Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Paradigma Medical Model Menciptakan Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas
15 Juni 2023 5:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Thuba Hkanifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diskriminasi kerap kali dialami oleh kelompok minoritas, baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Hal ini jugalah yang dialami oleh kelompok disabilitas, di mana mereka merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia yang jumlahnya kurang lebih 15 persen dari penduduk dunia (Novialdi, Isvarwani, Fauzi, Ismail, & Qadafi, 2021).
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia sendiri, jumlah penyandang disabilitas pada tahun 2022 menurut Survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai sekitar 22,5 juta orang.
Jumlah penyandang disabilitas tersebut mengalami peningkatan sekitar 5 persen dari tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2021 terdapat 16,5 juta penyandang disabilitas (Liputan6.com, 2023).
Berdasarkan UU No.8 Tahun 2016 pasal 1 ayat 1 penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesetaraan hak (Widjaja et al., 2020) dalam (Novialdi, Isvarwani, Fauzi, Ismail, & Qadafi, 2021).
Pada umumnya disabilitas dipandang oleh masyarakat sebagai bentuk seseorang yang secara fisik dan mentalnya mengalami keterbatasan sehingga memerlukan bantuan khusus, serta dalam mendapatkan pendidikan dan fasilitas umum yang layak di kehidupan sehari-hari dirinya mengalami kesulitan bahkan tidak bisa mengaksesnya.
ADVERTISEMENT
Cara pandang terhadap disabilitas dapat menentukan bagaimana penyandang disabilitas diperlakukan dan diposisikan dalam lingkungan sosial. Pada awalnya cara pandang atau paradigma tentang disabilitas didasarkan atas medical model of disability.
Medical model of disability merupakan paradigma yang memandang penyandang disabilitas sebagai pihak yang mengalami penyakit medis dan hal ini yang mengakibatkan penyandang disabilitas tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat umum dan harus tinggal di rumah atau institusi rehabilitasi, serta diharapkan tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain (Michael, 2020).
Dalam paradigma ini penyandang disabilitas diupayakan untuk disembuhkan secara medis agar mereka memungkinkan untuk memiliki kehidupan yang “normal”.
Selanjutnya medical model memunculkan charity-based approach yaitu pendekatan yang memandang penyandang disabilitas atas dasar belas kasihan. Dengan pendekatan ini para penyandang disabilitas cenderung dijadikan objek perlindungan, perlakuan dan bantuan daripada subjek pemegang hak (Tarsidi, 2012).
ADVERTISEMENT
Akibatnya, penyandang disabilitas dipisahkan dari masyarakat umum dan mereka disediakan fasilitas khusus seperti sekolah khusus dan transportasi khusus. Hal ini dilakukan karena penyandang disabilitas dianggap tidak mampu menghadapi tantangan hidup di masyarakat luas (Tarsidi, 2012).
Kesamaan akses dengan yang non disabilitas terhadap hak-hak yang mendasar dan kebebasan fundamental (pendidikan, pekerjaan, pemilihan, partisipasi dalam kegiatan sosial budaya) juga tidak diberikan kepada mereka.
Apabila dalam kegiatan sosial ada penyandang disabilitas yang berpartisipasi, masyarakat akan memandang hal tersebut sebagai suatu keanehan.
Dalam masyarakatnya sendiri para penyandang disabilitas justru cenderung diperlakukan sebagai orang asing. Hal inilah yang kemudian justru menimbulkan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.
Beberapa bentuk diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas yaitu mengenai akses terhadap layanan publik, hak memperoleh pendidikan dan pekerjaan, dan keikutsertaan di sektor politik.
ADVERTISEMENT
Kemudahan akses bagi penyandang disabilitas sebenarnya agar dalam mereka bersosialisasi di lingkungan masyarakat, dapat terwujud kondisi yang lebih baik.
Akses minimal bagi penyandang disabilitas yang harus pemerintah sediakan yaitu pengadaan akses ruang publik, aksesibilitas secara fisik terhadap fasilitas umum dan sarana transportasi (Novialdi, Isvarwani, Fauzi, Ismail, & Qadafi, 2021).
Meskipun pembangunan sarana khusus bagi penyandang disabilitas telah ada seperti tempat parkir khusus, tetapi sarana yang kurang ramah disabilitas masih banyak.
Sarana yang dimaksud tersebut seperti trotoar yang tidak di setiap tempat aksesibel bagi mereka, elevator yang terlalu sempit, dan sarana sanitasi yang tidak mendukung,
Dalam pemenuhan hak pendidikan dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas, syarat “sehat jasmani dan rohani” yang merupakan syarat umum dan selalu ditampilkan pada setiap kondisi menjadi kendala bagi penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Seringkali ketika akan mendaftar di sekolah umum, penyandang disabilitas ditolak dengan alasan keterbatasan tenaga pendidik dan juga sarana prasarana, sehingga mereka diminta mendaftar di sekolah luar biasa (SLB).
Meski demikian, sekarang ini telah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang menerima penyandang disabilitas meskipun sebenarnya dalam pelayanannya masih belum optimal ramah disabilitas.
Saat ini terdapat kewajiban bagi perusahaan swasta untuk mempekerjakan minimal 1% penyandang disabilitas dari seluruh jumlah karyawannya dan bagi sektor pemerintah minimal 2% dari jumlah karyawannya.
Meski demikian, rupanya aturan tersebut belum diterapkan oleh seluruh perusahaan. Selain itu juga terdapat perusahaan yang memberikan persyaratan yang sulit dipenuhi oleh penyandang disabilitas.
Adanya persyaratan bahwa harus mampu menulis, membaca, dan berbicara untuk mendapatkan hak pilih, membuat penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang kecil, terlebih pada mereka yang hanya mampu berbicara dalam bahasa isyarat (Novialdi, Isvarwani, Fauzi, Ismail, & Qadafi, 2021).
ADVERTISEMENT
Selain itu ketika akan menggunakan hak pilihnya, mereka menghadapi berbagai kesulitan, salah satunya kertas suara yang tidak dilengkapi braille yang menyulitkan disabilitas tuna netra serta tidak tersedianya tempat khusus sesuai karakteristik keterbatasannya juga menyulitkan disabilitas tuna daksa.
Baik non disabilitas maupun disabilitas sudah seharusnya mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Oleh karena itu, tidak sepatutnya penyandang disabilitas mendapat perlakukan yang berbeda bahkan hingga pada tahap perlakuan diskriminasi.
Adanya kekurangan yang dimiliki bukan berarti menghalangi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di lingkungan sosial. Justru masyarakat sendirilah yang menciptakan batas dan merampas hak mereka untuk ikut menjadi bagian dari masyarakat.
Untuk itu perlu adanya kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk melihat keberadaan penyandang disabilitas dan memberikan perlakuan yang selayaknya.
ADVERTISEMENT