Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Refleksi Masyarakat Adat di Indonesia Masa Sekarang
30 Agustus 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Atthoriq Chairul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
OPINI – Indonesia merupakan negara Multikulturalisme, yaitu kaya akan keanekaragaman budaya dan kelompok masyarakat di dalamnya. Kekayaan tersebut dapat berupa kesenian, permainan masyarakat, teknologi, dan keagamaan, serta masih banyak yang lainnya. Salah satu hal yang selalu menjadi sorotan dalam kebudayaan di Indonesia adalah masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki tempat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mereka memiliki hak-hak dan hukum yang mengatur atas keberadaan mereka, serta keberagaman budaya juga kelokalan yang dimiliki, dapat menjadi identitas sosial budaya bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Soekanto (2001: 9), menjelaskan bahwa ”Masyarakat adat merupakan suatu kelompok, terdiri dari anggota yang hidup secara bersama dalam jangka waktu cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan”. Defenisi ini juga didukung dengan pernyataan bahwa masyarakat adat ”Terikat kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan atas lingkungan hidup, berdasarkan hak bersama terhadap tanah dan air”, (Hazairin, 1970: 44). Kedua defenisi tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat memiliki unsur-unsur yang harus dijustifikasi terkait keberadaanya secara fakta di lapangan. Baik itu hubungan sesama anggotanya, organisasi sosial, maupu dengan pemerintah. Secara de facto memang hal ini dimiliki oleh setiap masyarakat adat, namun untuk pengakuan hak-hak mereka di tengah-tengah berjalanya alur pemerintah dan birokrasi perlu disahkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
ADVERTISEMENT
Masa sekarang masyarakat adat mendapat perlindungan secara hukum terhadap keberadaanya, baik itu hak-hak yang harus didapatkan dari pemerintah. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, serta dijelaskan juga mengenai “zelfbestuurende landschappen” (daerah swaparaja) dan “volksgemeenschappen” (masyarakat adat), di mana negara sendiri berkewajiban untuk menjaga hak-hak usul masyarakat adat yang bersangkutan.
Amandemen UUD 1945 menempatkan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat adat pada pasal 18 B ayat 2 mengenai pemerintah daerah, dan pasal 28 ayat 3 mengenai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Terdapat multi tafsir kalimat dalam kedua pasal tersebut, yang mana pasal 18 B menggunakan kalimat ”masyarakat hukum adat”, sedangkan pasal 28 ayat 1 menyebutkan ”masyarakat tradisional”. Meskipun begitu, sesungguhnya memiliki entitas yang tetap sama yaitu perlindungan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Pendefinisian masyarakat adat telah banyak dilakukan oleh berbagai pakar dan lembaga, salah satunya seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). AMAN mendefinisikan masyarakat adat sebagai ”Komunitas-komunitas yang hidup dan berkebudayaan pada wilayah adat tertentu, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alamnya, dan diatur oleh hukum adat dan lembaga untuk keberlangsungan hidup masyarakatnya (AMAN, 2001: 9).
Dahi dan Parrellada (2001: 10) juga mendefinisikan hal serupa bahwa masyarakat adat ”Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul di wilayah geografis tertentu, serta mempunyai sistem ideologi, nilai, politik, ekonomi, dan hukum sendiri. Definisi-definisi tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat perlu diidentifikasi keberadaanya, serta memiliki otonomi sendiri terhadap wilayahnya, di samping mereka menjadi tanggung jawab negara, juga negara tidak ada hak untuk menguasai dan mengeksploitasi secara besar-besaran, tanpa kesepakatan bersama dengan pemangku adat yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 “Negara wajib mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Berkaitan juga dengan pasal 28 ayat 1 yang menyatakan ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dari beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, hak-hak masyarakat adat selalu diabaikan, terutama pada ranah agraria. Wilayah agraria (adat) yang diatur oleh hukum adat mereka sendiri, namun banyak dari mereka yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dikenai pasal lalu dijerumuskan ke dalam penjara, bahkan meregang nyawa untuk mempertahankan hak mereka.
Didasarkan pada pasal-pasal yang termaktub di atas, di manakah peran negara untuk melindungi hak mereka ?. Bahkan ketika investor asing menggusur lahan mereka, lalu menjadi lahan proyek, seharusnya ada upaya negosiasi, dan pengamanan terhadap hak dan kebutuhan masyarakat adat. Berbagai kekerasan terjadi baik struktural ataupun tidak, dengan alih-alih pembangunan ekonomi juga menaikan pendapatan perkapita negara, tanpa memerhatikan solusi yang pas dalam penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Realita di lapangan, bahwa dalam perluasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah dengan koalisasi perusahaan asing atau dalam negeri tidak memerhatikan hal ini. Masyarakat adat ibarat dijadikan ”tumbal”, mereka dipaksa untuk meninggalkan kawasan adat nya sendiri. Secara objektif, pembangunan di Indonesia tidak hanya berpedoman pada bangunan megah, ataupun proyek-proyek untuk pemenuhan ekonomi negara, namun juga dilihat dari basis kebudayaan, termasuk pendidikan di dalamnya.
Berpedoman pada objek-objek pemajuan kebudayaan yang terdiri dari tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Unsur-unsur tersebut jelas terdapat pada masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia. Tindakan yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat adat, baik itu hak otonominya seperti kehilangan kawasan adatnya, maka unsur-unsur pemajuan kebudayaan, guna untuk pembangunan kebudayaan di Indonesia.
Beberapa isu yang sangat krusial dan sering terjadi pada masyarakat adat secara garis besar dibagi atas beberapa kasus di antaranya: identitas diri, pandangan hidup, hak-hak atas tanah, hutan, atau sumber daya alam, dan klaim atas wilayah tradisional. Terdapat juga tiga isu yang disebut dengan oposisi kembar seperti posisi superioritas versus inferioritas, dan modern versus tradisional. Oposisi kembar ini yang dikembangkan oleh kelompok dominan (pemerintah kolonial, pemerintah Orde Baru, kelompok kepentingan, dan lainnya), yang menyebabkan terdesaknya masyarakat adat pada posisi tidak menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Ketidak pedulian pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat memang hal yang sangat krusial, dan berdampak negatif terhadap masyarakat adat itu sendiri, maka perlu pengawalan secara intensif masyarakat, beserta lembaga-lembaga yang membidangi perihal masyarakat adat. Seperti yang terjadi di Papua. Dilansir dari Majalah Tempo bahwa ”Terjadinya gerakan All Eyes on Papua sebagai bentuk dukungan publik terhadap deforestasi yang terjadi di Papua, khususnya kawasan masyarakat adat”. Perlunya aktivitas yang menunjukan kepedulian terhadap masyarakat seperti demontrasi, mediasi, maupun kepedulian dari media sosial, sangatlah berarti. Terbukti, jika tidak ada kawalan publik dari berbagai lapisan, maka kasus-kasus penyelewengan hak-hak masyarakat adat akan terus terjadi.
Penulis: Atthoriq Chairul Hakim
Foto: Firman Jaya Wardana