Konten dari Pengguna

Mengubah Paradigma: KUHP Baru Jadi Jembatan Laki-Laki Menuju Pengakuan

Tia Monica Sihotang
Universitas Udayana
18 Juli 2024 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tia Monica Sihotang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum. Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum. Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kekerasan Seksual di Indonesia tahun 2020 menyebutkan sebanyak 33,3% laki-laki jadi korban kekerasan seksual. Data menunjukkan kekerasan seksual terhadap laki-laki nyata adanya. Selama ini kekerasan seksual identik dengan perempuan berkedudukan korban. Rumusan pasal perkosaan dalam KUHP eksisting turut serta mendukung penguatan konsepsi bahwa perempuan merupakan korban mutlak. Aturan KUHP eksisting tidak mengenal perkosaan dengan korban laki-laki, syarat korban harus perempuan.
ADVERTISEMENT
Lantas, jika korban harus perempuan, laki-laki bagaimana nasibnya? Secara sosial, perhatian publik tak akan seramai jika korbannya perempuan. Tingkat empati yang diberikan masyarakat terhadap gender korban berbeda. Laki-laki yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual kerap mendapatkan stigma negatif. Mereka akan diberi label buruk seperti; mengada-ada, lembek, kemayu, cengeng, banci, dsb.
Masyarakat beranggapan laki-laki adalah makhluk kuat sehingga tidak mungkin berada dalam posisi lemah. Juga perempuan, potret makhluk lemah lembut, tidak aneh-aneh, tidak boleh nakal, nurut, selalu dianggap tak berdaya sehingga dianggap tidak mampu jadi pelaku. Padahal pelaku kekerasan seksual pada laki-laki tak harus perempuan, bisa jadi dilakukan oleh sesama jenis.
Secara hukum, Indonesia tak mengenal hubungan sesama jenis, Pasal 292 KUHP eksisting hanya mengatur perbuatan cabul sesama jenis dengan korban anak di bawah umur. Terjadi kekosongan hukum terhadap tindak asusila sesama jenis dengan korban dewasa. Hukum pidana Indonesia juga tidak mengenal laki-laki sebagai korban perkosaan. Definisi yang diatur dalam KUHP eksisting terlalu sempit dan terlalu banyak syarat. Dalam hal terjadi kekerasan seksual dengan laki-laki sebagai korban, maka tak ada payung untuk mereka berlindung.
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki tak selalu menguntungkan laki-laki.
Perjuangan kesetaraan gender tak hanya bertujuan untuk melindungi perempuan. Frasa kesetaraan melingkupi gender keduanya. Faktor paling kuat yang mempengaruhi keberpihakan gender adalah budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi atas membuat mereka sulit untuk ditempatkan pada kedudukan korban. Patriarki memberi mandat pada laki-laki untuk selalu kuat, anti lemah. Dogma ini tanpa sadar ternyata juga memberikan dampak negatif terhadap laki-laki itu sendiri, menjadi buah tak kasat mata berupa toksik maskulinitas.
Masih hangat di ingatan, kasus yang cukup menyita perhatian publik beberapa tahun silam. Terjadi pelecehan sesama jenis oleh Reynhard Sinaga, seorang WNI, yang dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pemerintah Inggris. Dia didakwa atas tindak pidana perkosaan terhadap lebih dari 100 pria di Manchester.
ADVERTISEMENT
Beruntung kejadian terjadi bukan di Indonesia. Sebab, bila ini terjadi di negara kita maka lebih dari 100 korban tersebut akan merasa diludahi keadilan sebab tak ada dasar hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku. Hal buruk lain adalah lebih dari 100 orang tersebut tak dapat menuntut hak-hak mereka sebagai korban seperti yang tertulis pada UU Perlindungan Saksi dan Korban karena hukum tak menganggap mereka sebagai korban.
KUHP Baru Jadi Angin Segar Keadilan Gender
Pembaharuan hukum di Indonesia sebagai harapan penyempurnaan keadilan terus diusahakan oleh pemerintah. Pada awal tahun 2023, RUU KUHP resmi disahkan dan diundangkan menjadi UU No 1 Tahun 2023. Meski demikian, KUHP baru tak serta merta berlaku pada saat itu, melainkan tiga tahun terhitung dari tanggal diundangkan (akan berlaku pada tahun 2026 mendatang).
ADVERTISEMENT
KUHP baru bawa angin segar pada isu diskriminasi gender. KUHP baru meluaskan makna perkosaan yang tak hanya mentok pada perempuan sebagai korban. Dengan adanya perluasan makna, secara ius constitutum memberikan legalitas kepada laki-laki untuk diakui kedudukannya sebagai korban sehingga berhak menuntut perlindungan. Juga pada tindak pidana perbuatan cabul, KUHP baru mengakomodir hukuman bagi perbuatan cabul sesama jenis dengan korban laki-laki dewasa.
Pasca KUHP baru hadir, keadilan bagi laki-laki berhadapan dengan kekerasan seksual menuju titik terang. Dengan pengakuan yuridis berkat KUHP baru, laki-laki yang dirugikan dapat pengakuan sebagai korban. Toksik maskulinitas, buah tak kasat mata dari budaya patriarki jadi dapat diberantas. Laki-laki korban kekerasan seksual pasca KUHP baru memiliki dasar hukum untuk melapor dan menuntut perlindungan.
ADVERTISEMENT
Beberapa hak yang dapat menjadi dasar tuntutan korban antara lain; berhak akan bantuan medis, bantuan rehabilitas, psikologis, serta berhak menuntut restitusi. Semua tuntutan hak tersebut tak akan bisa di klaim laki-laki jika pemerintah tidak memperbaiki persoalan perkosaan pada KUHP lama.
KUHP baru mengubah paradigma lama dan memberikan perlindungan setara bagi semua korban kekerasan seksual tanpa memandang gender. Pengakuan laki-laki sebagai korban adalah langkah penting menuju keadilan yang lebih inklusif di Indonesia.
Setelah aturan tertulis resmi berlaku, PR ke depan adalah memastikan pemerintah aktif mengimplementasikannya untuk memastikan semua korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Juga harus dipastikan bahwa bantuan dan dukungan berupa program bantuan medis, psikologis, dan rehabilitasi untuk korban laki-laki tersedia serta mudah diakses.
ADVERTISEMENT