Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Belajar pada Wisdom Wong Ndeso
4 Februari 2018 8:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Thobib Al-Asyhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Dasar "wong ndeso". Itulah salah satu trending topic beberapa waktu lalu sebagai ungkapan olok-olok terhadap orang yang dianggap "kampungan". Yaitu, orang-orang yang dinilai memiliki manner layaknya orang desa, seperti "gumunan" (terlalu banyak kagum), hidupnya kurang steril, tidak rapi, lugu, norak, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang lebih spesifik, ungkapan "ndeso" berkonotasi negatif, terbelakang, dan jauh dari tata krama yang dijunjung tinggi oleh orang kota yang berpendidikan. Sementara orang kota mengklaim memiliki manner bagus, disiplin, terencana, tertata rapi, dan lain-lain.
Istilah "ndeso" sendiri dipopulerkan belakangan oleh Gibran, anak presiden Jokowi melalui media daring Youtube. Dia membuat postingan video pendek untuk menyikapi berbagai peristiwa pasca kasus penodaan agama di DKI Jakarta. Jadilah kata "ndeso" memviral untuk olok-olok atau sekedar guyon antar kolega atau pihak lain yang tidak disukai di Medsos. Juga jadi bahan ledekan antar sesama saat bercengkerama atau bergaul di dunia nyata.
Terlepas dari makna konotatif secara sosial, saya melihat dan merasakan bahwa "wong ndeso" sebenarnya memiliki wisdom yang patut diteladani. Jika diletakkan pada konteks hubungan sosial yang menganut konsep gengsi, maka istilah "wong ndeso" memiliki makna marginal yang berkonotasi buruk.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jika istilah "wong ndeso" diletakkan pada tataran konsep sebagai sebuah nilai-nilai umum, maka kita akan menemukan banyak wisdom yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang kota yang berpendidikan tinggi atau orang yang memiliki status sosial mapan di perkotaan.
Beberapa hari lalu, saat saya pulang kampung untuk mengantar almarhumah ibu di pembaringan terakhirnya, saya diam-diam menyelami wisdom wong ndeso saat ngobrol dengan tetamu yang melayat. Posisi saya saat itu lebih banyak mendengar dari orang-orang kampung yang bercerita tentang pernak pernik kehidupannya. Saya mencoba mencerna dan memberikan catatan atas nilai-nilai yang dipedomani dan dirasakan wong ndeso selama ini.
Harus saya akui, meski saya berasal dari kampung, dan juga bisa dibilang bagian dari "wong ndeso", akan tetapi sejak lulus SD saya nyaris tidak merasakan bagaimana sesungguhnya watak kehidupan kampung itu. Selepas SD saya langsung mondok di pesantren hingga lulus Madrasah Aliyah. Setelah itu ke Jakarta meneruskan kuliah, kerja, dan menetap di wilayah Depok hingga kini. Apalagi saya termasuk yang jarang pulang kampung, baik waktu masih nyantri, kuliah, atau sekarang ini. Akibatnya, saya jadi banyak lupa atau kurang aware terhadap nama-nama orang saat pulang kampung.
ADVERTISEMENT
Wisdom Ndeso
Bagi yang hidupnya di kampung (desa), tentu menjadi hal biasa menjalani keseharian yang penuh dengan keterbatasan. Meski sekarang menggeliat pembangunan infrastruktur di pedesaan, namun dalam banyak hal mereka masih merasakan betapa "perihnya" hidup di desa yang ditunjukkan dengan lemahnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Namun demikian, di tengah kehidupan yang serba terbatas tersebut, saya merasakan langsung aura kebahagiaan dan kearifan orang kampung dari wajah-wajah mereka yang selalu ceria. Senda gurau dan tawa riang hampir ditemukan di setiap sudut desa, di gank, masjid/mushalla, di teras-teras rumah, hingga di majelis tahlil yang sering diadakan saat ada warga yang meninggal dunia. Kehidupan komunal khas ndeso mampu menyingkirkan ego dan keperihan hidup yang dirasakan setiap waktu.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada beberapa catatan saya tentang wisdom "wong ndeso" yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita (siapapun yang membaca note ini). Minimal bagi orang-orang kampung sendiri untuk tetap "istiqamah" dengan "kendesoaannya" yang kaya akan nilai-nilai luhur.
Pertama, wisdom kebersahajaan (hidup sederhana). Oleh sebagian orang mungkin bisa dibilang, ya wajarlah hidup sederhana, wong cuma hidup di desa. Mungkin hipotesis itu benar, akan tetapi "kebersahajaan" itu menyangkut unsur sikap hidup. Dalam ilmu psikologi, sikap hidup itu tidak semata-mata karena faktor "eks" atau lingkungan yang memaksa perlunya penyikapan sebagaimana diyakini oleh kaum behaviorisme. Namun, "sikap hidup" itu dipengaruhi lebih kuat dari unsur dalam diri (internal forces), yaitu daya-daya jiwa.
Hidup di desa yang kesehariannya lebih dekat dengan alam tetap mempengarhui bagaimana seseorang itu menyikapi hidupnya, meski unsur terdalam menjadi faktor kuncinya. Banyak ditemukan orang yang hidup dengan segenap keterbatasannya tetapi masih memiliki sikap hidup boros, glamour, keinginan-keinginan yang melampui batas kemampuannya. Sikap hidup boros tidak selalu identik dengan orang kaya, tetapi bisa melanda siapapun. Banyak orang jatuh miskin karena gaya hidup ini. Sehingga, yang kaya menjadi miskin, dan yang miskin bertambah miskin.
ADVERTISEMENT
Selama mengamati terhadap kehidupan orang-orang kampung, saya mendapati kehidupan sederhana, kehidupan yang menampilkan "apa adanya". Rumah yang sudah lama tidak dicat atau diaci dibiarkan hingga bertahun-tahun tanpa merasa gengsi. Tanpa ada rasa gerah, risih, dan gengsi, tetapi dijalani seperti tidak ada masalah apa-apa.
Teringat apa yang pernah dikatakan oleh (alm.) bapak saya, bahwa rumah bapak yang dibangun tahun 60-an biarkan begitu saja seperti kondisi yang ada. Saat diminta anak-anaknya agar rumahnya direnovasi, apa jawabannya: "rumah itu gak boleh lebih baik dari masjid dan mushalla. Biar jelek gak apa-apa, toh kalau mati gak dibawa ke kubur", katanya suatu ketika.
Kedua, sikap "nrimo ing pandum". Dalam bahasa agama disebut "qanaah", yaitu sikap menerima keadaan dengan ketulusan tinggi. Gaya hidup sederhana tidak akan mungkin muncul dari sikap hidup yang banyak "nggersulo", atau mengeluh dan merintih atas berbagai kekurangan hidup. Menerima pemberian dari Tuhan yang sedikit memang membutuhkan sikap "qanaah". Sikap "merasa cukup" atas segala kekurangan jauh lebih berat dibandingkan dengan kelapangan rejeki yang dimiliki. Namun demikian, sikap "qanaah" dalam ajaran agama dituntut kepada semua orang dalam segala kondisi, baik dalam keadaan kaya maupun miskin.
ADVERTISEMENT
Salah satu cerita kehidupan ndeso yang cukup memprihatinkan terkait dengan sikap hidup bersahaja bisa saya ungkap di sini. Suatu kali, temen kakak sulung saya yang sama-sama menyekolahkan anaknya di sebuah lembaga pendidikan mengeluhkan beratnya membayar daftar ulang sekolah anaknya. Sebenarnya tidak terlalu besar, satu juta rupiah. Memang bagi orang desa, jumlah uang tersebut cukup berat mengingat penghasilan petani hanya mengandalkan hasil ladang yang tidak seberapa.
Menurut ceritanya, temennya tersebut Curhat bahwa hasil panen palawijanya tidak sesuai dengan harapan. Kebetulan saat itu panen timun suri. Mungkin karena kondisi panen dan situasi pasar tidak menguntungkan, harga timun suri satu sak hanya 10 ribu rupiah. Jadi untuk membayar 1 juta rupiah uang daftar ulang sekolah, temennya tersebut harus menjual 100 sak timun suri, dan dijalaninya dengan legowo.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan bagaimana susahnya orang desa untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ingat, panen timun suri tidak setiap minggu, tapi terhitung bulan. Dan semua kondisi tersebut harus dijalaninya dengan sikap "nrimo ing pandum". Suka tidak suka harus diterima. Sementara di sisi lain, ada sebagian kita yang hidup glamour, hidup bergelimang harta, berfoya-foya dengan kesenangan duniawi. Bahkan ada orang yang tega korupsi milyaran rupiah uang rakyat. Perihnya lagi, para pencuri itu hanya diganjar 1 atau 2 tahun penjara. Sedih bukan?
Ketiga, hidup guyup. Wisdom guyup adalah khas masyarakat komunal, dimana kebersamaan dengan sikap saling membantu sangat terasa di desa. Saya melihat sendiri bagaimana sikap saling menopang antar sesama begitu terasa. Saat seorang warga akan melaksanakan hajatan, misalnya, secara otomatis tetangga, dan khususnya sanak saudara, saling membantu, saling menyangga berbagai keperluan, seperti masang tenda, masak di dapur, menata kursi, membagikan makanan, membersihkan lantai, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sikap guyup dan gotong royong dalam term ilmu sosial tumbuh dari kesamaan nasib, kesamaan pandangan tentang hidup. Hidup di desa yang sangat homogen membentuk sikap masyarakat yang menyatukan sebuah pandangan tentang kehidupan bersama. Ini merupakan salah satu budaya khas Indonesia secara umum. Sedangkan individualisme hanya muncul dari kehidupan egois yang tumbuh dari sikap cuek seperti di perkotaan.
Jika dianalisis agak mendalam, gotong royong berasal dari bahasa Jawa “ngotong”, yaitu membawa sesuatu secara bersama-sama. Rasa "memiliki bersama" inilah yang sesunggunya menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Indonesia secara umum yang diawali dari masyarakat pedesaan di Jawa. Hal ini membentuk hubungan sosial yang membawa masyarakat dalam sistem timbal balik yang digerakkan oleh etos umum yang ada dalam masyarakat dan kepedulian terhadap kepentingan bersama.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ketiga wisdom tersebut saya catat selama saya mengamati dan merasakan dari kehidupan "wong ndeso". Memang dari sisi kultur komunalisme terdapat beberapa kelemahan budaya yang secara sadar diakui oleh orang desa sendiri, seperti lemahnya penjagaan privasi dalam hubungan sosial.
Berbeda dengan orang kota yang membangun hubungan privasi cukup ketat. Sementara orang desa sangat cair dalam persoalan ini, sehingga budaya saling kunjung rumah dengan mudahnya dan leluasa banyak ditemukan dalam kehidupan orang-orang desa. Sedangkan budaya kota sangat peka jika terkait dengan urusan privasi.
Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan tersebut dengan sendirinya akan tertutup oleh keunggulan sikap hidup "wong ndeso" yang humble, tampil apa adanya, ramah, peduli, dan lain-lain. Potret sikap hidup positif tersebut patut ditiru oleh mereka yang hidup di kota, atau mereka yang merasa menjadi orang kota yang berpendidikan. Wallahu a'lam.
ADVERTISEMENT
Thobib Al-Asyhar
(Dosen pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)