Perjalanan Jumat Siang

Thontowi Wallace
Undergraduate Political Science Student and Reporter at KumparanSPORTS
Konten dari Pengguna
14 April 2021 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thontowi Wallace tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi khotbah. Foto: dok. Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi khotbah. Foto: dok. Kumparan
ADVERTISEMENT
(Prolog)
Jumat siang menjadi waktu yang sakral untuk sebagian manusia di bumi. Bagi sebagian orang Muslim, mereka harus segera bergegas ke masjid untuk menjalankan salat Jumat. Tidak semua Muslim merasakan hal sakral itu, sebagian memilih hal sakral lain untuk dikerjakan di waktu yang sama. Padahal, di waktu singkat itu terjadi banyak interaksi antar manusia meski tidak saling berbicara saat mendengar khotbah.
ADVERTISEMENT
Aku salah satunya. Aku memilih Jumat siang menjadi waktu sakral untuk melihat interaksi yang terjadi di masjid. Padahal, keseharianku tidak mencerminkan pakaian rapi yang aku gunakan saat hari Jumat siang. Benar, aku sejatinya bukan seorang Muslim yang utuh layaknya cerminan keseharian Rasulullah. Bahkan, aku sering memilih untuk melakukan yang bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad.
Ilustrasi sedang berdoa. Sumber: Unsplash
Setelah perjalanan 23 tahun hidup, ternyata di hari ini aku tersadar bagaimana hari Jumat waktu siang telah memberiku hiasan yang tidak ditemukan di hari yang lain. Hari Seninku saat di bangku sekolah hanya sekadar upacara panas-panasan. Selasa, Rabu, dan Kamis entah ada kebiasaan apa di hari itu. Sabtu dan Minggu, mungkin jadi waktuku terlama untuk tidur atau sekadar main handphone.
ADVERTISEMENT
Perjalanan hari Jumat memang memberiku kesan tersendiri. Aku tidak mengatakan kesan manis saja, bahkan saat aku ditolak perguruan tinggi favorit pun terjadi di hari Jumat. Hahaha, aku jadi ingat kejadian itu. Tangisanku sangat menjadi atas hasil itu.
Tapi, tangisan itu tidak sekuat saat tersadar hubunganku dengan Diora harus usai. Temanku, Nabila, mungkin masih teringat bagaimana isakan tangisku di kelas, 7 tahun lalu. Tangisanku semakin menjadi saat melihat novel ‘Hujan’ karangan Tere Liye berada di atas meja Nabila. Aku bisa pastikan itu milik Diora yang sedang dipinjam oleh Nabila.
Benar saja, setelah kubuka halaman 26, aku melihat tanda tanganku di halaman itu. Tentu saja, kejadian ini kualami di hari Jumat, bukan siang, melainkan pagi saat baru tiba di sekolah.
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
Entah mengapa, orang tuaku memberi nama Diramata. Aku tidak memahami pria cengeng sepertiku memiliki nama semegah ini. Bahkan, ini menjadi misteri selama hidupku. Saat orang bertanya mengenai namaku, yang bisa kujelaskan itu artinya “bercabang” di bahasa Italia. Itu juga hasil pencarian di internet, bukan dari mulut bapak dan ibu ku.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tuaku selalu ngalor-ngidul ketika aku bertanya terkait nama ini. Sempat aku berpikir, ini adalah nama salah satu mantan kekasih dari bapak atau ibuku. Namun, seberkesan itu kah? Hingga ia mengabadikan nama mantan kekasihnya itu ke nama anak pertamanya ini.
Jika itu memang benar, mungkin aku akan mengikutinya untuk mengabadikan nama Diora di salah satu nama anakku kelak. Tidak dengan Chiva atau Rina yang juga mantan kekasihku.