Konten dari Pengguna

Menakar Urgensi Peralihan Kekuasaan Kepala Daerah di Masa Pandemi COVID-19

Latief Mukhtar
Founder Mukhtar Institute
4 Mei 2020 11:27 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Latief Mukhtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pelaksanaan Pilkada 2020 masih belum ada kepastian, kendatipun pemerintah telah mengusulkan tanggal 9 Desember 2020 sebagai jadwal waktu pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020. Pergeseran jadwal Pilkada 2020 ini imbas dari Pandemi COVID-19. Usulan tanggal 9 Desember 2020 tersebut dengan syarat jika pandemi COVID-19 sudah bisa teratasi situasinya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Jika dihitung dari bulan April 2020, ada sisa waktu yang tidak terlalu lama untuk sebuah kalender hajatan demokrasi di tingkatan lokal. Semakin sangat mendesak waktunya, jika situasi pandemi COVID-19 belum selesai, maka Pilkada serentak tahun 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) akan terancam tidak bisa dilaksanakan di tahun 2020.
Pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara Pilkada, harus mengambil langkah-langkah yang terukur supaya bisa memetakan situasinya. Penting sekali dalam situasi seperti ini, kapasitas cara berfikir pemetaan, karena harus berhadapan dengan dua agenda prioritas utama amanat konstitusi, yaitu kehadiran negara untuk melindungi rakyat dari pandemi COVID-19 dan agenda peralihan kekuasaan Kepala Daerah melalui mekansime pemilihan langsung oleh rakyat. Dua-daunya punya derajat urgensinya masing masing.
ADVERTISEMENT

Prinsip Kepastian Hukum

Kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada salah satunya ada pada kepastian dimensi waktunya, karena jadwal dan tahapan pilkada itu merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ruang waktu yang akumulatif.
Misalnya di dalam ketentuan pasal 48 ayat (5) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa Verifikasi faktual dilakukan paling lama 14 hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan diserahkan ke PPS. Undang-Undang menyebutkan waktunya sangat definitif, 14 Hari, itu artinya Undang-Undang menghendaki ada kepastian hukum terkait waktu. Oleh karena situasi ketidakpastian ini menimbulkan kegelisahan politik, kegelisahan sosial dan kegelisahan ekonomi, maka sudah seharusnya pemerintah, KPU, dan DPR memetakan level prioritas yang harus dikelola terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Persoalannya harus coba ditarik dalam spektrum yang lebih luas dan difirasati dari sudut pandang yang paling atas, supaya persoalannya bisa terlihat lebih makro, nanti kalau sudah ditemukan rumusannya maka diambil langkah-langkah teknis secara mikro.
Di level paling tinggi ada perspektif sosial ekonomi yang harus segera di respons. Dampak pandemi COVID-19 benar-benar sudah meluluh-lantahkan sendi-sendi sosial ekonomi masyarakat. Dan ini sudah mendekati apa yang disebut dengan “Hal Ihwal Terjadi Kegentingan Yang Memaksa”.

Opsi Pilkada Tidak Langsung dalam Situasi Penanganan dan Pemulihan Pandemi Covid-19

Lanjutan pilkada 2020 setelah penundaannya akan sangat bergantung pada Anggaran. Untuk penanganan pandemi COVID-19 membutuhkan anggaran Negara yang sangat besar, baik Dari APBD maupun APBN. Seluruh pos anggaran semuanya dikonsentrasikan untuk menangani pandemi COVID-19, termasuk anggaran pilkada yang belum digunakan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus secara matang menganalisa relasi sebab akibat yang akan terjadi pada penundaan pilkada dan anggaran pilkada lanjutannya dengan relasi ekonomi yang positif. Jangan sampai Pilkada ditetapkan untuk kembali dilanjutkan setelah penundaan, namun anggarannya tidak mencukupi, maka akan menjadi sangat kontraproduktif.
Pada bagian anggaran ini harus benar-benar diformulasi secara mendalam dan muaranya ada pada politik anggaran. Jika pada akhirnya anggaran baik APBD maupun APBN tersedot habis untuk penanggulangan dan pemulihan pandemi COVID-19 lalu Pilkada Langsung oleh rakyat tidak bisa dilaksanakan karena keterbatasan anggaran, maka ada opsi lain yang bisa dipakai oleh DPR dan Pemerintah yaitu Pilkada dilaksanakan oleh DPRD. Selain rasional, Pilkada oleh DPRD juga sangat konstitusional dan biaya penyelenggaraannya tidak sebesar biaya Pilkada langsung.
ADVERTISEMENT
Pemerintah jangan terlalu memaksakan Pilkada 2020 dipilih secara langsung jika support anggarannya tidak mencukupi, penanganan COVID-19 harus lebih diutamakan kendatipun harus menguras banyak anggaran. Seandainya Pemerintah harus menguras APBD dan APBN, maka sepanjang menghasilkan stabilitas sosial ekonomi, maka langkah tersebut sudah tepat.
Dalam situasi yang tidak menentu seperti sekarang, berlaku satu Kaidah Usul Fiqih yang menyebutkan adhdhororul asyaddu yuzaalu bidhdhororil akhoffi”, situasi yang level daruratnya ringan boleh dipilih untuk menghilangkan situasi yang level daruratnya lebih berat.
• Penulis sebagai Pemerhati Pemilu dan Pilkada, Direktur Eksekutif MIND (Mukhtar Institute for Democracy and Civilization).