Konten dari Pengguna

Klik, Bagikan, Lawan: Transformasi Aktivisme Digital

Atthoriq Chairul Hakim
Anthropology I Jurnalisme. Jurnalis. Eks Antropologi Budaya ISI Padang Panjang.
2 Oktober 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Klik, Bagikan, Lawan: Transformasi Aktivisme Digital
Klik, bagikan, lawan, sebuah transformasi aktivisme digital: Kepedulian terhadap suatu isu yang beredar dan tentunya perlu aksi nyata di lapangan yang menyertai. #userstory
Atthoriq Chairul Hakim
Tulisan dari Atthoriq Chairul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi demo. Foto: Nadia Wijaya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demo. Foto: Nadia Wijaya/kumparan

Peralihan dari Lapangan ke Linimasa

ADVERTISEMENT
Aktivisme dalam sejarah modern selalu identik dengan jalanan, poster, dan kerumunan massa. Jalanan dianggap sebagai ruang otentik bagi rakyat untuk menyuarakan keberatan terhadap kekuasaan. Namun, perkembangan teknologi komunikasi—khususnya media sosial—menghadirkan arena baru yang sama hiruk pikuknya, meski tanpa teriakan megafon. Kini, protes bisa dimulai dari tombol klik, solidaritas dirawat lewat share, dan keberpihakan disimbolkan dengan tanda pagar (tagar).
ADVERTISEMENT
Transformasi ini tidak dapat dilepaskan dari konteks generasi muda yang hidup di tengah banjir informasi digital. Aksi berbasis linimasa bukan sekadar substitusi dari aksi lapangan, melainkan bentuk baru dari budaya berpolitik yang berakar pada logika jaringan. Aktivisme tak lagi eksklusif bagi mereka mampu hadir secara fisik, melainkan terbuka untuk siapa saja dengan akses internetnya. Dengan demikian, demokratisasi partisipasi politik menemukan momentumnya dalam ranah digital.

Media Sosial serta Jaringan Makna pada Masyarakat

Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai "jaringan makna" yang ditenun manusia sendiri. Media sosial masa kini adalah jaringan makna baru: ruang di mana simbol, narasi, dan emosi dirangkai menjadi aksi kolektif. Hastag 'tagar', infografis, hingga video berdurasi singkat bukan sekadar hiburan visual, melainkan tanda solidaritas yang dimaknai secara bersama.
ADVERTISEMENT
Fenomena #MeToo, misalnya, menunjukkan bagaimana pengalaman personal dapat diangkat menjadi kesadaran global. Di Indonesia, kampanye #ReformasiDikorupsi atau #SaveKPK menegaskan bahwa media sosial mampu mengubah isu spesifik menjadi percakapan publik berskala nasional.
Setiap unggahan, komentar, atau retweet adalah kontribusi kecil yang jika digabungkan akan membentuk gelombang besar. Pada akhirnya, aktivisme digital adalah proses kultural: memproduksi makna bersama, membangun narasi tandingan, dan menantang dominasi wacana resmi.

Kekuatan Solidaritas Virtual

Kecepatan dan daya jangkau adalah dua ciri utama aktivisme digital. Dalam hitungan jam, sebuah isu dapat viral, menembus batas geografis, dan menggerakkan ribuan orang. Hal ini memperlihatkan maksud dari Manuel Castells sebagai "network society" yaitu masyarakat yang terhubung oleh arus informasi global.
Ilustrasi ragam Sosial Media. Foto: Shutterstock
Twitter (sekarang X), Instagram, dan TikTok menjadi arena produksi pengetahuan alternatif. Meme satir, desain grafis, dan konten kreatif lainnya berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai senjata politik. Anak muda—yang sebelumnya mungkin merasa jauh dari bahasa formal politik—kini menemukan cara ekspresif yang sesuai dengan dunianya. Dengan demikian, aktivisme digital melibatkan logika politik dan estetika budaya populer.
ADVERTISEMENT

Risiko Slacktivism dan Disinformasi

Meski memiliki potensi besar, aktivisme digital juga mengandung paradoks. Fenomena slacktivism, aktivisme yang malas berhenti pada klik dan share, mencerminkan keterbatasan partisipasi digital. Banyak orang merasa telah berkontribusi hanya dengan mengganti foto profil atau menandatangani petisi online, tanpa pernah melibatkan diri lebih jauh dalam proses perubahan sosial.
Selain itu derasnya arus informasi membuat ruang digital rentan disinformasi. Algoritma media sosial sering kali memperkuat echo chamber di mana orang hanya bertemu dengan pandangan yang sejalan dengannya. Polarisasi pun tak terhindarkan; alih-alih membangun solidaritas, media sosial kadang justru memperuncing perpecahan. Aktivisme digital—dalam hal ini—menjadi arena yang penuh kerentanan: cepat memobilisasi, tetapi juga cepat terdistorsi.

Tantangan dari Otoritas

Aktivisme digital juga berhadapan dengan tantangan struktural dari negara. Di Indonesia, keberadaan UU ITE kerap menjadi momok bagi kebebasan berekspresi. Tidak sedikit aktivis digital yang berhadapan dengan kriminalisasi akibat unggahan di medsos. Situasi ini memperlihatkan bagaimana ruang digital—meskipun terbuka—tetap berada dalam pengawasan dan kontrol kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, aktivisme digital tidak bisa dipahami hanya sebagai ruang bebas dan demokratis. Ia juga merupakan arena pertarungan di mana suara warga berhadapan dengan regulasi, sensor, dan bahkan kekerasan simbolik. Pertanyaan pentingnya: Sejauh mana ruang digital mampu bertahan sebagai wadah partisipasi publik tanpa dibungkam oleh otoritas?

Demokratisasi Partisipasi Publik

Terlepas dari keterbatasan dan tantangan, aktivisme digital tetap memberi sumbangan penting bagi demokrasi. Ia memungkinkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan: perempuan, kelompok minoritas, dan komunitas adat untuk memperoleh panggung. Dari perspektif antropologi politik, hal ini merupakan pergeseran signifikan: politik tidak lagi terbatas pada ruang formal parlemen atau aksi jalanan, tetapi juga terajut dalam percakapan sehari-hari di dunia maya.
OPINI ANDINA - Ilustrasi Komunitas Foto: Shutter Stock
Demokratisasi ini juga menandai pergeseran habitus generasi muda. Pierre Bordieau menyebut habitus sebagai struktur mental yang membentuk praktik sosial. Habitus digital generasi saat ini membuat politik lebih cair, ekspresif, dan lebih dekat dengan keseharian. Politik hadir dalam bentuk video TikTok berdurasi 30 detik, atau utas Twitter (X) sepanjang 10 cuitan. Formatnya sederhana, tetapi daya jangkaunya masif.
ADVERTISEMENT

Jadikan Virtual ke Aksi Nyata

Kemudian, pertanyaan pentingnya: Bagaimana menjembatani dunia virtual dengan dunia nyata? Aktivisme digital dapat menjadi pintu masuk kesadaran kolektif, tetapi ia harus ditopang oleh tindakan yang lebih konkret. Tagar yang viral perlu diterjemahkan menjadi advokasi kebijakan, diskusi tatap muka, atau aksi sosial di komunitas. Tanpa langkah lanjut, aktivisme digital bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk menuju proses transformasi sosial yang lebih mendalam.

Refleksi

Aktivisme digital, pada akhirnya, adalah refleksi dari budaya generasi yang tumbuh dalam jaringan. Solidaritas kini bukan lagi ditentukan oleh kedekatan geografis, melainkan oleh resonansi emosional yang terbangun di dunia maya. Dari sudut pandang antropologi, hal ini memperlihatkan bahwa budaya selalu bertransformasi mengikuti medium komunikasi yang menopangnya.
ADVERTISEMENT
Jalanan dan media sosial bukanlah ruang yang saling menggantikan tetapi saling melengkapi. Jika jalanan adalah panggung aksi fisik yang menuntut keberanian tubuh, media sosial adalah panggung simbolik yang menuntut kreativitas narasi. Keduanya—bila dijalankan beriringan—dapat memperkuat solidaritas dan memperbesar daya tawar masyarakat terhadap kekuasaan.
Aktivisme digital telah mengubah cara kita memahami partisipasi politik dan solidaritas sosial. Ia membuka jalan bagi suara-suara baru, menghadirkan bentuk partisipasi yang lebih inklusif sekaligus mengandung tantangan serius berupa slacktivism, disinformasi, dan represi negara. Pertanyaannya: Apakah kita cukup berhenti pada tombol share, atau berani melangkah lebih jauh?
Keberanian untuk menjembatani solidaritas virtual ke dalam aksi nyata akan menentukan masa depan aktivisme digital di Indonesia. Jika berhasil, tagar bukan sekadar tren sesaat, melainkan penanda lahirnya budaya politik baru yang lebih demokratis, partisipatif, dan berakar pada kreativitas generasi muda.
ADVERTISEMENT