Konten dari Pengguna

Ruang Aman bagi Anak Perempuan: Perlindungan di Bayang-Bayang Pelecehan Seksual

Muthi'ah Amatullah
Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
18 Oktober 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muthi'ah Amatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Source : pexels.com
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan, terus menjadi isu serius yang tak kunjung menemukan titik terang. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kekerasan.kemenpppa.go.id) memperlihatkan gambaran yang mencengangkan. Dari 19.813 korban kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2024, 63,1% di antaranya mengalami kekerasan, dan 9.118 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Data ini hanyalah puncak dari gunung es yang tersembunyi, karena masih banyak kasus yang tidak terungkap akibat ketakutan korban untuk berbicara, terlebih jika pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti anggota keluarga, guru, atau kerabat.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan memiliki dimensi yang lebih kompleks, karena seringkali korban menjadi sasaran stereotip dan stigma berbasis gender yang memperparah kondisi. Sebuah kasus yang mencuri perhatian terjadi di Gorontalo, di mana seorang siswi mengalami pelecehan seksual oleh gurunya sendiri. Alih-alih mendapatkan simpati dan dukungan, sebagian masyarakat justru berfokus menyalahkan korban. Banyak yang menganggap bahwa hubungan antara siswi dan gurunya terjadi atas dasar "suka sama suka," menuding bahwa korban tidak layak dibela karena dianggap melakukan tindakan tersebut dengan sukarela.
Pandangan ini menunjukkan bagaimana budaya patriarki masih mengakar kuat di masyarakat kita, di mana perempuan seringkali ditempatkan sebagai pihak yang harus menanggung kesalahan, meskipun mereka adalah korban dari situasi yang jelas-jelas melibatkan kekerasan. Dalam kasus Gorontalo ini, fenomena child grooming—di mana pelaku secara halus memanipulasi korban dan membangun kepercayaan yang salah—menjadi bukti bahwa kekerasan seksual seringkali terjadi dalam bentuk yang tak kasat mata. Namun, masyarakat masih sering menutup mata terhadap kenyataan ini dan memilih menyalahkan korban.
ADVERTISEMENT
Budaya victim blaming terhadap perempuan semakin diperparah dengan narasi-narasi yang merendahkan martabat perempuan. Banyak yang berfokus pada pakaian korban, mempertanyakan mengapa korban "memancing" pelaku dengan cara berpakaian yang dianggap tidak sopan. Di sisi lain, ada pula yang menganggap bahwa korban tidak menjaga diri dengan baik, bahkan mempertanyakan mengapa mereka tidak berteriak atau melawan saat pelecehan terjadi. Pandangan ini benar-benar mengabaikan kenyataan bahwa korban, terutama anak perempuan, seringkali berada dalam situasi yang sangat rentan, di mana mereka tidak mampu melawan atau bahkan menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Hal ini menggarisbawahi betapa rentannya posisi perempuan muda dalam masyarakat kita. Mereka tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga korban dari stigma dan stereotip berbasis gender. Tuntutan agar perempuan menjaga diri sendiri, mengenakan pakaian yang "layak," atau belajar bela diri, seolah-olah tanggung jawab penuh untuk mencegah kekerasan seksual dibebankan kepada mereka. Ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang nyata, karena fokus masyarakat seharusnya tertuju pada pelaku—mereka yang benar-benar bertanggung jawab atas kejahatan ini.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, meskipun perempuan sering menjadi sasaran kekerasan seksual, penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari memadai. Mengutip dari kalbarprov.go.id, Komnas Perempuan melaporkan bahwa banyak aparat hukum masih lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual. Laporan sering kali tidak segera disikapi, atau kasus-kasus yang sudah diajukan justru mandek dalam proses hukum. Fenomena "no viral, no justice" seakan menjadi kenyataan, di mana kasus-kasus yang tidak mencuri perhatian publik dibiarkan tanpa penyelesaian. Situasi ini menambah penderitaan bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, karena mereka tidak hanya harus menghadapi trauma fisik dan emosional, tetapi juga ketidakadilan sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Ruang aman bagi anak-anak dan perempuan adalah sebuah kebutuhan mendesak yang harus diciptakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ruang aman ini bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga mencakup lingkungan sosial dan budaya di mana perempuan dapat merasa dilindungi, dihargai, dan didengar. Ini adalah ruang di mana anak dan perempuan bisa berbicara tentang pelecehan yang mereka alami tanpa rasa takut akan stigma atau pembalasan. Ruang aman ini harus memberikan kebebasan bagi perempuan untuk mengekspresikan diri tanpa khawatir akan dinilai atau dihakimi berdasarkan pakaian atau perilaku mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ruang aman harus mencakup sistem hukum yang tegas dan efektif, di mana setiap laporan kekerasan seksual diproses dengan cepat dan adil. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak, tanpa harus menunggu kasus mereka menjadi viral terlebih dahulu. Edukasi bagi masyarakat tentang pelecehan seksual, terutama tentang bagaimana mengenali dan mencegahnya, juga sangat penting. Masyarakat perlu memahami bahwa pelecehan seksual bukanlah kesalahan korban, dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan tersebut.
Selain itu, pendidikan bagi anak tentang hak-hak mereka, terutama hak atas privasi dan tubuh mereka, harus menjadi bagian dari upaya menciptakan ruang aman ini. Anak-anak perlu diberikan pemahaman tentang batasan-batasan yang tak boleh dilanggar, serta bagaimana melaporkan pelecehan yang mereka alami. Edukasi ini harus disertai dengan dukungan yang kuat dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, agar anak perempuan merasa didukung dan dilindungi.
ADVERTISEMENT
Rehabilitasi psikologis juga menjadi bagian penting dari ruang aman bagi perempuan korban kekerasan seksual. Pemulihan dari trauma membutuhkan waktu dan dukungan profesional, dan pemerintah bersama lembaga-lembaga terkait harus menyediakan layanan yang memadai bagi mereka. Rehabilitasi tidak hanya penting untuk membantu korban pulih, tetapi juga untuk membantu mereka membangun kembali rasa percaya diri dan harga diri yang seringkali hancur akibat kekerasan.
Pada akhirnya, penciptaan ruang aman bagi anak-anak dan perempuan adalah tanggung jawab kita bersama. Dukungan dari keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah harus terjalin erat untuk memastikan bahwa perempuan, terutama yang masih muda, dapat tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta, perlindungan, dan keadilan atas penegakan hukum yang tegas, kita bisa membangun dunia yang lebih ramah dan aman bagi anak-anak, tempat mereka bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka layak untuk dihargai dan dilindungi.
ADVERTISEMENT