Konten dari Pengguna

Penghormatan Terakhir

Agustian Ganda Putra Sihombing OFMCap
Mahasiswa Magister Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Medan. Biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM). Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan. Penulis Opini.
20 Juli 2023 20:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustian Ganda Putra Sihombing OFMCap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemilik tanaman pelayanan pemakaman membuat persiapan akhir pemakaman COVID-19 di Jerman. Foto: REUTERS / Fabrizio Bensch
zoom-in-whitePerbesar
Pemilik tanaman pelayanan pemakaman membuat persiapan akhir pemakaman COVID-19 di Jerman. Foto: REUTERS / Fabrizio Bensch
ADVERTISEMENT
”Kita berkumpul di sini untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Saudara/i yang telah mendahului kita ke pangkuan Sang Pencipta. Semoga ia beristirahat dalam kebahagiaan kekal. Amin! Amin! Amin!”.
ADVERTISEMENT
Pernyataan di atas lazim kita ucapkan, saat melayat pada keluarga atau teman yang telah meninggal dunia. Kita menyampaikan kata-kata yang memotivasi pihak keluarga yang berduka dan sekaligus menyampaikan intensi untuk ’menghormati jenazah terakhir kalinya’.
Benar bahwa kita hadir untuk menghormati jenazah secara fisik, sebelum berpisah untuk selama-lamanya. Jenazah akan ditanam dalam kubur, dikremasi, atau dimakamkan menurut warisan budaya lokal dan ajaran agama masing-masing. Akan tetapi, ketika jenazah sudah dimakamkan, tidak berarti bahwa sosok tersebut hilang untuk selama-lamanya.
Pythagoras (581-507), misalnya, dalam The Doctrine of Transmigration menyatakan bahwa mati bukan akhir dari tiap-tiap sesuatu dalam hidup manusia, sebab ada kehidupan sesudah kematian. Thomas Aquinas (1225-1274) dalam Summa Theologia-nya berpandangan bahwa sekalipun mengalami kematian badani, manusia akan tetap ada dalam bentuk jiwa.
ADVERTISEMENT
Mulla Shadra (1572-1641) juga menyatakan bahwa kematian merupakan perpisahan, bukan kesirnaan dan kehilangan. Karl Jaspers (1883-1969) pun melihat bahwa kematian manusia harus dimengerti dari sisi transenden, sebab berbeda dari kematian yang bukan manusia. Lewat kematian, manusia bukan dibinasakan melainkan mendapatkan kepenuhan. Terakhir, Harun Nasution (1919-1998)–filsuf Indonesia–melihat bahwa meski badan manusia tidak bernyawa lagi, bahkan hancur, kepribadiannya masih hidup.
Penghormatan
Dinamika pemikiran tokoh-tokoh besar di atas menjadi fondasi ide ’kehidupan baru’ setelah kematian badan manusia. Keluarga atau rekan yang memiliki kedekatan emosional pasti punya cara untuk menghormati sosok yang telah meninggal.
Misalnya, mengukir namanya lalu menempelkan di dinding rumah, mencetak foto dengan hiasan kesukaannya kemudian ditempelkan di rumah atau disimpan di dompet. Atau mengukir patung yang mirip dengan yang telah meninggal.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang mewariskan kisah-kisah menarik dari sosok yang telah meninggal. Agar, anggota keluarga berikutnya dapat mengenalnya, sekalipun hanya melalui cerita. Tak sedikit pula keluarga yang mengabadikan momentum kebersamaan dalam bentuk video.
Penghormatan atau venerasi kepada orang yang telah meninggal sudah dipraktikkan sejak zaman Romawi klasik dengan festival Parentalia, diperbarui kemudian dengan menampilkan gambar leluhur di tablinum rumah.
Di Asia Timur, budaya menghormati orang-orang yang sudah meninggal berkembang di Tionghoa (ceng beng), Jepang (sorei dan obon), Korea (jerye), dan Vietnam.
Di Asia Tenggara dan Selatan berkembang juga seperti di Myanmar (bo bo gyi) dan Kamboja. Sementara di Indonesia lazim disebut ziarah. Tujuan dari penghormatan terhadap keluarga atau rekan yang meninggal, bukan penyembahan melainkan pengenangan sekaligus berdoa bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Relasi antara orang yang masih hidup dengan yang telah meninggal tidak putus begitu saja. Kita biasanya berusaha berziarah ke makam mereka. Bagi agama yang memercayai adanya kebangkitan badan dan kehidupan kekal, umatnya akan rajin berdoa bagi yang telah meninggal.
Dalam tradisi Katolik, misalnya, diadakan misa arwah mengenang satu, dua, tiga bulan atau lebih meninggalnya seorang umat. Hal ini menegaskan bahwa, kematian bukan akhir segala-galanya. Tubuhnya memang hancur, tetapi jiwa dan kenangan bersamanya tidak hancur. Maka, mari kita memberi penghormatan bagi keluarga atau rekan yang telah meninggal, tapi bukan untuk yang terakhir kalinya.