Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada: Menguji Pelanggaran TSM di Mahkamah Konstitusi
1 Februari 2021 10:28 WIB
Tulisan dari Latief Mukhtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah ditetapkan hasil perolehan suara pada Pilkada tahun 2020 oleh KPU di daerah, Mahkamah Konstitusi yang sering disebut dengan singkatan MK menjadi satu satunya institusi yang dipakai sebagai kanal oleh para peserta Pilkada yang keberatan atas penetapan hasil perolehan suara, lalu kemudian menyampaikan keberatan atas penetapan hasil perolehan suara, sekaligus menyampaikan permohonan pembatalan atas penetapan hasil perolehan suara oleh KPU daerah. Para peserta Pilkada dalam kapasitas sebagai pemohon, menggugat KPU daerah dalam kapasitas sebagai termohon. Terjadilah apa yang disebut sengketa atau perselisihan hasil perolehan suara. Dalam konteks ini, Mari kita lihat posisi MK dalam prespektif UUD 45 dan Peraturan Perundang undangan serta asas asas hukum.
ADVERTISEMENT
”MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Begitulah bunyi norma pasal 24C UUD 45. Dari sini kita bisa lihat bahwa MK adalah lembaga yang diberi kewenangan Oleh UUD 45 untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Didalam UU Pilkada pada ketentuan Pasal 157 ayat (1) menyebutkan bahwa “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”. Kalau kita merujuk pada ketentuan Pasal 157 ayat (1) tersebut, sebenarnya UU Pilkada menghendaki adanya peradilan khusus yang berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil Pilkada. Namun demikian, sampai saat ini badan peradilan khsusus dimaksud belum terbentuk. Oleh karenanya merujuk pada ketentuan pasal 157 ayat (3), pada akhirnya Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pilkada diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
ADVERTISEMENT
Jika kita cermati kedua Pasal tadi, maka sangatlah jelas bahwa MK memeriksa dan memutus sengketa hasil atau perselisihan hasil, bukan perselisihan yang lain, baik yang terkait dengan sengketa proses pilkada ataupun pelanggaran Pilkada. Namun demikian, permohonan yang sudah diregistrasi oleh MK, diantara dalil dalil permohonan para pemohon, banyak yang mendalilkan pelanggaran pelanggaran Pilkada, pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif atau yang sering disebut dengan pelanggaran TSM, juga dalil dalil permohonan terkait sengketa proses dan permohonan diskualifikasi pasangan calon.
Merujuk pada UU Pilkada, UU Pilkada telah membagi dan mengatur kewenangan lembaga lembaga untuk menyelesaikan persoalan persoalan Pilkada. Pelanggaran kode etik menjadi domainnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sengketa Proses Pilkada dan pelanggaran administrasi yang bersifat TSM menjadi domainnya Bawaslu, tindak pidana Pilkada diperiksa di Pengadilan Negeri, sengketa pilkada yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Daerah menjadi domainnya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan perselisihan hasil menjadi domainnya MK sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Pembagian kewenangan didalam UU pilkada dimaksudkan untuk menjaga keteraturan dan kepastian, supaya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
ADVERTISEMENT
Terhadap permohonan atau gugatan di MK yang mendalilkan terjadi pelanggaran TSM pada saat Pilkada, menarik untuk dicermati, apakah pelanggaran TSM relevan dengan kewenangan yang dimiliki MK atau malah kewenangan yang dimiliki lembaga lain ? Permohonan yang isinya meminta kepada MK untuk mendiskualifikasi pasangan calon lain, juga menarik untuk dianalisa.
Didalam Ketentuan Pasal 75 UU MK pada pokoknya menyebutkan bahwa Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Maka oleh karena itu, seharusnya permohonan atau gugatan ke MK hanya berbicara tentang sengketa hasil atau perselisihan hasil saja.
ADVERTISEMENT
Rupanya, permohonan atau gugatan di MK yang mendalilkan pelanggaran TSM, tidak terlepas dari perkara perselisihan hasil suara pilkada tahun tahun sebelumnya yang telah diputus oleh MK yang didalam permohonannya memuat dalil dalil pelanggaran TSM. Putusan putusan tersebut dijadikan contoh oleh para pemohon untuk dijadikan dalil dalil permohonannya dengan tujuan untuk meyakinkan Hakim dan mengabulkan permintaan pembatalan hasil perolehan suara yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah. Akan tetapi harus diingat didalam asas hukum ada postulat yang mengatakan “Nit agit exemplum litem quo lite resolvit”, artinya, menyelesaikan masalah dengan memakai contoh yang berbeda, sama artinya dengan tidak menyelesaikan masalah tersebut.
Putusan Hakim sebelumnya tidak serta merta bisa langsung dijadikan jurisprudensi, sebab, belum tentu peristiwa hukum satu perkara sama dengan persitiwa hukum pada perkara lainya. Begitupun fakta fakta hukum yang ada pada satu perkara belum tentu sama dengan perkara lainnya. Oleh karena itu Hakim sangat indpenden didalam memeriksa dan memutus perkara serta tidak terikat dengan putusan Hakim sebelumnya. Asas hukum yang berlaku umum dan dijadikan pedoman Hakim dalam memutus, menyebutkan “judicandum est legibus non exemplis”, artinya, Putusan itu dibuat berdasarkan hukum bukan berdasarkan contoh.
ADVERTISEMENT
Putusan Hakim sebelumnya bisa dijadikan Jurisprudensi jika terdapat alasan hukum yang sama, karakteristik perkara yang sama dan sifat perkara yang sama. “Ubi eadem ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium”, artinya, jika terdapat alasan hukum yang sama, maka berlaku hukum yang sama, akan tetapi berlaku analogi terbalik terhadap asas tersebut, yaitu jika tidak terdapat alasan hukum yang sama, maka tidak berlaku hukum yang sama. Hal ini sudah menjadi asas hukum secara umum yang dijadikan pedoman para Hakim di Indonesia.
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa MK diberi kewenangan yang berkaitan dengan perselisihan hasil suara, bukan pelanggaran TSM. Oleh karena itu seharusnya pelanggaran TSM sudah diselesaikan ketika masih dalam proses, bukan setelah penetapan perolehan hasil suara yang sudah ditetapkan KPU Daerah. Terkecuali jika pelanggaran TSM tersebut berkaitan dengan perolehan suara, bisa jadi dan memungkinkan dijadikan bahan pertimbangan Hakim MK. Ini tidak terlepas dari sikap progresifitas MK dalam mencari dan menggali kebenaran materiil. Akan tetapi, pelanggaran TSM yang berkaitan dengan perolehan suara ini benar benar harus dibuktikan.
ADVERTISEMENT
Didalam penjelasan pasal 135A UU Pilkada, Yang dimaksud “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Oleh karenanya Pemohon yang mendalilkan pelanggaran TSM, harus membuktikan pelanggaran “Terstruktur” yang mengandung makna terorganisir, bagaimana rantai komandonya, siapa aktor utamanya, alur kerja kolektifnya seperti apa, siapa yang membantunya. Harus dibuktikan secara nyata.
Dalam konteks “sitematis”, pemohon harus bisa membuktikan dan menguraikan esensi dari perencanaan, siapa yang merencanakan, kapan perencanaan itu dibuat, dimana merencanakannya, serapih apa dan sematang apa perencanaannya. Ini harus dibuktikan oleh pemohon untuk membuat terang dan nyata unsur “Sistematis” yang didalilkan pemohon.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks “Masif”, Pemohon harus bisa membuktikan seberapa luas pengaruh dari pelanggaran ini dan seberapa signifikan terhadap hasil perolehan suara Pilkada. Masifnya pelanggaran ini harus diukur berdasarkan parameter kuantitatif, supaya jelas ukuran dan takarannya.
Dibagian akhir dari permohonan yang juga sangat penting, pemohon harus menunjukkan kesalahan penghitungan yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah, lalu menunjukkan penghitungan yang benar menurut Pemohon, Pemohon harus meminta MK membatalkan hasil penghitungan yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah dan meminta MK menetapkan penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Karena akan menjadi sia sia dalil dalil permohonan yang didalilkan, jika pada permintaannya (Petitum) tidak bisa menunjukkan kesalahan penghitungan yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah, tidak bisa menunjukkan penghitungan yang benar menurut Pemohon, tidak meminta MK membatalkan hasil penghitungan yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah dan tidak meminta MK menetapkan penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
ADVERTISEMENT
Tetapi semua itu akan bermuara pada keyakinan para Hakim MK yang akan memutus apakah dalil dalil pelanggaran TSM yang didalilkan itu hanya berdasarkan persangkaan saja tanpa bukti, atau memang bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Dan para Hakim akan berpedomana pada sebuah asas yang menyebutkan “actori incumbit onus probandi, actore non probante reus absolvitur”, artinya, siapa yang mendalilkan, maka dia yang harus membuktikan, tetapi jika yang mendalilkan tidak bisa membuktikan, maka yang tertuduh harus dibebaskan dari tuduhan. Maksudnya MK harus menolak semua dalil dalil permohonan atau gugatan jika dalil dalilnya hanya didasarkan pada persangkaan bukan didasarkan pada bukti bukti yang pedomannya diatur didalam Hukum Pembuktian serta asas-asas dan teori-teori Hukum.