Konten dari Pengguna

Pemuda dan Kekuasaan

Tia Rahmania
Ketua DPD Banteng Muda Indonesia (BMI) Provinsi Banten
17 Juni 2024 16:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 8 September 2024 13:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tia Rahmania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Etika Kekuasaan Politik. Foto: Karolina Kaboompics/pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Etika Kekuasaan Politik. Foto: Karolina Kaboompics/pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang merubah ketentuan syarat umur minimal 40 tahun yang diatur di pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diubah, sehingga pasal 169 huruf q UU No 7/2017 berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut menuai kontroversi karena memberi ruang pada sosok anak muda Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024. Meski telah usai, peristiwa itu tetap menuai perdebatan dan residunya masih terasa sampai sekarang.
Pihak yang kontra, mendalilkan argumentasinya pada nilai-nilai demokrasi yang telah dilanggar. Putusan MK No 90 sangat kental dengan praktik kekuasaan yang melebihi batas kepatutan. Sementara yang pro mendalilkan pada hukum positif bahwa tidak ada bukti yang menunjukan kekuasaan ikut campur dalam putusan MK No 90. Dua argument ini tentu tidak akan ketemu. Celakanya sebagian yang pro dengan putusan MK, datang dari kalangan pemuda baik secara individu maupun secara organisasi.
Pemuda yang harusnya kritis dan berpegang teguh pada kebenaran justru masuk dalam perdebatan politik dengan basis argument semata-mata mendalilkan hukum positif, membangun narasi bahwa keputusan tersebut menunjukan keberpihakan pada anak muda. Lebih dalam lagi, praktik semacam ini merusak demokrasi. Politik tidak lagi menempatkan etika sebagai perisainya. Jika praktik semacam ini terus berlangsung, demokrasi Indonesia akan semakin mundur dan potensial menjadi "neo totalitarianisme".
ADVERTISEMENT
Arus Balik
Dalam sejarah Indonesia, pemuda telah terbukti memiliki peran besar baik pra maupun di awal kemerdekaan. Bahkan di masa orde baru, ditengah kekangan penguasa, pemuda Indonesia tetap memberikan kontribusi berupa kritik, pendampingan kaum lemah, dan sebagainya. Namun idealisme perjuangan itu tak bertahan selamanya. Pasca reformasi 1998, dalam konteks idealisme pemuda, memudar bahkan tergadaikan oleh jabatan dan uang. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Kepentingan bangsa dan negara dipinggirkan.
Bisa dikatakan idealisme politik pemuda nyaris 'mati', sebagian telah menjelma sebagai agen kekuasaan, bahkan tak jarang melontarkan kata-kata bernada ancaman kepada yang kontra dengan penguasa.
Pemuda dengan mudahnya menjadi agen-agen penguasa qum oligarki. Pemuda sebagai agen perubahan telah kehilangan maknanya, terperangkap dalam permainan politik destruktif. Korupsi, suap, manipulasi dan praktek politik tidak bermoral lainnya sangat dominan dan dinikmati sebagai kompensasi politik. Sesuatu yang sangat kontras dengan semangat para pendiri Republik.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana seharusnya menyikapi fenomena pemuda yang semakin pragmatis ditengah situasi politik yang juga masih berkultur feodal dan anti kompetisi yang sehat?
Mengembalikan kekuasaan politik ke rel demokrasi dan hukum memerlukan pengorbanan besar. Diera yang politik yang semakin liberal, pemuda Indonesia sudah semestinya melakukan evaluasi menyeluruh atas perjalanan politik Indonesia dalam 26 tahun terakhir. Mengambalikan makna politik sesuai dengan semangat proklamasi dan reformasi 1998.
Kesempatan itu tentu terbuka, tinggal bagaimana pemuda Indonesia proaktif dalam gerakan politik berbasis ideologi dan menggaungkan narasi yang berbobot. Tidak terjebak pada feodalisme dan tidak mengedepankan nepotisme dan kepentingan pribadi-kelompok, karena politik merupakn kerjasama untuk kepentingan bersama dalam masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemuda Indonesia harus mendorong (agenda) perubahan politik dengan mulai membangun komunikasi dengan partai politik. Disis lain, bagi pemuda yang sudah berada didalam partai terus melakukan pendidikan dan pelatihan serta berabagi agenda kerakyatan. Tentunya ini memerlukan kebesaran jiwa dan patriotisme dari pemuda.
Kedua, mengawal perubahan dan penegakan hukum, memastikan negara ini dijalankan sesuai prinsip ‘negara hukum’ bukan ‘negara kekuasaan’. Ini akan berimplikasi pada sejauh mana institusi penegak hukum dan lembaga negara yang bersangkut paut dengan konstitusi mampu bertransformasi menjadi lebih demokratis. Kalau ini bisa dilakukan maka kekuasaan yang ambisius dan tak mengindahkan norma-norma dalam bernegara bisa diredam—dihentikan karena hukum dijalankan dengan sebaik-baiknya, tidak diintervensi oleh pihak luar.
Ketiga, rumah Indonesia membutuhkan pemuda yang terus mau menempa diri, mempersenjai dirinya dengan ilmu pengetahuan, kejujuran dan kerja keras, komitmen pada kebenaran dan terus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Perlu direnungkan kembali, kekuasaan yang berlebih itu tidak baik karena berpolitik tidak hanya soal kekuasaan, tetapi mengemban amanat rakyat bahkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pemuda harus meyakini pada masanya, pemuda bisa menjadi pemimpin, terpenting melewati prosesnya, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Bagi pemuda Indonesia, perlu merenungkan apa yang dikatakan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara ketaatan dengan penguasaan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi menjadi domain yang menentukan tingkah laku politik. Dalam konteks politik, setidaknya dalam 10 tahun terakhir menunjukan kalau mereka yang belum mencapai posisi kekuasaan akan meneriakkan pentingnya etika-moralitas ditegakkan, namun ketika berkuasa, justru perilaku politiknya, etika dan akhlaknya tidak lebih baik dari mereka yang dahulu dikritiknya.