COVID-19, WFH dan Force Majeure

Thogu Ahmad Siregar
Mahasiswa Hukum
Konten dari Pengguna
8 April 2020 9:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thogu Ahmad Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak bisa dielakkan jika COVID-19 sangat menakutkan bagi umat manusia. Pandemi ini sangat memprihatinkan karena hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan dampak buruk akibat pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Banyak kegiatan dibatalkan demi kebaikan bersama agar terputusnya rantai penularan COVID-19. Tak sedikit pula yang merasakan kerugian atas keputusan untuk membatalkan kegiatan atau perjanjian yang telah disepakati di awal.
Sebelum membahas lebih jauh. Diawali untuk mengapresiasi setinggi mungkin kepada tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi COVID-19. Merelakan waktu bersama keluarga #dirumahaja untuk tetap berjuang melawan COVID-19 di rumah sakit. Namun, tak sedikit pula para tenaga medis yang gugur disaat melawan COVID-19 ini. Terima kasih saya ucapkan kepada tim medis.
Banyak sekali yang terkena dampak buruk COVID-19. Salah satunya ialah perjanjian-perjanjian yang mesti ditunda dan menimbulkan kerugian sana-sini bagi para pihak yang telah melakukan perjanjian tersebut. Overmacht atau force majeure menjadi alasan pokok bagi debitur karena tidak dapat melaksanakan prestasinya ditengah wabah COVID-19. Permasalahannya, perjanjian dalam kondisi seperti apa yang dapat dibatalkan dengan alasan overmacht?
ADVERTISEMENT
Overmacht atau force majeure merupakan salah satu dari tiga macam cara pembelaan debitur yang dituduh lalai. Pertama, Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa atau disebut overmacht atau force majeure. Kedua, mengajukan bahwa si berpuitang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adempleti contractus). Ketiga, mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi atau disebut pelepasan hak yang dalam bahasa belanda rechtsverwerking.
Overmacht atau force majeure merupakan keadaan memaksa yang disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur juga tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan. Jadi dapat dikatakan bahwa ketidak terlaksananya atau keterlambatan prestasi yang terjadi bukan atas kehendak dari debitur, namun adanya kejadian yang tidak terduga sehingga debitur tidak dapat melaksanakan atau terlambat dalam melaksanakan prestasinya.
ADVERTISEMENT
Dasar hukum dari overmacht atau force majeure terdapat pada Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPer). Dari dua pasal di atas, dapat dilihat bahwa keadaan memaksa itu adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janjinya (Subekti, 2005). Singkatnya, keadaan memaksa ini dapat dipakai sebagai salah satu pembelaan oleh debitur untuk menghindarkan tuntutan wanprestasi.
Faktor yang mempengaruhi overmacht atau force majeure , menurut KUH Perdata ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa. Pertama, tidak memenuhi prestasi. Kedua, ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur. Ketiga, faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur (Rasuh, 2016).
ADVERTISEMENT
Apabila terjadi keadaan memaksa dan memenuhi unsur pertama dan ketiga, maka force majeure atau overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap atau musnah.
Jika terjadi force majeure atau overmacht yang memenuhi unsur kedua dan ketiga, keadaan ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subjektif. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitur untuk berbuat.
Ilustrasi WFH. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Apakah COVID-19 termasuk dalam keadaan memaksa?
Tidak dapat disangkal bahwa COVID-19 merupakan sebuah virus yang sangat berbahaya dan tidak dapat diperkirakan di awal jika virus tersebut akan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Namun, hal ini juga tak serta-merta segala sesuatu kegiatan dihentikan karena virus ini.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri untuk melawan virus COVID-19 ini menjalankan kegiatan sehari-hari dengan metode “work from home” selanjutnya disingkat WFH. Bekerja dari rumah mungkin dapat dilakukan oleh pekerja kantoran atau pekerja yang berbasis freelance.
Namun tidak semua pekerjaan dapat dilakukan di rumah. Maka dari itu, ada pengecilan makna dalam hal apa saja yang dapat dikatakan bahwa COVID-19 ini dapat dijadikan alasan overmacht atau force majeure .
Dapat dipahami, bahwa ada pekerjaan yang dapat dilaksanakan di rumah dan ada juga yang tidak dapat dikerjakan di rumah. Maka dari itu, debitur dapat membela dengan alasan overmacht atau force majeure jika suatu prestasi tersebut tidak dapat dilaksanakan di rumah dengan alasan bahwa ada sebab yang letaknya diluar kendali debitur, dalam hal ini dikarenakan wabah Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kegiatan yang telah dijanjikan sekiranya dapat dilaksanakan dengan konsep WFH, maka jika terjadi wanprestasi debitur tidaklah dapat untuk memberi pembelaan dengan alasan overmacht. Sebagai contoh, seorang pekerja freelance yang memang sebelum adanya virus ini telah bekerja di rumah.
Maka dari itu dapatlah dipahami bahwasanya overmacht atau force majeure ini dapat digunakan oleh debitur pada saat pandemi COVID-19 namun ada batasan tertentu.
Jika kegiatan yang telah diperjanjikan masih dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya meskipun hanya dirumah saja maka jika terjadi wanprestasi, debitur tidaklah dapat menggunakan alasan keadaan memaksa yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).