Tanpa Etika, Politik Telah Mati

Tia Rahmania
Ketua DPD Banteng Muda Indonesia (BMI) Provinsi Banten
Konten dari Pengguna
25 April 2024 13:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tia Rahmania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perpolitikan Indonesia makin tak beradab. Demokrasi terus merosot, hukum dipermainkan oleh penguasa--tajam kelawan politik, tumpul--melindungi kawan sendiri. Nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) tak menjadi pijakan lagi. Politik Indonesia tidak didasarkan pada debat yang basisnya akademik yang dialogis. Sebaliknya, didominasi sentiment dan bahkan penghukuman.
ADVERTISEMENT
Etika ialah dasar moral politik. Meniadakan etika dalam kehidupan politik maka potensial melahirkan praktek politik Machavellistis—politik hanya sekedar perkakas untuk pemenuhan ambisi, tanpa mengindahkan kesusilaan, norma dan bebas nilai.
Tindakan intimidasi kepada akademisi yang menyuarakan keprihatinan atas situasi dan kondisi demokrasi dan hukum di Indonesia terutama dalam proses Pemilu 2024 adalah peristiwa politik yang membuat nalar sehat bangsa ini tertampar. Kekuasaan politik telah memperlihatkan sifat dasar penguasa yang tidak siap dikritik.
Rezim yang harusnya terbuka dan berbesar hati menerima kritik dan memberikan penjelasan yang utuh pada publik, justru menyerang balik. Tak jarang kritik dibalas dengan intimidasi dengan pembunuhan karakter dan ancaman baik fisik, psikologis, sampai dikerengkeng dengan penggunaan pasal-pasal karet.
ADVERTISEMENT
Dan semakin menghawatirkan lagi ketika suara para guru besar dibungkam, sebagaimana dialami oleh Profesor dari UGM dan UI. Jauh dibelakang telah terjadi persekusi dan intimidasi pada mahasiswa kritis seperti dialami Ketua BEM UI dan para pimpinan organisasi mahasiswa lainnya yang kritis pada kekuasaan. Begitupula para aktivis lingkungan, aktifvis agraria, aktivis anti korupsi dan sebagainya juga mengalami nasib serupa.
Kritik dari siapapun itu, selama menyangkut kepentingan bangsa, harus didengarkan. Celakanya kritik dari para tokoh bangsa dan insan kampus justru dilabeli sebagai “buzzer”, sementara influencer dianggap sebagai suara kebenaran. Dengan seperti ini, politik kita sudah diujung kehancuran. Sungguh sangat memprihatinkan. Bahkan jika menggunakan kriteria Levitsky & Ziblat (2018) dalam buku “How Domocracies Die”, maka demokrasi Indonesia telah mati. Menurut mereka ada empat tanda untuk mengenali tokoh otoriter. Dua dari empat tanda ini sedang terjadi di Indonesia yaitu komitmen yang lemah atas aturan main demokrasi dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media. Kalaupun diberi ruang, kebebasan ini diikuti dengan tindakan intimidasi, teror, dan penghukuman.
ADVERTISEMENT
Semua bentuk pembungkaman yang dioperasikan kekuasan dimaksudkan untuk membuat takut dan jera para pengkritik. Dalam politik disebut politic of fear -- dalam bentuk intimidasi, teror, maupun ancaman lain yang dilakukan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Sarah Jenkins (2020) dalam tulisannya “The Politics of Fear and the Securitization of African Elections” menunjukkan kalau politik ketakutan diciptakan oleh suatu kelompok untuk memojokkan kelompok lain atau menarik kelompok yang kontra ke dalam kelompoknya. Kasus yang menjadi latar tulisan tersebut adalah negara-negara Afrika Sub Sahara dan cara ini menjadi senjata efektif. Sesuatu yang hampir sama dengan Indonesia.
Kekuasaan semakin sewenang-wenang, melakukan penyimpangan dan puncaknya adalah memporak-porandakan sistem hukum untuk meloloskan seorang anak muda menjadi cawapres, disusul dengan penggunaan aparatus negara, aparat desa, dan anggaran negara untuk personalisasi dukungan kepada pihak tertentu. Bahkan penguasa menggunakan cara fait acccompi yakni menggunakan tangan akademisi lain untuk memberikan pernyataan yang memuji-muji pemerintah. Tidak ada lagi keteladanan, yang ada hanyalah kepentingan sempit-mabuk kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 dirusak oleh nafsu melanggengkan kekuasaan. Namun sepandai-pandainya dikemas, topeng kekuasaan yang nir etika (tanmpa moral) akhirnya terbongkar dan menyimpan bara api yang telah membakar nilai-nilai demokrasi.
Dengan mengatakan biarkanlah rakyat menentukan siapa yang dikehendaki menjadi pemimpinnya, hanyalah alibi-alasan pembenar. Ditengah kemiskinan, pengangguran, dan sulitnya lapangan kerja maka masyarakat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, praktik politik uang dan sejenisnya menjadi senjata untuk meraup suara.
Tentu bagi masyarakat kecil, kita masih bisa memahami itu. Yang patut disayangkan adalah perilaku para elite dan sebagian kaum intelektual yang justru mendukung tindak tanduk kekuasaan. Inilah praktik politik klientelisme mengingat alasan satu-satunya yang bisa menjelaskan dukungan mereka karena orientasi pada jabatan dan kekayaan, sehingga rela “menyembah” kekuasaan. Dengan argument yang manipulatif, mereka telah melayani penguasa untuk kepentingan jangka pendek. Fenomena semacam ini semakin menebalkan praktik penyelewengan intelektual bahkan negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, sekian puluh tahun yang lalu juga melakukan hal serupa (John Mearsheimer seorang Profesor Ilmu Politik yang otoritatif dari Chicago University).
ADVERTISEMENT
Kalau fenomena semacam ini dianggap sebagai suatu kewajaran, maka akan menjadi suatu kebenaran dalam praktik politik Indonesia. Kita bukannya maju, justru peradaban politik Indonesia mundur ratusan tahun. Inilah wajah politik Indonesia akhir-akhir ini, hanya diasuh dengan kepetingan mengakumulasi kapital, bukan diasuh dengan pertimbangan rasionalitas dan etika.
Tanmpa etika, ketiadaan kompas moral pasti memiliki daya rusak. Politik yang beradab telah mati, dan pelakunya adalah penguasa yang didukung sebagian kaum terpelajar-kampus dan sebagian media.
Merawat Kritisisme
Ditengah kegelapan politik, lilin-lilin kebenaran harus tetap diucapkan-kritik harus dihidupkan. Para tokoh bangsa, cendekiawan, aktivis pro demokrasi, dan kita semua yang tak mau melihat negeri ini hancur karena ambisi satu kelompok tertentu, siapun Presiden Indonesia jika menyeleweng dari demokrasi, merusak tatanan hukum suara-suara kritis harus digaungkan.
ADVERTISEMENT
Kita ingin, demokrasi yang sudah bersemi sebagai salah satu pencapaian reformasi 1998 tidak mati karena kebebasan berbicara dan berserikat dipasung oleh kekuasaan yang sebetulnya tidak pernah terlibat dalam perjuangan demokrasi.
Kritik adalah nutrisi bagi demokrasi. Kritik atas pemerintah dan lembaga negara adalah sah dan dilindungi oleh UU. Memastikan Indonesia terus bertumbuh menjadi makin demokratis adalah harapan kita semua. Bukan negara yang dimiliki oleh kelompok tertentu dengan menghalalkan segala cara untuk tetap mengontrol kekuasaan.
Dalam sikap yang kritis, etika harus terus diusahakan dengan bertanggungjawab dan dalam kerangka pengetahuan yang luas. Inilah yang harus dipahami oleh penguasa dan politisi. Kekuatan moral inilah yang akan memberi harapan terbukanya nurani penguasa untuk kembali pada fitrah demokrasi dan politik yang beradab.
ADVERTISEMENT
Akhirnya para penguasa dan politisi kita harus mengingat atau membaca kembali apa yang diulas oleh Hans Kung (2002:134) dalam bukunya Etika Global “kekuasaan politik dapat dan harus direlaativiskan untuk kepentingan rakyat”. Di segala tingkatan politik, kekuasaan harus dipakai untuk melayani, bukan untuk mendominasi. Seorang politisi atau pemerintah yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi bukan untuk melayani, maka kekuasaaan akan mendominasi pemikiran dan tindakan politiknya serta menimbulkan permusuhan. Akan tetapi, dimana politisi atau suatu pemerintahan berusaha untuk melihat bahwa kekuasaan adalah untuk melayani, bukan untuk mendominasi, maka dalam perjuangan kekuasaan mereka membantu memanusiakan persaingan yang mematikan dan mempromosikan penghormatan dan penghargaan pada orang lain, mediasi, pengertian dan perdamaian.