news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Situs Sejarah yang Mulai Dilupakan

Thobib Al-Asyhar
Seorang penulis, dosen, dan peneliti. Juga motivator bagi remaja dan keislaman.
18 Januari 2018 7:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thobib Al-Asyhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Situs Sejarah yang Mulai Dilupakan
zoom-in-whitePerbesar
Bukan rahasia lagi kalau belakangan ini tidak banyak orang yang tertarik pada sejarah. Hal ini bisa dibuktikan dengan minimnya masyarakat yang berkunjung ke obyek-obyek wisata sejarah yang ada di nusantara. Hampir bisa dipastikan, setiap penulis berkunjung ke situs-situs bersejarah, seperti museum dan keraton raja-raja Islam tidak banyak pengunjung, sehingga keberadaannya bisa dibilang "tidak diminati" dan kondisinya pun sangat nampak kurang terawat.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk situs keraton kesultanan Islam, ada banyak alasan kenapa peninggalan sejarah nusantara tersebut kurang mendapat perhatian. Teori pertama mengatakan bahwa pemerintah dari zaman ke zaman (sejak Orla sampai saat ini) kurang peduli terhadap warisan kesultanan nusantara ini. Bahkan ada yang menyebut bahwa pemerintah sejak kemerdekaan sengaja mengerdilkan sisa-sisa kekuatan sanak keturunan dan sistem kerajaan Islam karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan konsepsi "nation-state" Indonesia yang berdiri di atas pondasi NKRI.
Teori kedua, kecenderungan masyarakat kita yang mulai acuh terhadap sejarah masa lalu. Situs-situs peninggalan sejarah bangsa, termasuk museum-museum perjuangan di antaranya, nampak kurang mendapat "hati" dari orang-orang kekinian. Beda sekali di tempat-tempat wisata yang menyuguhkan hiburan, seperti di mal-mal atau tempat-tempat yang sengaja dibuat untuk wahana rekreasi yang pengunjungnya membludak, apalagi saat musim liburan tiba.
ADVERTISEMENT
Telah menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa tidak sedikit benda-benda peninggalan sejarah kerajaan Islam masa lalu banyak yang rusak, hilang, atau dihilangkan karena dicuri atau dijual. Manuskrip-manuskrip nusantara kuno konon banyak berpindah ke tangan orang asing karena di dalam negeri kurang diurus (dihargai). Benda-benda tersebut dijual kepada para paneliti atau pemerintah asing untuk dijadikan sumber-sumber penting ilmu pengetahuan. Maka tidak heran jika terdapat museum di luar negeri, seperti di Belanda misalnya, ternyata lebih lengkap koleksinya daripada museum dalam negeri.
Belum lagi jika kita melihat kondisi bangunan fisik situs-situs bersejarah yang kurang (tidak) terawat. Meski ada beberapa upaya revitalisasi, namun belum nampak adanya upaya pelestarian secara utuh. Hal ini penulis saksikan sendiri saat mengunjungi keraton Kaceribonan beberapa waktu lalu, yang merupakan turunan dari kesultanan Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati.
ADVERTISEMENT
Secara umum, kondisi fisik keraton Kacireboban yang berdiri sekitar abad 17 memang bangunan kuno yang relatif masih berdiri kokoh. Namun demikian, kalau kita lihat bangunan-bangunan di sekitarnya sangat memprihatinkan. Bangunan tembok khas masa lalu yang mengelilinginya terlihat agak kumuh. Juga kondisi bangunan sisi kanan arah pintu gerbang dan belakang keraton bisa disebut seperti gudang yang kotor, demeg, dan berantakan. Memang terdapat beberapa petakan atau kamar yang dihuni oleh keluarga keraton. Belum lagi jika terus masuk ke belakang yang mirip rumah kontrakan yang tidak rapih, dengan berbagai fungsi usaha, seperti toko penjual pulsa, warung makanan, dan aneka aksesoris budaya.
Mungkin apa yang penulis gambarkan di atas bisa disebut bukan bagian utama dari keraton, namun dalam pendangan penulis, keaslian sebuah lanskap bangunan bersejarah seperti keraton penting untuk dilestarikan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Bagi sebagian orang mungkin menganggap situs bersejarah, apalagi keraton Islam, tidak memiliki arti bagi kehidupan sekarang dan mendatang. Namun demikian, pelestarian "bukti-bukti" sejarah sangat penting bagi pengembangan kebudayaan sebagai bagian dari penegasan identitas kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Juga yang menjadi catatan, bahwa ternyata pengelola keraton Kacirebonan tersebut bukan oleh pemerintah setempat. Hal ini nampak yang tertulis pada lembaran tiket masuk dengan nama: Kelompok Penggerak Pariwisata PINAYUNG MULIA. Ini menunjukkan bahwa peninggalan sejarah ini pelestariannya ternyata tidak melibatkan langsung Pemerintah setempat.
Beda dengan negeri-negeri maju yang sangat peduli dengan sejarah masa lalunya. Di Jepang misalnya, dimana penulis pernah berkunjung ke kuil tua Asakusa di Tokyo. Bagaimana tempat ini pada hari libur begitu banyak orang datang. Wisatawan datang berjubel dan silih berganti untuk melihat dan mengetahui tentang situs-situs kebanggaan Jepang tersebut. Kenapa banyak pengunjungnya? Karena memang pemerintahnya sangat peduli terhadap benda-benda cagar budaya. Sehingga, bangunan kuno yang nampak tua dirawat dan direvitalisasi agar tetap menarik bagi wisatawan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sebagai bangsa besar yang memilki sejarah panjang, khususnya peran penting kerajaan-kerajaan Islam nusantara terhadap eksistensi negeri ini harus mampu menjaga warisan budaya melalui pelestarian situs-situs bersejarah. Penting untuk kita catat, bahwa keberadaan keraton kesultanan Islam abad-abad 16-17 yang ada di nusantara merupakan salah satu pondasi berdirinya NKRI.
Sehingga wajar kiranya kita harus berupaya untuk melestarikannya dengan menjaga baik-baik dan merevitalisasi situs-situs keraton Islam yang keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari bangsa kita (NKRI). Pun pula kita punya kewajiban kepada masyarakat untuk menyampaikan sumber-sumber informasi tentang pentingnya generasi muda agar mencintai sejarah bangsanya. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah bangsanya.
ADVERTISEMENT
Thobib Al-Asyhar
(Penyuka situs-situs kuno, dosen pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia).