya juga?
Bersama Kita Bisa
Sok dramatis yah? Well, setidaknya saya tidak sedang menyangkal bahwa keadaan masih baik-baik saja. Loh katanya tidak mau bikin panik? Sekali lagi bukan itu tujuan saya.
Di tengah gangguan Vikor ini, saya hanya ingin bilang kalau ada yang merasa letih, terkungkung atau waswas, Anda tidak sendiri. Kita sama-sama merindukan keadaan kembali normal. Maka dari itu tidak ada salahnya kita saling mendukung untuk menjaga jarak sosial, tidak menyebarkan kabar-kabar yang tidak perlu dan tetap tenang.
ADVERTISEMENT
Seruan social distancing rasanya menabrak kodrat kita sebagai mahluk sosial. Tapi dengan bersabar menjalaninya bersama-sama, kita membuktikan solidaritas sebagai sesama umat manusia.
Sesama kita di Wuhan pelan-pelan menata kembali kehidupan mereka. Sekarang giliran kita dan dunia untuk bertahan dan menjadi penyintas. Tapi untuk menuju ke sana segala kesulitan ini dan yang mungkin akan datang harus kita lalui bersama. Semangat! Jia You! Courage!