Rasanya Setahun Jadi Wartawan yang Tidak Pernah Sentuh Lapangan, "Literally"

Thomas Bosco Pandapotan
Reporter kriminal kumparan Ini akun kerja, akun nulisnya cari saja di sini: https://kumparan.com/thomas-bosco-pandapotan
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 19:42 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thomas Bosco Pandapotan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana uji kompetensi wartawan (UKW) kumparan di kantor kumparan, Jalan Jati Murni, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (26/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana uji kompetensi wartawan (UKW) kumparan di kantor kumparan, Jalan Jati Murni, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (26/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Wartawan itu identik dengan grasak-grusuk cari dan buat berita di lapangan. Tetapi sampai saat ini itu bukan saya. Habis bagaimana tidak, sudah setahun lebih sedikit menjadi wartawan, saya selalu kerja di depan laptop, di rumah/kamar, tanpa tahu rasanya panas-panasan kejar narasumber di lapangan. Sampai-sampai, saya jadi 'mahir' observasi dari rumah. Menghitung petir di Depok sampai jadi berita, misalnya.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum bahas menghitung si petir itu saya mau jelaskan terlebih dahulu kenapa saya sampai setahun lebih tidak pernah ke lapangan.

Dari CI ke Kolaborasi

Tim Content Intelligence (CI) kumparan saat kerja dari Cafe. Dokumentasi: Istimewa.
Jadi begini, sejak awal masuk hingga merasakan pindah divisi di kumparan, tugas yang saya terima itu secara garis besar merupakan tugas yang bisa diselesaikan tanpa perlu terjun ke lapangan.
Pertama saya di Content Intelligence (CI). Selama 9 bulan di sini saya kebanyakan membuat berita yang data-datanya berasal dari sumber-sumber publik alias OSINT (Open Source Intelligence). Apalagi pandemi COVID-19 pun ketika saya di CI lagi ganas-ganasnya, sehingga tidak mungkin untuk divisi yang sudah jarang ke lapangan ini mengutus saya ke luar. Walau jika dilihat sejarahnya, divisi ini sebenarnya pernah melakukan liputan ke lapangan.
ADVERTISEMENT
Alhasil, pekerjaan di CI kala pandemi yang masih ganas-ganasnya itu jadinya kebanyakan terkait COVID-19. Data-data terkait persentase kenaikan, pengaruhnya mal yang dibuka meski masih dalam pembatasan, serta negara mana yang paling baik menekan angka kematian akibat COVID-19 adalah beberapa di antaranya.
Toplah, karena di CI juga saya bisa paham bagaimana memvisualisasikan data angka agar mudah dipahami mata awam ke dalam diagram, grafik, bahkan penggambaran lewat peta (geospasial). Selain tools, keterampilan observasi melihat isu juga diasah karena tak semuanya perihal COVID-19. Misalnya melihat isu atau berita yang cocok untuk dijadikan berita suara, usulan push notifikasi, dan memasangnya sebagai headline. Tetapi buat saya, puncaknya, ya itu, ketika saya “menghitung petir”, yang nanti akan saya jelaskan.
ADVERTISEMENT
Namun jika boleh jujur, kalau bukan karena manusia-manusia di CI, saya rasa bekerja di CI akan sangat berat. Bayangkan, saya yang kuliah milih HI (Hubungan Internasional) agar terhindar dari angka-angka, malah dipertemukan lagi sama angka di sana. Ditambah, rasa-rasanya badan saya tak akan pernah siap menghadapi jam kerja sampai 10 jam dalam sehari dan bisa lebih kalau ada tanggungan tulisan atau riset yang belum selesai.
Tim Divisi Kolaborasi kumparan. Dokumentasi: Istimewa.
Habis dari sana, saya dipindah ke Divisi Kolaborasi, divisi yang menghubungkan kumparan dengan suara masyarakat umum dan media partner daerahnya. Buat saya, ini divisi yang jadi perwujudan dari kata “kumpulan pemikiran” alias kumparan itu sendiri. Soalnya hey, cuma anak Kolab (Kolaborasi) lho, yang pegang kendali untuk kolom yang setiap hari dibanjiri tulisan dari berbagai orang yang macam-macam latar belakangnya.
ADVERTISEMENT
Kalau di CI itu masih punya riwayat liputan, divisi ini justru sama sekali tak ada riwayat liputannya ke lapangan. Bahkan, di sini peran saya jadi lebih seperti seorang editor dibandingkan wartawan yang meliput ke lapangan.
Setiap harinya ada ratusan tulisan opini/cerita yang masuk ke kumparan. Tiap harinya juga saya bersama tim yang lain di divisi ini harus memoderasi mana tulisan yang cocok untuk tayang di kolom tersebut. Serunya dari kerjaan ini itu satu, melihat tulisan orang-orang yang unik-unik hingga aneh.
Tidak tahukan kalian, karena kumparan sangat terbuka buat siapapun yang mau menulis, sampai-sampai ada bandar judi, tukang ac, hingga tukang jualan diamond mobile legend (ML) yang bikin tulisan untuk mempromosikan jasanya. Tapi jelas, tulisan yang seperti itulah yang pastinya akan ditolak sama kita yang di Kolaborasi. Tak jarang saya dan tim dibikin tertawa sama tulisan-tulisan yang unik nan aneh itu.
ADVERTISEMENT
Namun, justru dari hal 'receh' inilah, saya jadi lebih paham tulisan orang-orang di luar sana itu benar-benar beragam. Dari yang bagus sekali sampai yang 'bobrok' juga ada. Nah, ini yg bikin saya jadi memiliki kemampuan untuk menilai kualitas dari sebuah tulisan.
Alhasil, karena semua tugas-tugas itulah bisa dibilang kalau saya itu adalah wartawan yang tidak mengerjakan “banget” kerjaan wartawan biasanya.
Tetapi beruntungnya karena ketidak-saklekan itu yang buat saya mampu eksplor isu-isu yang out of the box, alias sampailah pada cerita soal saya menghitung petir yang dari tadi sudah saya towel-towel sedikit.

Menghitung Petir di Depok

Ilustrasi petir. Dokumentasi: Istimewa/kumparan.
Ini berawal dari hujan yang tidak kunjung berhenti di kawasan Depok dan rutinitas yang beruntungnya sedang longgar saat itu di Kolaborasi. Entah kenapa saya sadar ada situasi unik yang terjadi di sekitar saya saat itu.
ADVERTISEMENT
Padahal sudah belasan tahun tinggal di Depok, tapi baru hari itu saya sadar, derasnya hujan kali ini dibarengi dengan gelora petir yang saling bersahutan untuk waktu yang cukup lama.
Mungkin, karena kemampuan observasi saya dari CI sudah cukup terasah. Saya jadi kepikiran menghitung berapa kali petir itu muncul.
Sontak, saya pun langsung membuka stopwatch di ponsel dan memasang waktu mundur. Selama satu menit, jari-jemari saling membuka, sementara mulut saya melontarkan jumlah petir yang terjadi dalam rentang waktu mundur itu.
Sat set sat set, saya dapatkan ternyata ada sebanyak 15 gemuruh petir dalam 1 menit pada saat hujan deras di Depok saat itu.
Singkat cerita, kejadian unik dan jumlah hasil menghitung petir itu pun kemudian saya oper ke tim CI, yang saat itu sudah jadi divisi lama saya, dan mendapat lampu hijau untuk kemudian saya buat jadi sebuah berita. Baca beritanya di sini:
ADVERTISEMENT
Hasilnya, siapa sangka, berita dari kejadian random itu, ketika saya lihat analisisnya, mendapat total hampir 3.000 view dalam 2 hari. Bahkan besoknya mendapat berita lanjutan dari tim CI untuk menjelaskan fenomena petir di Depok itu.
Pencapaian kecil itu pun menambah satu lagi pengalaman menyenangkan nan sederhana saya sebagai wartawan kumparan. Sebab bagi saya yang hanya kerja di rumah ini, pengalaman bekerja dengan rekan kerja secara langsung dan bukan di rumah adalah pengalaman yang menyenangkan.
Tapi sialah saya. Saya yang senang jadi wartawan yang tak pernah menyentuh lapangan ini, tiba-tiba masuk jadi salah satu peserta yang harus ikut Uji Kompetensi Wartawan. Hadeh.

UKW = Ajang Kenalan dengan Lapangan?

Momen foto bersama seluruh peserta Uji Kompentensi Wartawan 2022. Dok: Istimewa.
Kalau teman-teman saya yang sudah sentuh lapangan mungkin tidak akan memiliki tantangan yang sama dengan saya, ketika akan menghadapi Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
ADVERTISEMENT
Soalnya siapa sangka sebagai wartawan yang tidak mengerjakan “banget” kerjaan wartawan biasanya ini, justru buat saya kepikiran luar biasa. Pasalnya, berdasarkan informasi yang saya kulik dari teman yang pernah lalui tes ini, uji kompetensi ini pada intinya seperti ketika sedang di lapangan saja. Mampus saya.
Meskipun, beberapa bilang tidak perlu terlalu dipikirkan dan ikuti saja, sulit tampaknya buat saya untuk tidak memikirkannya. Apalagi karena saya akan kenalan dengan situasi yang serupa dengan kondisi turun ke lapangan dalam bentuk sebuah tes. Jadi, sudah dipastikan saya akan memanjakan diri saya dengan hal-hal yang menyenangkan sendiri jika berhasil melalui ini tes ini dengan baik.
Biarpun nihil pengalaman lapangan, pede saja dulu dan yakin tembus UKW dengan pengalaman original saya ini. Ya mari anggap aja challenge, seperti kata-kata ini “Kalo kamu merasa kesulitan dengan situasi sekarang, kemungkinan besar kamu sedang naik level.”
ADVERTISEMENT

Lulus?

Salah satu kelompok peserta tes jenjang Muda. Kiri ke kanan; Katondio, Thomas (Saya), Aliyya, Ibu Aprida (Penguji kelompok), Retyan, Judith, dan Thahira. Dokumentasi: Istimewa.
Saya lalui semuanya dengan dag, dig, dug, ser. Mulai dari menerka-nerka kebingungan biaya liputan di tes membuat usulan liputan pada hari pertama, lanjut ke momen zoning out ketika tes preskon (jumpa pers) di hari kedua, hingga pura-pura jadi petinggi Holywings bagi Thahira saat jalani tes simulasi wawancara, berhasil saya lalui. Sampai akhirnya, dua hari menjalani tes pun sampai juga di ujungnya.
Minggu (26/6) sore, Ibu Aprida, penguji untuk kelompok saya di dalam Uji Kompetesi Wartawan (UKW), memanggil satu-satu peserta tes untuk menyampaikan hasil akhir dari seluruh rangkaian tesnya.
Katondio, lalu Aliyya, Judith, Thahira, dan kemudian sampai ke nama saya yang dipanggil. Saya pun berjalan menuju ruangan sebelah untuk menjemput kabar terkait hasil tes yang sejak awal hanya saya pasrahkan hasilnya.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, ternyata begitu saya kembali ke ruangan untuk memanggil Retyan yang masih clueless dengan hasilnya, perasaan legalah menyelimuti seluruh badan saya. Oh iya, Retyan lulus juga kok.
Singkat cerita, bukan hanya saya dan kelompok saya yang lulus. Tetapi, semua peserta yang ikut UKW ini juga dinyatakan lulus, alias 100 persen lulus.
Jadi, apakah saya telah naik level? Semoga saja, dan semoga saja bisa segara menyentuh lapangan.
Momen saya yang sedang mengikuti tes jaringan wartawan. Dokumentasi: Iqbal Firdaus/kumparan.