Kala Sigaret Menggoda: Rasanya Setahun Lebih Berhenti Merokok

Potan
Lulusan HI, kerja di Kolaborasi kumparan.
Konten dari Pengguna
12 November 2022 5:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi merokok berantai. Foto: Panya_Anakotmankong/Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi merokok berantai. Foto: Panya_Anakotmankong/Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Semua orang yang aktif merokok pasti setuju kalau berhenti merokok itu sulit. Apalagi buat yang sebungkus sehari itu masih kurang, seperti saya dulu. Namun, tak pernah terbayangkan betapa sulitnya itu sampai-sampai bikin saya mati gaya di banyak situasi. Padahal, sudah setahun lebih (masih berlanjut) berhenti merokok, tetapi ternyata, sigaret masih jadi barang seksi yang terus menggoda.
ADVERTISEMENT
Saat mulai berhenti merokok pada Juni 2021. Masa-masa di 3 bulan pertama adalah neraka buat saya. Sangatlah neraka, karena tanpa ngudut, boker pagi dibuat susah, dibikin uring-uringan di setiap selesai makan, bahkan sampai sempat jadi fobia nonton film perkara mulut asem tak karuan waktu lihat adegan-adegan merokok di dalamnya. Intinya, susah, lah, meredam keinginan merokok. Jahanam memang masa-masa itu. Bahkan saya sempat mengira kalau rokok bakal jadi trauma terbaru saya. Eh ternyata, godaannya masih suka bikin saya berpikir untuk “Merokok lagi sajalah.”
Padahal, godaannya sendiri bukan lagi karena pikatan zat adiktifnya. Melainkan karena pikatan dari dampak positifnya bila diisap. Ya, Anda tidak salah baca. Sulit memang untuk dipahami, tetapi setelah dipikirkan lagi, ternyata merokok itu ada dampak positifnya. Anehnya lagi, bagi saya hal itu justru membuat dampak positif sesungguhnya dari tidak merokok jadi kurang menarik. Kurang memotivasi diri untuk memperpanjang keberhasilan dari berhenti merokok.
Ketika jari masih mengapit Garpit (2019). Foto: Dok. Istimewa.
Penjelasannya begini. Buat saya, rokok itu alat yang sahih untuk menghindarkan diri dari kekikukan saat bersosialisasi. Sebab, sejauh yang bisa saya ingat ketika dulu masih merokok, saya tidak pernah rasanya merasakan kikuk ketika berbicara dengan orang. Entah bagaimana, rasa kikuk itu seperti hilang saja dengan sendirinya di setiap bara rokok yang dibuang.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan setiap isapan dan hembusannya. Keduanya seperti menjauhkan saya dari kondisi diam mati gaya di saat topik obrolan baru tak kunjung mampir. Maksudnya, kalau topik obrolannya pun mandek, diamnya saya itu masih ditemani dengan aktivitas mengisap dan menghembus asap rokok. Dengan kata lain, jedanya itu tidak terlihat kikuk.
Bukan seperti sekarang yang jadi banyak clingak-clinguknya. Menggaruk-garuk yang sebenarnya tidak gatal saat sunyinya terlalu panjang, sampai yang paling parahnya itu bolak-balik mengecek smartphone. Yuk, bisa yuk, jangan begitu.
Ini mungkin akan terkesan seperti pasrah, tapi memang valid rasanya kalau saya katakan tak ada benda lain yang bisa seefektif rokok untuk hadapi situasi tersebut. Jadi, ya, begitu, kini jadinya saya merasa seperti orang yang socially awkward pas mengobrol, tanpa merokok. Beda sekali saat dahulu masih ngudut.
ADVERTISEMENT
Selain efektif buat hindari kekikukan, buat saya, rokok juga belum tergantikan perannya untuk mencairkan suasana. Ya, ya, mungkin Anda akan bilang itu klise. Tetapi itu benar adanya bagi saya.
Dahulu ketika merokok, rasa-rasanya saya tak pernah sekalipun merasa takut atau ada rasa segannya ketika bertemu orang untuk kedua kalinya. Apalagi, kalau saya dan orang tersebut sudah pernah merokok bersama, luwes pasti rasanya. Saya merasakan kalau lawan bicara saya tidak terlihat seperti terjebak ketika mengobrol dengan saya. Begitupun dari sisi sayanya, tidak terbesit sedikitpun di pikiran untuk kabur dari obrolan tersebut. Jadi, sepakat, deh, sama yang bilang rokok itu bisa mempererat pertemanan.
Entah batang ke berapa yang diisap di saat itu. Namun yang jelas sehari sebungkus tak cukup. Foto: Dok. Istimewa.
Miris memang rasanya menulis hal-hal tadi ketika semuanya tak lagi saya rasakan. Sekarang, pertemuan kedua jadi tak jauh beda rasanya dengan pertemuan pertama. Bukannya menyenangkan karena banyak inti sari baru yang didapat, melainkan karena masih tetap kikuk dan banyak segannya. Tidak luwes, bagaikan masih tak mengenal satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, jadi lebih banyak berpikir cara menyudahi obrolan dibandingkan mengobrolnya. Sampai-sampai ide “Hindari sajalah obrolannya,” bukan lagi ide yang sesekali muncul, tetapi jadi yang selalu muncul dan parahnya benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, sejak sudah tidak merokok, saya jadi menghindari (kalau bisa) mengobrol dengan mereka yang (sedang) merokok karena takut dengan wisata masa lalu waktu merokok dan merasakan hal-hal yang tadi saya sebutkan itu. Terlihat kikuk, amit-amit jadi buka smartphone saat diam tak ada topik, dan banyak segan dan berpikirnya daripada ngobrol-nya.
Bagaimana kalau mengobrol sama orang yang tidak merokok?
Tak jauh berbeda–maksud saya memang sejak dulu saat masih merokok, mengobrol dengan yang tidak merokok selalu jadi tantangan. Cuma dulu itu, tuh, kalaupun harus mengobrol dengan yang tidak merokok, kebanyakannya justru mereka jadi yang selalu mengalah dengan yang merokok, alias saya. Tidak terlalu pusing, deh. Makanya, pas rokoknya menghilang, jadi sama saja rasanya.
ADVERTISEMENT
Nah, dari semua dilema ini mungkin Anda ingin bilang, "Ya, merokok lagi saja sana!"
Tidak, tidak dulu, deh. Sejauh ini saya masih yakin kalau berhenti merokok itu lebih banyak baiknya dibanding merokok lagi. Terutama, buat kesehatan jangka panjang tubuh saya. Ya memang ujungnya untuk semua orang itu pasti sama, pasti akan mati. Baik yang merokok maupun yang tidak. Tetapi, buat saya, rasanya hidup lebih menenangkan ketika tahu kalau saya berhasil hapus satu dari sekian ribu opsi yang dimiliki malaikat maut untuk menjemput saya.
Meski begitu, saya tidak meminta siapapun untuk berhenti merokok usai baca tulisan ini. Lanjutkan kalau bagi Anda merokok banyak untungnya dan ada positifnya, misalnya seperti yang saya sebutkan tadi itu. Bebas, suka-suka Anda saja.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, jika ternyata jadi terbesit di pikiran Anda keinginan untuk berhenti merokok setelah membaca cuap-cuap ini, beri tahu saya di kolom komentar. Kalau banyak yang berpikiran begitu, akan saya beberkan kiat-kiat nyata saya, seseorang yang pernah jadi perokok berat selama 5 tahun-an, berhenti total dari merokok dan (mudah-mudahan) masih kuat hadapi segala godaan setelahnya.