Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Tanpa Etika, Politik Telah Mati
25 April 2024 13:32 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 8 September 2024 16:23 WIB
Tulisan dari Tia Rahmania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perpolitikan Indonesia makin tak beradab. Demokrasi terus merosot, hukum dipermainkan oleh penguasa, tajam kelawan politik, tumpul dan/atau melindungi kawan politik. Nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) tak menjadi pijakan lagi.
ADVERTISEMENT
Politik Indonesia tidak didasarkan pada debat yang basisnya akademik yang dialogis. Sebaliknya, kian didominasi sentiment—perundungan dan penghukuman. Padahal yang menjadikan politik sebagai laku kekuasaan yang beradab adalah etika. Itulah dasar moral politik. Meniadakan etika dalam politik akan menjurus pada praktek politik Machavelli bahwa politik hanya sekedar perkakas untuk pemenuhan ambisi, tanpa mengindahkan kesusilaan.
Tindakan intimidasi kepada akademisi yang menyuarakan keprihatinan atas situasi dan kondisi demokrasi dan hukum di Indonesia terutama menjelang Pemilu 2024 adalah peristiwa politik yang membuat nalar sehat bangsa ini tertampar. Kekuasaan politik semacam ini telah memperlihatkan sifat dasar yang penguasa yang tidak siap dikritik.
Rezim yang harusnya terbuka dan berbesar hati menerima kritik dan memberikan penjelasan yang utuh pada publik, justru menyerang balik. Tak jarang kritik dibalas dengan intimidasi dengan pembunuhan karakter dan ancaman baik fisik, psikologis, sampai dikerengkeng dengan penggunaan pasal-pasal karet.
ADVERTISEMENT
Semakin menghawatirkan lagi ketika suara para guru besar dibungkam dengan cara-cara intimidatif, sebagaimana dialami oleh Profesor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). Jauh dibelakang telah terjadi persekusi dan intimidasi pada mahasiswa kritis seperti dialami Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI dan para pimpinan organisasi mahasiswa lainnya yang kritis pada kekuasaan. Begitupula para aktivis lingkungan, aktifvis agraria, aktivis anti korupis dan berbagai individu atau kelompok kritis lainnnya juga mengalami nasib serupa.
Kritik dari siapapun itu, selama menyangkut kepentingan bangsa, harus didengarkan. Celakanya kritik dari para akademisi, aktivis dan tokoh bangsa justru dilabeli sebagai “buzzer”, sementara para demagog dan “influencer” dianggap suara kebenaran. Dengan kondisi demikian, politik kita sudah diujung kehancuran. Bahkan menyetir buku “Bagaimana Demokrasi Mati” sesungguhnya demokrasi Indonesia telah mati (Levitsky & Ziblatt, 2019:11-12). Menurut dua pakar ini, ada empat tanda untuk mengenali tokoh otoriter. Dua dari empat tanda ini sedang terjadi di Indonesia yaitu komitmen yang lemah atas aturan main demokrasi dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media. Kalaupun diberi ruang, kebebasan ini diikuti dengan tindakan intimidasi, teror, dan penghukuman.
ADVERTISEMENT
Semua bentuk pembungkaman yang diopersikan kekuasan dimaksudkan untuk membuat takut dan jera para pengkritik. Dalam politik disebut politic of fear (politik ketakutan) baik dalam bentuk intimidasi, teror, maupun ancaman lain yang dilakukan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Sarah Jenkins (2020) dalam tulisannya “The Politics of Fear and the Securitization of African Elections” menunjukkan kalau politik ketakutan diciptakan oleh suatu kelompok untuk memojokkan kelompok lain atau menarik mereka ke dalam kelompoknya. Kasus yang menjadi latar tulisan tersebut adalah negara-negara Afrika Sub Sahara dan cara ini menjadi senjata efektif. Sesuatu yang hampir sama dengan Indonesia, terutama dalam pemilu 2024 yang manakala muncul gerakan sipil maka reaksi yang terlihat dari kekuasaan dan pendukungnya adalah kewaspadaan, bukan kesiapan untuk berdialog secara intelektual yang berbasis data.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan semakin sewenang-wenang, melakukan penyimpangan dan puncaknya adalah memporak-porandakan sistem hukum untuk meloloskan seorang anak muda menjadi cawapres dalam Pilpres 2024, disusul dengan penggunaan aparatus negara, aparat desa, dan anggaran negara untuk personalisasi dukungan kepada anak muda bernama Gibran Rakabuming Raka. Tak cukup dengan segala resources tersebut, penguasa menggunakan cara “fait accompi” yaitu meminjam tangan akademisi lain untuk memberikan testimoni yang memuji kinerja pemerintahan pusat. Tidak ada lagi keteladanan, yang ada hanyalah kepentingan sempit-jangka pendek, politik dinasti.
Pemilu 2024 dirusak oleh nafsu melanggengkan kekuasaan dan pembusukkan politik ini, kalau mau jujur sebenarnya telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Namun sepandai-pandainya dikemas, topeng kekuasaan yang nir etika (tanmpa moral) akhirnya terbongkar dan menyimpan bara api yang telah membakar nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dengan mengatakan biarkanlah rakyat menentukan siapa yang dikehendaki menjadi pemimpinnya, hanyalah alasan pembenar. Penulis melihat ditengah kemiskinan, pengangguran dan sulitnya lapangan kerja, rezim ini memanfaatkannya untuk mendulang suara dalam pemilu dengan cara memperbesar kuota Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembagian sembako dan politik uang. Bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, apa yang dilakukan oleh kekuasaan tersebut sebagai komitmen perlindungan bagi mereka. Padahal hanyalah tipu daya yang berimplikasi bukan saja melanggar Undang-Undang (UU) tetapi cacat secara etis.
Dalil yang disampaikan oleh kelompok marjinal diatas, tentu masih bisa memahami. Yang disayangkan adalah perilaku sebagian elite dan sebagian kaum intelektual yang justru mendukung tindak tanduk kekuasaan. Inilah praktik politik klientelisme mengingat alasan satu-satunya yang bisa menjelaskan dukungan sebagian elite ini karena orientasi pada jabatan dan kekayaan, sehingga rela “menyembah” kekuasaan. Dengan argument yang manipulatif, mereka telah melayani penguasa untuk melanggengkan pengrusakan pada demokrasi dan HAM. Fenomena sebagian kaum intelektual yang mendukung praktik semacam ini semakin menebalkan praktik penyelewengan intelektual. Fenomena serupa juga pernah terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, sekian puluh tahun yang lalu (John Mearsheimer seorang Profesor Ilmu Politik yang otoritatif dari Chicago University).
ADVERTISEMENT
Kalau fenomena semacam ini dianggap sebagai suatu kewajaran, maka akan menjadi suatu kebenaran dalam praktik politik Indonesia. Peradaban politik Indonesia mundur karena diasuh dengan kepetingan mengakumulasi kapital dan memperlebar ketimpangan, bukan diasuh dengan pertimbangan rasionalitas dan etika. Tanmpa etika, ketiadaan kompas moral pasti memiliki daya rusak.
Merawat Kritisisme
Ditengah awan mendung peradaban politik kita, lilin-lilin kebenaran harus tetap diucapkan, kritik harus dihidupkan. Para tokoh bangsa, cendikiawan, akademisi, aktivis pro demokrasi, dan kita semua yang tak mau melihat negeri ini hancur karena ambisi satu kelompok tertentu, secara terus menerus dan secara bersama-sama memperjuangkan demokratisasi dan penghormatan pada Hak Asasi Manusia (HAM).
Kita ingin, demokrasi yang sudah bersemi sebagai salah satu capaian reformasi 1998 tidak mati karena kesetaraan dan keadilan dipasung oleh pemimpin populis otoriter yang tidak pernah terlibat dalam perjuangan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kritik adalah nutrisi bagi demokrasi yang dijamin oleh UU. Memastikan Indonesia terus bertumbuh makin demokratis adalah harapan kita semua. Dalam sikap yang kritis, etika harus terus diusahakan dengan bertanggungjawab dan dalam kerangka pengetahuan yang luas. Inilah yang harus dipahami oleh penguasa dan politisi nir etika dan pengetahuan.
Akhirnya para penguasa dan elite politik harus membaca kembali apa yang diulas oleh Hans Kung (2002:134) dalam bukunya “Etika Ekonomi Politik Global” bahwa kekuasaan politik dapat dan harus direlaativiskan untuk kepentingan rakyat. Di segala tingkatan politik, kekuasaan harus dipakai untuk melayani, bukan untuk mendominasi. Seorang politisi atau pemeintah yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi bukan untuk melayani, maka kekuasaaan akan mendominasi pemikiran dan tindakan politiknya serta menimbulkan permusuhan. Akan tetapi, dimana politisi atau suatu pemerintahan berusaha untuk melihat bahwa kekuasaan adalah untuk melayani, bukan untuk mendominasi, maka dalam perjuangan kekuasaan mereka membantu memanusiakan persaingan yang mematikan dan mempromosikan penghormatan dan penghargaan pada orang lain, mediasi, pengertian dan perdamaian.
ADVERTISEMENT