Stigma Negatif dan Kesadaran Tentang Gangguan Bipolar di Indonesia

Konten dari Pengguna
22 Juli 2019 20:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Nurul Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gangguan Bipolar adalah salah satu isu kesehatan mental yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan rilis data WHO (2016), terdapat sekitar 60 juta orang yang terkena bipolar. Penyakit mental ini berada dalam urutan keenam dalam penyakit utama yang menyebabkan disabilitas di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Kasus gangguan bipolar sendiri mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak artis Marshanda mengunggah video sensasional di tahun 2014 lalu. Artis multitalenta ini banyak mencurahkan isi hatinya dengan berbagai ekspresi mulai dari marah, sedih, hingga tenang dan bijaksana. Perubahan emosi yang cukup ekstrim sangat terlihat dari unggahannya tersebut.
Akibat viralnya video tersebut, stigma negatif terhadap Marshanda mulai berdatangan. Banyak masyarakat Indonesia yang melabeli artis ini sebagai orang dengan perangai buruk, berkepribadian ganda, gila, hingga kurang iman dan tak mengenal Tuhan.
Tak cuma Marshanda yang mengalami hal seperti ini. Pelabelan buruk, cibiran, dikucilkan, dan diskriminasi juga dirasakan oleh orang dengan bipolar (ODB) lainnya. Oleh karena itu, edukasi tentang penyakit mental perlu dilakukan. Sehingga, masyarakat Indonesia akan semakin peka dan memiliki kesadaran tinggi terhadap isu kesehatan ini.
ADVERTISEMENT
Apa Itu Bipolar?
Meski istilah gangguan bipolar sudah banyak didengar, tapi masih sedikit orang yang memahami penyakit mental ini. Masyarakat umum sering memandangnya sebagai moody atau perubahan suasana hati yang terlihat jelas. Namun, pengertian gangguan bipolar ternyata lebih dari itu.
Menurut pakar Psikologi Klinis, Alexandra Gabriella Adeline, M.Psi, C.Ht, bipolar adalah gangguan mood episodic. Maksudnya, kadang episode tersebut muncul dan kadang netral.
Episode yang dimaksud adalah episode manik di mana ODB merasakan semangat berlebihan dan episode depresi yang membuat penderita kehilangan semangat hingga putus asa. Sederhananya, gangguan bipolar dapat membuat penderita mengalami perubahan mood yang sangat ekstrim dan tidak wajar.
Ada tanda atau ciri-ciri tertentu yang bisa terlihat di tiap episode. Saat episode manik muncul penderita bisa merasa sangat gembira, percaya diri, sangat berenergi hingga tidak butuh tidur, dan impulsif yang berlebihan. Sementara, saat depresi dia akan merasa terpuruk, tidak bergairah, sulit konsentrasi, pesimis, kehilangan nafsu makan, tak ingin bersosialisasi, hingga memiliki pikiran untuk bunuh diri. Menurut situs Bipolar Care Indonesia, dua hal yang sangat bertolak belakang ini datang silih berganti. Terkadang ada periode normal di antara kedua kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Tidak semua ODB menunjukan gejala depresi. Terkadang, ada pula yang hanya mengalami gejala manik yang ekstrem. Hal ini dialami oleh pasien Alexandra. Saat berada di kondisi semangat berlebihan, ia membakar uang karena merasa bingung harus membuangnya ke mana.
Munculnya gejala tersebut juga bergantung pada tipe gangguan bipolar yang dialami penderita. Berikut adalah penjelasannya seperti yang dikutip dari situs WebMD.
Periode atau gejala bipolar tipe I menunjukan setidaknya satu kondisi manik dan depresi. Fase manik biasanya berlangsung selama satu minggu atau lebih. Setelah itu bisa diikuti dengan fase depresi.
Bipolar tipe II menunjukan kondisi episode hipomanik dan setidaknya satu episode depresi. Hipomanik merupakan kondisi yang lebih ringan dari manik. Banyak yang tidak menyadari episode ini karena ODB biasanya terlihat seperti sedang mengalami kebahagiaan biasa. Padahal, risiko yang dibawa oleh hipomanik sama seperti manik.
ADVERTISEMENT
Penderita tipe siklotimik juga mengalami perubahan emosi dari hipomania ke depresi. Hanya saja, gejalanya jauh lebih ringan dibandingkan dengan Bipolar tipe I dan II. Meski begitu, penanganan khusus tetap harus dilakukan sebab kondisi ini bisa saja berkembang menjadi dua tipe di atas.
ODB bertipe campuran kerap mengalami perubahan suasana hati yang datang dari gejala episode manik, hipomanik, dan depresi. Saat seperti ini, mereka biasanya mereka bisa memiliki energi berlebih, insomnia, dan ide yang menumpuk. Namun, di saat yang bersamaan mereka juga akan merasa putus asa, marah, tersinggung, hingga akhirnya ingin bunuh diri.
Penyebab Gangguan Bipolar
Belum ada yang menemukan penyebab pasti dari gangguan bipolar ini. Namun, sejumlah penelitian menunjukan bahwa pemicu penyakit mental ini tidak disebabkan oleh faktor tunggal.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari National Institute of Mental Health (NIMH), empat hal berikut adalah faktor yang bisa menyebabkan terjadinya gangguan bipolar.
Beberapa penelitian menunjukan ada perbedaan struktur otak antara orang normal dengan ODB atau penderita gangguan mental lain.
Keseimbangan cairan utama di dalam otak ODB kemungkinan mengalami ketidakseimbangan. Hal inilah yang membuat terganggunya kinerja neurotransmitter dalam penghantaran impuls saraf.
Tingkat kortisol yang dimiliki oleh ODB juga terhitung tinggi. Akibatnya, produksi kelenjar adrenal pun semakin banyak. Inilah mengapa seorang bipolar bisa mengalami fase manik dan depresi yang sangat ekstrem.
Selain struktur otak, genetik juga memiliki pengaruh terhadap gangguan bipolar. Penelitian menyebutkan orang dengan gen tertentu memiliki kemungkinan lebih untuk menjadi ODB.
ADVERTISEMENT
Namun, ini bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan penyakit mental tersebut. Sebab, hasil studi yang dilakukan untuk meneliti kembar dan bipolar menunjukan hasil yang berbeda. Jika yang satu menjadi ODB, belum tentu saudaranya juga mengalami hal yang sama meskipun mereka memiliki gen yang sama.
Gangguan mental ini biasanya akan diderita oleh anak yang memiliki orang tua atau saudara dengan bipolar. Faktor risiko dari riwayat keluarga memang mungkin terjadi, tetapi ini bukanlah penyebab utama.
Stress atau tekanan juga memicu munculnya gangguan bipolar. Amalia menjelaskan, seseorang yang mengalami traumatic brain injury atau hantaman cukup berat di kepala, kondisi keluarga yang penuh kekerasan, pelecehan seksual, hingga obat-obatan juga bisa menjadi faktor risiko terjadinya penyakit mental ini.
ADVERTISEMENT
Bahaya Stigma Negatif Bagi ODB
Gangguan bipolar sebenarnya tidak termasuk dalam kategori penyakit yang mematikan atau berbahaya. Namun, dampak negatif dari stigma buruk dan gejala yang tidak ditangani dengan baik bisa berujung fatal terhadap penderita.
Kesadaran akan kesehatan mental masih sangat minim di Indonesia. Padahal, menurut data Riskesdas (2013), prevalensi gangguan mental emosional yang dialami orang berusia 15 tahun ke atas di negara kita mencapai angka 6% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 14 juta jiwa. Inilah yang menjadi pemicu pelabelan atau stigma buruk terhadap penderita gangguan mental termasuk bipolar.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa stigma terhadap penderita gangguan mental masih sangat besar di Indonesia. Dikucilkan dari masyarakat hingga dianggap sebagai aib keluarga kerap menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Akibatnya, para penderita akan semakin merasa tertekan dan putus asa.
ADVERTISEMENT
Stigma tersebut juga seringkali membuat penderita enggan untuk berkonsultasi dengan ahli. Mereka cenderung mengabaikan gejala penyakit mental yang dirasakan seperti cemas berlebih, insomnia akut, stress, mudah sedih, dan lain sebagainya.
Jika terus dibiarkan, kondisi tersebut tentu lambat laun akan menjadi semakin parah. Bukan hanya menimbulkan penyakit baru, penderita mungkin akan melakukan hal-hal tidak wajar yang dianggap bisa membuatnya bebas dari penderitaan. Contoh kasus yang sering ditemukan adalah penggunaan obat terlarang atau yang lebih parahnya bunuh diri.
Sebuah penelitian bahkan menunjukan hanya 17% ODB di Indonesia yang menjalani pengobatan secara intensif dan sekitar 17-20% melakukan aksi bunuh diri.
Penanganan yang Tepat untuk ODB
Gangguan bipolar perlu ditangani dengan tepat. “ODB butuh diberikan obat-obatan yang mengarah pada mood stabilizer. Psikoedukasi juga perlu diberikan, tapi bukan informasi tentang penyakit melainkan diskusi mengenai kesulitan yang dialami penderita.” jelas Amalia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, psikoterapi juga perlu dilakukan. Dengan begitu, penderita ODB bisa memodifikasi pola pikir. Mereka bisa mengarahkan episode manik dan depresi ke hal-hal yang lebih positif. Penderita pun jadi lebih terlatih untuk mengenali gejala kemunculan episode yang ada pada dirinya.
Selain terapi yang didampingi oleh ahli, ODB juga perlu melakukan self help atau pertolongan untuk diri sendiri ketika mulai merasakan gejala episodik. Mereka bisa melakukan berbagai aktivitas seperti meditasi, olahraga, mengatur pola makan, atau menyalurkan hobi yang bisa membuat perasaan menjadi tenang dan bahagia.
Di luar itu semua, dukungan keluarga dan teman terdekatlah yang sangat berpengaruh terhadap kesembuhan ODB. Banyak contoh yang membuktikan hadirnya support dari caregiver dapat membuat penderita mampu berdamai dengan kondisinya.
ADVERTISEMENT
Jika ditangani dengan tepat, seorang penderita bipolar akan menjadi pribadi yang lebih optimis dan memiliki harapan untuk hidup lebih tinggi. Bahkan, bukan tak mungkin mereka bisa berprestasi dan berkarya melebihi orang normal. Contoh dari hal tersebut bisa kita lihat dari sosok artis ternama seperti Demi Lovato, Bebe Rexha, hingga Marshanda.
Meningkatkan Kesadaran Gangguan Bipolar di Indonesia
Di tengah besarnya stigma negatif tersebut, nyatanya masih banyak orang yang peduli terhadap peningkatan kesadaran gangguan bipolar di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak media, aplikasi, hingga komunitas yang menjadi wadah untuk para ODB, caregiver, dan orang-orang yang punya kepedulian terhadap isu penyakit mental.
Salah satu komunitas yang namanya sudah cukup besar adalah Bipolar Care Indonesia. Perkumpulan ini didirikan oleh Igi Oktamiasih, Vindy Ariella, dan Miliana Kanita pada 27 Mei 2013. Pernah merasakan sulitnya berjuang menghadapi bipolar seorang diri menjadi alasan dibuatnya komunitas ini.
ADVERTISEMENT
Tak hanya meningkatkan kesadaran akan gangguan bipolar di Indonesia. Hadirnya BCI juga diharapkan bisa menjadi tempat bagi sesama penderita untuk saling mendukung sehingga mereka bisa hidup optimal layaknya orang normal. Hasilnya, para penderita pun bisa mengalihkan fokusnya terhadap hal positif dibandingkan memikirkan stigma negatif masyarakat terhadap kondisinya.
Para caregiver pun bisa belajar banyak tentang penanganan untuk membantu ODB lewat komunitas ini. Sebab, anggota BCI juga sering memberikan tips-tips bermanfaat tentang cara menghadapi bipolar di berbagai media seperti Whatsapp, Facebook group, hingga Instagram.
Komunitas juga bisa menjadi sarana untuk pemulihan gangguan bipolar. Perkumpulan ini bisa mengembalikan fungsi sosial seorang ODB sehingga dirinya bisa berinteraksi lagi dengan baik.
Anggota Bipolar Care Indonesia kini sudah tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Personelnya pun bukan hanya berasal dari penderita atau caregiver. Para mahasiswa psikolog, terapis kesenian, hingga konselor pun bisa menjadi bagian dari komunitas ini.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, sudah ada banyak sekali kegiatan bermanfaat yang dijalankan oleh BCI. Contoh kegiatannya adalah kampanye untuk memperingati Hari Bipolar Sedunia tiap tanggal 30 Maret, psikoterapi, psikoedukasi, terapi seni, hingga diskusi rutin sesama ODB.
Sumber:
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html
https://www.youtube.com/watch?v=Qi3xrMdRNXo&t=218s
https://www.bipolarcareindonesia.org/2018/09/apa-itu-bipolar.html
https://www.webmd.com/bipolar-disorder/guide/bipolar-disorder-forms
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/bipolar-disorder/index.shtml
https://media.neliti.com/media/publications/70374-ID-pengaruh-edukasi-kesehatan-mental-intens.pdf