Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pers Masa Orde Baru dalam Novel Saman Karya Ayu Utami
8 Juni 2022 16:18 WIB
Tulisan dari theresa anindha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pers memiliki sejarah yang cukup panjang dan berpengaruh besar pada masyarakat secara umum. Dalam sejarah Indonesia, pers sendiri berpengaruh besar pada penyebaran informasi terutama dalam segi politik. Masa Orde baru merupakan masa di mana pers menjadi media yang dipolitisasi. Media massa yang seharusnya memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial yaitu mengoreksi, mengkritik, serta mengawasi jalannya birokrasi menjadi tidak berjalan dengan baik dikarenakan pemerintah yang tidak segan-segan memberedel pers yang mengkritik pemerintahan saat itu.
ADVERTISEMENT
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan perwujudan karya sastra di tengah hiruk pikuk pemerintahan Orde Baru. Saman diluncurkan pada 12 mei 1998, sepuluh hari sebelum lengsernya Soeharto. Ayu Utami sendiri yang merupakan jurnalis, merasakan sendiri kesulitan kemerdekaan informasi pada rezim tersebut, dirinya yang merupakan salah satu pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dipecat dari tempatnya bekerja dan tidak berkesempatan bekerja di media massa lagi. Namun, keinginan untuk tetap menulis, membuatnya memutuskan untuk menulis karya sastra ini.
Zaman ini merupakan masa di mana kebebasan pers sangat dikekang pemerintah hingga terdengar slogan "Ketika pers dibungkam, sastra bicara". Novel Saman sendiri banyak mengangkat keresahan penulis di kala masa Orde Baru seperti kebijakan kapitalisme ekonomi Orde Baru, Praktek KKN pada masa Orde Baru, hingga keadaan Pers pada pemerintahan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, Novel Saman bercerita mengenai seorang mantan pastur bernama Saman dan empat perempuan yang bersahabat dengannya. Novel ini diawali dengan gadis bernama Laila yang membuat profil perusahaan Texcoil Indonesia tempat di mana pemuda bernama Sihar bekerja. Perusahaan ini memiliki pimpinan yang otoriter bernama Rosano. Kepemimpinan Rosano yang semena-mena ini sempat mencelakakan pegawai perusahaannya. Hal ini merepresentasikan kapitalisme yang kental di masa ini. Karena merasa hukuman yang diterima Rosano tidak adil, Sihar beserta Laila lalu menemui Saman dan Yasmin yang mempunyai pengalaman di bidang hukum. Yasmin merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada masa Orde Baru yang cukup dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan.
Selanjutnya, diceritakan pula bagaimana Saman mencoba membantu warga Sei Kumbang dari penggusuran oleh PT. ALM dengan mencoba melibatkan pers yang pada akhirnya menyebabkan dirinya disiksa dan akhirnya melarikan diri dari Indonesia. Melalui inilah penulis buku ini menjelaskan keadaan pers pada masa itu, serta pemerintahan yang sangat otoriter dan berpihak pada para pemegang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Peran Pers Sebagai Media Pencari Keadilan
Peran pers salah satunya yaitu untuk menyampaikan isu yang tidak dilihat oleh masyarakat luas, hal ini dapat terlihat dalam salah satu kutipan dalam Novel Saman karya Ayu Utami dalam Novelnya menuliskan
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana peranan media massa atau pers begitu penting untung mengungkap kasus kasus yang ditutupi dan kurang diperhatikan oleh pemerintah. Disini tergambar bagaimana dengan media massa, desakan dari masyarakat dapat semakin gencar dilakukan, apabila masyarakat yang tau, maka kasus-kasus seperti ini akhirnya dapat diperhatikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas menggambarkan peran pers dalam mengangkat isu-isu yang tidak terlihat dan tidak diketahui oleh masyarakat luas. Namun, hal ini tentu saja tidak disukai oleh pemerintah rezim Soeharto yang menganggap hal ini mengganggu stabilitas negara. Pers dan pemerintahan yang awalnya memiliki hubungan yang cukup baik dengan pers yang memiliki kebebasan melaksanakan fungsinya pun semakin lama, semakin dihalangi oleh pemerintahan rezim itu.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan Pers Zaman Orde Baru
Rezim Orde Baru yang semakin lama semakin banyak mendapatkan penolakan oleh kelompok-kelompok masyarakat membuat pers semakin berani menyuarakan kebenaran-kebenaran. Dengan kata lain, pers sebenarnya telah berfungsi menciptakan prakondisi di mana kejatuhan yang dialami Orde Baru telah sedemikian rupa, sehingga justru memberi kekuasaan bagi unsur-unsur masyarakat yang menentang rezim orde baru terlebih lagi ketika krisis moneter mulai menggoyang sumber utama kekuasaan Orde baru, yakni pertumbuhan Ekonomi. Ketakutan-ketakutan yang menghantui Orde Baru yang diakibatkan oleh kebebasan pers, baik daerah maupun kota telah menimbulkan polemik baru.
seperti yang terlihat pada kutipan dibawah ini.
ADVERTISEMENT
Pada kutipan di atas terlihat bahwa penculikan dan penyiksaan terhadap insan pers bukanlah lagi hal yang baru pada masa pemerintahan orde baru. Ayu mengatakan diculik dan disiksa terjadi pada wartawan-wartawan di daerah. Contoh kasus lainnya adalah Penangkapan tiga aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan seorang aktivis Yayasan Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (PIJAR) pada maret 1995. Keempat aktivis itu ditahan polisi di Jakarta karena keterlibatan mereka dalam penerbitan media cetak tanpa SIUPP. AJI menerbitkan majalah tiga mingguan Independen dengan tiras antara 6.000 dan 12.000 eksemplar, sementara PIJAR menerbitkan bulletin kabar dari PIJAR.
Terlepas dari penyiksaan dan penculikan terhadap insan pers, Ayu kembali menguak satu fakta yaitu tentang pemberedelan yang dilakukan Pemerintah terhadap Tempo, Editor dan Detik.
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas terlihat bagaimana Pers rezim Soeharto mengalami pemberedelan salah satunya adalah Koran Tempo dan dua lainnya yaitu majalah Editor dan tabloid politik Detik pada 21 Juni 1994.
Pers Zaman Orde Baru mengalami banyak pasang surut yang melanda, hal ini dikarenakan pemerintah pada masa itu yang memanfaatkannya sebagai salah satu media propaganda untuk menyampaikan pesan-pesan politik pada masyarakat. Pada rezim ini fungsi dari pers sendiri tidak berjalan dengan baik, terlebih dengan terjadinya pemberedelan pemberedelan pada media media yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan Orde Baru. Namun, masa ini telah berlalu, dan saat ini pers sudah dapat melaksanakan fungsinya kembali sebagai salah satu media kontrol sosial yang dapat menjadi media untuk mengkritik pemerintah.
ADVERTISEMENT