Konten dari Pengguna

Kampanye Politik Menggunakan AI: Efisiensi Modern atau Ancaman Etika?

Cynthia Eka Anggraeni
Cynthia adalah Mahasiswa Universitas Pancasila sekaligus penulis naskah film yang memiliki hobi menonton serial anime dan membaca manga.
3 Mei 2025 18:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cynthia Eka Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Properti Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Properti Pribadi.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari terakhir satu iklan kampanye yang mencuri perhatian publik adalah promosi program “Makan Bergizi Gratis” dari pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Iklan tersebut menggambarkan anak-anak sekolah menikmati makanan sehat dalam suasana cerah, bersih, dan penuh kebahagiaan. Namun yang membuatnya unik bukan hanya pesan yang disampaikan, melainkan cara penyampaiannya: visualisasi iklan tersebut dibuat menggunakan kecerdasan buatan atau AI. Penggunaan AI dalam konteks ini menandai perubahan besar dalam cara kampanye politik dijalankan di Indonesia. Teknologi yang selama ini akrab di dunia desain, hiburan, dan periklanan kini masuk ke ruang politik, membawa serta kemampuan untuk menciptakan realitas buatan yang meyakinkan. Dalam iklan itu, kita tidak sekadar diajak membayangkan visi pasangan calon, melainkan melihat sendiri gambaran dari masa depan yang dijanjikan, meskipun semua yang kita lihat adalah hasil generatif dari mesin. Ada kekuatan sekaligus bahaya dalam pendekatan seperti ini. Di satu sisi, visualisasi berbasis AI dapat membantu pemilih memahami maksud dari program yang ditawarkan. Gagasan tentang makan gratis di sekolah mungkin akan terdengar biasa saja di atas kertas, tetapi dengan visual yang emosional dan estetik, pesan tersebut menjadi lebih hidup, lebih mudah diterima, dan tentu saja lebih mudah viral. Ini adalah bentuk storytelling politik yang sangat efektif di era digital. Namun di sisi lain, pendekatan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih serius: apakah etis menggunakan representasi visual buatan mesin untuk menjual janji politik? Tidak semua pemilih memiliki literasi visual yang memadai untuk membedakan mana realitas dan mana rekayasa. Ketika gambar anak-anak sekolah yang bahagia dan menu makanan yang tampak mewah ditampilkan, sebagian publik bisa saja mengira itu adalah dokumentasi nyata dari program yang sudah berjalan, bukan semata simulasi.
ADVERTISEMENT
Masalahnya bukan pada teknologi, tetapi pada transparansi. Tidak ada penjelasan eksplisit dalam iklan bahwa semua visual dihasilkan oleh AI. Tidak ada disclaimer bahwa adegan-adegan itu adalah imajinasi tentang masa depan yang belum tentu terealisasi. Dalam konteks kampanye, di mana emosi dan persepsi sangat menentukan, kekaburan ini bisa menjadi alat manipulasi. Lebih jauh lagi, penggunaan AI dalam kampanye seperti ini memperlihatkan ketimpangan dalam praktik demokrasi. Pasangan yang memiliki akses terhadap teknologi canggih dapat menciptakan narasi politik yang jauh lebih menarik dan persuasif, sementara lawan-lawan mereka yang lebih konvensional tertinggal dari segi daya tarik visual. Akibatnya, kontestasi bisa bergeser dari adu gagasan menjadi adu citra digital, dan pemilih tidak lagi menilai berdasarkan isi program, melainkan seberapa memukau visualisasi program tersebut di media sosial. Iklan “Makan Bergizi Gratis” buatan AI ini menjadi contoh awal dari babak baru politik visual di Indonesia. Ia menawarkan kemungkinan baru dalam menyampaikan pesan, namun juga memperlihatkan tantangan besar soal etika, literasi, dan keadilan dalam komunikasi politik. Jika teknologi seperti ini terus digunakan tanpa regulasi dan kesadaran publik, kita bukan hanya menyaksikan kemajuan dalam teknik kampanye—kita sedang melihat lahirnya era baru: demokrasi berbasis ilusi yang dibentuk oleh kecanggihan mesin.
ADVERTISEMENT