Keharusan Ulama dan Dai untuk Bicara Politik

Thoriq Aziz
Thoriq Aziz, S. Pd., Lc., adalah seorang guru agama di MAN 3 Sragen.
Konten dari Pengguna
6 Februari 2021 6:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thoriq Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dai Solo Raya, Ustaz Thoriq Aziz, S.Pd., Lc
zoom-in-whitePerbesar
Dai Solo Raya, Ustaz Thoriq Aziz, S.Pd., Lc
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sangat penting untuk peduli pada urusan politik, sebab dengan mengetahui politik, artinya orang tahu apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Keputusan politik yang diambil oleh segelintir orang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang. Masyarakat melihat politik sebagai sebuah roda pemerintahan, itu benar, tetapi jauh lebih rumit dari itu. Setiap kebijakan yang dibuat dari tindakan politik akan berdampak pada banyak orang.
Dengan politik apa yang akan terjadi ditentukan. Ini mengapa publik harus peduli dengan politik. Politik sangat penting dan rumit. Beberapa orang mungkin tidak peduli dengan politik, tetapi ketika sesuatu yang buruk terjadi, mereka akan menyesal karena bersikap masa bodoh dengan politik.
Para ulama, dai atau mubalig semestinya berani berbicara politik. Hal ini merupakan sebuah keharusan. Seorang ulama atau mubaligh tidak boleh berhenti untuk berbicara tentang politik.
Politik yang dimaksud adalah politik secara umum. Yakni nilai-nilai politik kejujuran, kebaikan dan berkeadilan untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Bicara politik itu merupakan bentuk al-naṣīḥah fī al-dīn (nasihat dalam beragama), al-tawāṣī bi-al-ḥaq wa al-ṣabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran), serta amar ma'ruf nahi munkar. Hal itu semua adalah sebuah keharusan yang tak dapat dipungkiri.
Idealnya ulama menjadi penjaga, dan adalah kewajiban ulama sebagai pewaris nabi untuk bicara politik. Ulama memiliki pengaruh signifikan terhadap politik dan keberlangsungan kehidupan umat dan bangsa di masa-masa mendatang.
Ambillah contoh Syeikh dari Mesir, Rifa'a Al-Tahtawi yang merupakan anggota ulama pertama yang melakukan perjalanan ke Eropa. Sebagai penasihat agama Muhammad Ali Pasha, dia tinggal di Paris dari tahun 1826 hingga 1831. Laporannya tentang "Taḫlīṣ al-ibrīz fī talḫīṣ Bārīz" pada tahun 1849 memuat beberapa garis besar reformasi masa depan dan potensi perbaikan di negara asalnya, Mesir.
ADVERTISEMENT
Meskipun Al-Tahtawi telah menjalani pendidikan tradisional, ia memiliki niat kuat untuk mempelajari konsep administrasi dan ekonomi Prancis modern. Ia hanya ingin merujuk pada Islam sekaligus menekankan bahwa Muslim dapat mengadopsi pengetahuan dan wawasan praktis dari Eropa. Dengan demikian, laporan At-Tahtawi mencerminkan upaya politik Muhammad Ali Pasha, yang tidak bermaksud untuk mereformasi Universitas Al-Azhar, tetapi bertujuan untuk membangun sistem pendidikan independen yang disponsori oleh pemerintahnya.
ilustrasi pixabay.com