Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Culture Shock Mahasiswa Baru
28 Desember 2022 14:03 WIB
Tulisan dari Tiara Agustina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, remaja merupakan salah satu tahap kehidupan manusia di mana mereka menghabiskan waktu untuk mencoba berbagai hal baru.
ADVERTISEMENT
Pernyataan "masa remaja adalah masa yang paling indah" memang benar, karena kita bisa melakukan hal-hal seru yang hanya bisa dilakukan pada saat remaja.
Mengobrol dengan teman di kelas, jajan bareng di kantin, tidur siang saat jam kosong, jadi panitia pensi sekolah demi bisa nonton artis favoritnya secara gratis, mendukung tim basket di sekolah, hingga segala romansa anak sekolah yang hanya terjadi sekali seumur hidup saat kita remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak hingga masa dewasa. Akan tetapi, tahukah kamu? Bahwa remaja tidak memiliki identitas diri yang jelas karena mereka tidak termasuk ke dalam golongan kanak-kanak maupun orang dewasa. Bisa dikatakan bahwa remaja merupakan golongan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa.
ADVERTISEMENT
Lingkungan sosial dari remaja ini sendiri sangat penting untuk perkembangan biologis dan psikologis mereka. Tidak heran kita melihat remaja yang cenderung menjadi pemberontak terhadap suatu aturan.
Mereka biasanya berusaha untuk mencapai kemandirian untuk mendapatkan validasi ataupun pengakuan bahwa mereka bukanlah anak-anak lagi, intinya mereka ingin dilihat sebagai orang dewasa.
Dibalik segala kebebasan remaja yang sudah kita ketahui, terdapat pertentangan hasrat perasaan dengan kebebasan di dalam dirinya. Kehidupan sosialnya yang meluas membuat remaja semakin berhasrat mengeksplor banyak hal tanpa berpikir rasional. Tak heran kerapkali remaja sering membuat keputusan yang grasah-grusuh (Mustaqim & Abdul Wahid, 1999).
Segala pergolakan serta pengakuan dari orang-orang sekitarnya membuat remaja sulit menentukan keputusan terhadap diri sendiri ketika ia dihadapkan berbagai pilihan, apalagi ketika memasuki tahap kehidupan baru.
ADVERTISEMENT
Seorang remaja yang memasuki suatu masa transisi kehidupannya, membuat ia semakin mengalami kesusahan untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Termasuk seorang murid SMA ketika memasuki bangku perkuliahan. Maka dari itu, penyesuaian diri merupakan hal yang penting ketika memasuki kehidupan baru.
Penyesuaian diri merupakan aspek mental penting yang sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam hidupnya. Aspek mental ini sangat berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap kemampuan diri dalam mengendalikan berbagai rintangan dan menggunakan potensi diri.
Adanya berbagai perubahan dan tuntutan yang dialami mahasiswa tahun pertama membuat mereka harus memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Mereka butuh waktu untuk bisa mengenali lingkungan dan sistem belajar yang ada.
Kemampuan tersebut disebut efikasi diri. Penyesuaian diri dengan lingkungan akademik dipengaruhi oleh seberapa besar kesanggupan dan keyakinan dirinya untuk mengerjakan tugas dan peran barunya sebagai seorang pelajar di pendidikan tinggi (Castillo & Schwartz, 2013).
ADVERTISEMENT
Mahasiswa yang memiliki efikasi diri tentunya akan mengalami kemudahan menjalani kehidupan perkuliahannya. Saya, selaku pelajar yang pernah berada pada transisi siswi SMA sampai mahasiswi, akan membagikan pengalaman saya menjadi mahasiswa baru.
Sesungguhnya, seseorang akan mengalami perubahan besar ketika memasuki stage kehidupan baru, begitu pula dengan siswa SMA yang menjadi mahasiswa. Pada tahun pertama perkuliahan, mereka benar-benar butuh penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dan tuntutan. Perbedaan sistem belajar serta kesulitan tugas yang tinggi menyebabkan mereka struggle untuk bisa mengikutinya (Sasmita & Rustika, 2015).
Kesulitan mengatur waktu juga tidak lepas dari masalah yang umumnya dihadapi oleh mahasiswa baru. Akibatnya, kami mengalami jam tidur kurang yang kurang, gangguan kesehatan, demotivasi terhadap belajar, hingga quality time dengan keluarga yang berkurang (Pedrelli, 2014).
ADVERTISEMENT
Perubahan akan gaya belajar ini juga menjadi keluhan yang sering sekali saya dengar, seorang mahasiswa baru umumnya mengalami perubahan gaya belajarnya yang berbeda dibandingkan dengan cara belajarnya saat SMA.
Berbeda dengan siswa SMA yang sebagian besar hanya memanfaatkan materi dari pengajar, mahasiswa tidak bisa hanya berpaku pada materi yang pengajar berikan karena mahasiswa juga dituntut untuk mencari sumber referensi lain agar tidak tertinggal materi.
Adaptasi terhadap cara mengajar dosen juga menjadi persoalan umum oleh sebagian mahasiswa. Berbagai target pencapaian nilai serta penyesuaian diri terhadap cara mengajar dosen membuat tidak sedikit mahasiswa baru mengalami kesulitan.
Itulah yang dialami oleh sebagian besar mahasiswa, yang menurut saya sendiri, dosen memiliki berbagai standar untuk nilai yang tinggi, dan mereka juga mempunyai intoleransi pada kendala pengerjaan tugas. Jadi, kemunduran deadline pada tugas yang diberikan dosen karena masalah dari mahasiswa itu sendiri cukup jarang untuk saya temui.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah kesadaran akan tanggung jawab yang terdapat dalam diri. Apabila kita ingat-ingat kembali, memang saat kita remaja kita tidak mempunyai suatu tanggung jawab yang berat. Kita cenderung menggantungkan tanggung jawab kepada orang sekitar, terutama orang yang lebih tua. Akan tetapi, semuanya berubah ketika kita sudah menjadi mahasiswa.
Saya sangat setuju bahwa kita harus punya self awareness pada tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, hal sederhana dengan mengerjakan tugas tepat waktu saja harus disadari sebagai tanggung jawab mahasiswa itu sendiri. Jujur saja, tanggung jawab ini tidak akan muncul begitu saja, memang perlu waktu, namun kesadaran ini sangat penting untuk berada di setiap benak mahasiswa.
Seiring dengan pergantian semester, tidak sedikit kakak tingkat saya yang merasa bisa beradaptasi dengan segala hal di perkuliahan. Dimulai dari jam belajar, sistem nilai, sistem pengerjaan tugas, hingga pertemanan.
ADVERTISEMENT
Untuk saya sendiri yang masih bisa dikatakan mahasiswa baru yang beranjak untuk lanjut ke semester dua, adaptasi ini bisa dirasakan tanpa harus untuk menunggu pergantian semester.
Jujur saja, saya tidak terlalu baik untuk mengatur waktu, jadi selama kuliah saya memilih untuk fokus akan tugas dan materi. Saya tahu betul bahwa organisasi dan relasi juga penting, tapi mungkin saya harus memikirkannya dengan matang dulu, mengingat kemampuan saya yang masih terbatas untuk saat ini.
Mendapatkan teman saat kuliah juga sangat penting untuk kesehatan mental dan relasi. Teman dapat menjadi support system jika terlalu banyak tugas melanda, bersenang-senang, juga mengajak saya untuk mengetahui banyak tempat dan banyak hal. Karena mereka, kehidupan kuliah dan mental saya cukup baik hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Sumber Rujukan:
Castillo, L. G., & Schwartz, S. J. (2013). Introduction to the Special Issue on College Student Mental Health, Journal of Clinical Psychology, 69(4), 291–297.
Conger, J.J. (1977). Adolescent and Youth. New York: Harper and Row Publishers Inc.
Mustaqim & Abdul Wahid. (1991). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pedrelli, P., Nyer, M., Yeung, A., Zulauf, C., & Wilens, T. (2014). College Students: Mental Health Problems and Treatment Considerations, Ademic Psychiatry, 39(5), 503–511.
Soet, J., & Sevig, T. (2006). Mental Health Issues Facing a Diverse Sample of College Students: Results from the College Student Mental Health Survey, Journal of Student Affairs Research and Practice, 43(3), 503-511.