Konten dari Pengguna

Masyarakat Adat, Industri Sawit Indonesia, dan Inisiatif EUDR

Tiara Eka Saputri
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
23 Oktober 2024 18:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Eka Saputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan industri sawit dan masyarakat adat seperti dua tetangga yang tinggal berdampingan. Tetangga pertama, sang industri sawit, sangat aktif dan selalu sibuk memperluas rumahnya, memperbaiki halamannya, dan mengambil banyak sumber daya dari lingkungan sekitar. Sementara itu, tetangga kedua, masyarakat adat, lebih tenang, menjaga kebun kecilnya yang sudah dirawat turun-temurun. Ketika sang tetangga aktif mulai memperluas rumahnya hingga mengganggu kebun kecil tetangganya, ketegangan pun muncul. Kekhawatiran terhadap nasib petani Indonesia telah banyak disuarakan sejak Uni Eropa memberlakukan European Union Deforestation Regulation (EUDR), kebijakan untuk mengatasi deforestasi yang mengatur rantai pasokan komoditas tertentu seperti minyak kelapa sawit, kopi, kayu, dan kakao. Sebagai salah satu komoditas utama yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, kekhawatiran tentang penurunan ekspor sawit mendominasi perbincangan. Banyak yang khawatir bahwa regulasi ini akan menghambat ekspor ke Uni Eropa, sementara pihak lain menyarankan untuk meninggalkan pasar tersebut dan memprioritaskan kawasan lain. Padahal, pendekatan yang hanya fokus pada sisi negatif dari EUDR merupakan pendekatan yang kurang produktif. Lebih dari itu, regulasi ini sebenarnya menawarkan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan industri sawit untuk memperbaiki praktik pengelolaan lingkungan, sekaligus menyelesaikan konflik antara masyarakat adat dan perusahaan sawit yang sudah bertahun-tahun terjadi. Melalui artikel ini, mari lakukan menganalisis dampak EUDR dari perspektif kebijakan internasional, yang mana Indonesia berada dalam sistem global yang semakin menuntut tanggung jawab keberlanjutan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). EUDR sebagai Soft Power Uni Eropa EUDR merupakan salah satu cara bagaimana Uni Eropa menggunakan kebijakan lingkungan sebagai soft power-nya untuk menyebarkan pengaruh tanpa menggunakan kekuatan militer, yang mana kebijakan ini mencerminkan peran Uni Eropa sebagai aktor normatif dalam hubungan internasional. Dengan menetapkan standar keberlanjutan yang ketat, Uni Eropa tidak hanya melindungi hutan tropis dari deforestasi, tetapi juga mendorong negara-negara produsen sawit, seperti Indonesia, untuk beradaptasi dan memperbaiki praktik industrinya. Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor sawit, Indonesia tidak dapat mengabaikan peran Uni Eropa sebagai pasar penting. Melawan atau memboikot Uni Eropa bisa mengisolasi Indonesia dari tren global yang semakin menekankan keberlanjutan. Nyatanya, EUDR bukan hanya aturan perdagangan, tetapi juga instrumen politik untuk memperkuat nilai-nilai global seperti pelestarian hutan dan HAM. Oleh karena itu, daripada melihat EUDR sebagai ancaman, Indonesia seharusnya menggunakan kebijakan ini sebagai peluang untuk memperbaiki tata kelola lingkungan dan menyelesaikan konflik agraria yang sudah lama eksis di Indonesia. Tantangan dan Kesempatan bagi Indonesia Dalam ekonomi politik internasional, regulasi EUDR dinilai sejalan dengan tren global yang semakin menuntut komoditas bebas dari deforestasi. Negara-negara konsumen di Eropa dan Amerika Utara semakin mengedepankan pentingnya keberlanjutan dalam rantai pasok global. Dengan demikian, jika Indonesia tidak menyesuaikan diri dengan aturan-aturan ini, ada risiko kehilangan akses ke pasar internasional yang strategis. Dukungan pemerintah yang kuat sangat diperlukan untuk membantu petani kecil memenuhi standar Uni Eropa. Insentif finansial, pelatihan, serta adopsi teknologi ramah lingkungan bisa menjadi kunci untuk mendorong produksi sawit yang lebih efisien dan berkelanjutan. Di sinilah peran diplomasi internasional Indonesia menjadi krusial. Pemerintah dapat bekerja sama dengan Uni Eropa dalam mengembangkan proyek bersama, seperti transfer teknologi hijau atau pendanaan pembangunan berkelanjutan, sehingga sektor sawit Indonesia tetap kompetitif di pasar global. EUDR dan Penyelesaian Konflik Masyarakat Adat
Potret Perkebunan Sawit yang Berdampingan dengan Hutan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Potret Perkebunan Sawit yang Berdampingan dengan Hutan. Foto: Shutterstock
Dampak potensial lainnya dari penerapan EUDR yang belum banyak dibahas adalah kemampuannya untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia, terutama yang melibatkan masyarakat adat. Sejak lama, perusahaan sawit di Indonesia sering memperluas lahan mereka dengan merambah hutan dan tanah adat, memicu konflik lahan dan pelanggaran HAM. Dengan adanya EUDR, yang menetapkan bahwa semua produk yang dijual di Uni Eropa setelah 31 Desember 2020 harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, Indonesia secara otomatis terdorong untuk menahan laju deforestasi baru, yang berarti perusahaan sawit tidak bisa lagi melakukan ekspansi dengan cara yang merugikan masyarakat adat. Dalam konteks kehidupan bertetangga yang sudah disebutkan sebelumnya, EUDR bisa diibaratkan seperti pagar pembatas yang adil dan jelas, sehingga kedua tetangga bisa tetap tinggal di area yang sama tanpa saling merugikan. Pagar ini memastikan industri sawit tidak lagi memperluas tanahnya dengan cara yang merusak, sementara masyarakat adat tetap dapat menjaga lahan yang mereka rawat. Dengan adanya aturan seperti ini, keduanya bisa hidup berdampingan secara harmonis. Selain itu, akan ada peningkatan citra Indonesia di mata komunitas internasional sebagai negara yang menghormati nilai-nilai HAM dan keberlanjutan. Sekali lagi, EUDR bukan sekadar regulasi perdagangan, tetapi juga alat reformasi domestik yang dapat menciptakan harmoni antara kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan hak masyarakat adat. Melalui dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan kerja sama internasional, Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa produk sawitnya dihasilkan dengan cara yang bertanggung jawab, sekaligus memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dilindungi. Dengan langkah ini, Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana negara berkembang dapat mengadaptasi kebijakan global untuk menyelesaikan masalah lokal, sekaligus memperkuat posisi di arena internasional.
ADVERTISEMENT