Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anthroposentrisme: Manusia dalam Pemajuan Kebudayaan Lingkungan
25 Desember 2024 8:31 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Atthoriq Chairul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis: Atthoriq Chairul Hakim
Esensi Manusia, Budaya, dan Lingkungan
ADVERTISEMENT
OPINI - Manusia dalam bahasa inggris disebut man. Arti dasar dari kata ini tidak jelas tetapi pada dasarnya dapat dikaitkan dengan mens (latin) yang berarti “ada yang berfikir”. Demikian halnya arti kata anthropos (yunani) tidak begitu jelas. Semula anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Sekarang kata ini dipakai untuk mengartikan “wajah manusia”. Dan akhirnya homo bahasa latin yang artinya “orang yang dilahirkan di atas bumi”. Dasarnya, manusia adalah makhluk individu manusia yang merupakan bagian dan unit terkecil dari kehidupan sosial atau manusia sebagai makhluk sosial yang membentuk suatu kehidupan masyarakat, manusia merupakan kumpulan dari berbagai individu (Mahdayeni dkk, 155: 2019).
Manusia merupakan salah satu mahluk yang ada di alam semesta yang memiliki kelebihan dari segi penggunaan akal dan pikiran terhadap lingkungan sekitarnya. Awalnya manusia sendiri memiliki sikap hidup terhadap lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
ADVERTISEMENT
Seiring pemenuhan kebutuhan dan kondisi lingkungan yang mendesak mereka untuk menyesuaikan agar tetap hidup dan berkembangbiak. Berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh manusia, seperti membangun teknologi dan peralatan dalam menunjang kebutuhan hidup mereka. Menyuburkan ladang dan memupuknya guna untuk memenuhi kebutuhan pribadi ataupun akan diperjualbelikan kembali.
Hal - hal ini dilakukan berawal dari gagasan, aktivitas, dan menjadi artefak (Kebendaan) yang disebut sebagai wujud kebudayaan. Manusia sebagai aktor utama, dan pasti melekat kuat pada budaya yang eksis dari masa dahulu hingga sekarang, karena kebudayaan-kebudayaan yang dirasakan secara empiris, timbul secara utuh oleh manusia itu sendiri.
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari-hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Selain itu manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain dan melakukan suatu kebiasaan-kebiasaan tertentu yang pada akhirnya menjadi budaya yang biasa mereka lakukan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan (Mahdayeni dkk, 154: 2019).
ADVERTISEMENT
Manusia, budaya, dan lingkungan merupakan aspek-aspek yang tidak terpisahkan, begitupun manusia itu sendiri sebagai mahluk berbudaya yang berpengaruh terhadap ekosistem lingkungan hidup yang ada di dalamnya, seperti; hewan, tumbuhan, hingga benda mati sekalipun. Dinamika yang terjadi pada objek-objek ini, sangat dipengaruhi oleh manusia, termasuk dalam perubahan ke arah yang progresif atau regresif, hal dikarenakan manusia dari masa ke masa memiliki kewenangan yang laten dalam pengelolaan lingkungan atas budaya yang dimiliki olehnya secara pribadi maupun kelompok.
Tidak dapat dilupakan, jika membahas mengenai budaya dan lingkungan sangatlah berkaitan erat dengan manusia, bukan karena "Agung", secara hakikatnya budaya dan lingkungan dalam dinamikanya terdapat peran penting manusia di dalamnya. Mulai dari unsur-unsur kebudayaan yang berdampak penting terhadap keberlangsungan kehidupan manusia, hal ini juga dilatarbelakangi karena kebutuhan atas budaya yang mereka produksi sendiri, dan mempengaruhi lingkungan dari berbagai sisi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Manusia, budaya, dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara alamiahnya ketiga unsur ini saling menyokong sehingga membentuk evolusi sosial budaya. Bertolak pada tiga wujud dan tujuh unsur kebudayaan, hampir semuanya diperankan oleh manusia (Aktor), begitupun lingkungan tempat mereka hidup, nyatanya membutuhkan manusia dalam merapihkan ekosistem lingkungan yang berbudaya.
Peran-peran dari manusia yang sangat penting dalam kehidupan, memiliki resiko-resiko yang harus dipahami. Homo sapiens yang dibekali kelebihan akal, dapat menggunaan akalnya sesuai dengan kepentingannya sendiri, karena mereka adalah pusat sentral dan berperan penting dalam penyebaran (difusi) dan pengembangan kebudayaan.
Perlu diperhatikan stigma positif tentang konsep manusia, di dalamnya ada hal kontra, yang secara realita telah terjadi secara berkelanjutan. Dimana manusia memainkan posisinya sebagai titik sentral, namun ke luar dari koridor keselarasan lingkungan kebudayaan, seperti aktivitas manusia pada tambang ilegal, dan pengelolaan pangan melalui program food etstate. Aktivitas - aktivitas ini merupakan salah satu kegagalan manusia dalam pengembangan kebudayaan, dan lingkungan, bahkan berdampak terhadap manusia lainnya. Hal ini merupakan pengunaan wujud kebudayaan dari gagasan menuju aktivitas, hingga menghasilkan karya artefak semacam kegagalan-kegagalan gagasan pada realita lingkungan.
ADVERTISEMENT
Posisi tersebut secara kosmologi, bahwa manusia merupakan tempat sentral dalam pengelolaan aspek-aspek kehidupan, begitupun dampak negatif yang dihasilkannya. Manusia sebagai pusat tidak dapat dipungkiri, dan disalahkan, namun terdapat norma-norma yang mengatur kesalahan manusia dalam lingkungan kebudayaan. Sentralnya manusia sebagai aktor peradaban tidak melihat pro-kontra, serta hal itu ada resiko atas hidupnya manusia atau dikenal dengan Anthroposentrisme.
Anthroposentrisme dalam Pemajuan Kebudayaan Lingkungan
Manusia beperan penting (Sentral) dalam kebudayaannya, baik itu untuk membangun, mengolaborasikan kebudayaan yang ia miliki atau mengadopsi budaya lain. Kebudayaan sendiri dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dengan menggunakan budi dan akal. Premis-premis dari wujud kebudayaan itu sendiri dapat dibagi ke dalam tiga unsur yaitu; gagasan, aktivitas, dan artefak.
ADVERTISEMENT
Definisi di atas merupakan gambaran bahwa kebudayaan yang ada dari masa pre-historis hingga sekarang selalu terjadi karena adanya manusia sebagai pemilik atas budaya itu sendiri. Manusia dan budaya sudah terikat, bahkan secara hakikat biologis menyebabkan timbulnya budaya secara personal.
Kosmologi sosial budaya di dalam masyarakat, yang notabenenya manusia sebagai aktor, terdapat peran-peran penting aktor baik itu dalam memajukan kebutuhan dari unit terkecil dari struktur sosial, sehingga tetap berjalan sesuai koridornya. Pentingnya peran manusia (Sentral) dalam ranah kebutuhan untuk hidup, maka diperlukanya pemajuan pada unsur-unsur kebudayaan, hal ini membuktikan bahwa manusia sangat penting dalam berjalannya koridor kehidupan, namun menjadi pilihan manusia juga dalam memajukan kelerasan hidup sosial budaya atau dikenal dengan istilah anthroposentrisme.
ADVERTISEMENT
Antroposentrisme sebagai paradigma pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada pemikiran bahwa manusia adalah pusat sistem kosmis. Manusia mempunyai kepentingan yang beragam dan merupakan aktor penting dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan ekosistem dan pengelolaan alam (Menlhk: 2022).
“Namun cara pandang antroposentris ini mengarah pada hubungan sepihak yang didominasi oleh manusia. Hal ini menimbulkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumber daya yang cenderung eksploitatif dan hanya mencari keuntungan”, ungkap Menteri Siti
Statement tersebut mengindikasikan bahwa anthroposentrisme berhubungan dengan hal negatif atas sikap manusia terhadap lingkungan sekitar. Pandangan terhadap lingkungan dan hak atas manusia, meskinya tidak hanya berdampak negatif, namun bisa digunakan untuk pemajuan lingkungan yang berkebudayaan, sehingga keselerasan hidup manusia dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Antroposentris sebagai suatu pandangan terhadap lingkungan, seharusnya tidak hanya mewakili posisi sentral negatif manusia dalam lingkunganya, lalu bagaimana menjadikan pandangan ini sebagai suatu hal positif untuk membangun lingkungan budaya, yang diaplikasikan secara berkala dalam aspek kebudayaan manusia. Dalam membangun situasi seperti ini perlu lembaga berwenang untuk merealisasikan kebijakan membentuk sumber daya antroposentris orientasi positif dalam pembangunan kebudayaan lingkungan.
Ada beberapa beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pemajuan kebudayaan lingkungan. Aspek ini dilihat secara universal ataupun lokal masyarakat, di antaranya; radisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Ritus, Permainan rakyat, Olahraga tradisional, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa. Dan terdapat empat langkah strategis pemajuan kebudayaan, yaitu: Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, Pembinaan.
Aspek dan strategi ini perlu menjadi pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan dalam menciptakan keselarasan lingkungan sosial budaya, yang posisi sentral di sini adalah manusia, mulai dari gagasan mereka hingga terciptanya artefak (output) terhadap indikator-indikator pemajuan kebudayaan lingkungan.
ADVERTISEMENT