Konten dari Pengguna

Netral Tak Cukup: Saatnya Kebijakan Pendidikan Berpihak pada Kesetaraan Gender

Tiara Septiani
Mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
8 Mei 2025 11:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Septiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di balik angka partisipasi sekolah yang terus meningkat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa akses pendidikan belum sepenuhnya setara, khususnya bagi anak perempuan di daerah tertinggal. Masih banyak remaja perempuan yang putus sekolah karena faktor ekonomi, pernikahan dini, atau diskriminasi budaya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang telah mengupayakan berbagai program afirmatif, seperti Dana BOS dan Program Indonesia Pintar. Namun, efektivitas program tersebut sering kali tidak menyentuh akar persoalan: ketimpangan berbasis gender yang bersifat struktural dan kultural.
Kesetaraan gender dalam pendidikan bukan soal siapa lebih unggul, tapi soal memberi peluang yang sama untuk berkembang. Gambar ini merepresentasikan pentingnya keseimbangan dan keadilan bagi masa depan generasi. Gambar dibuat menggunakan kecerdasan buatan (DALL·E) oleh OpenAI melalui ChatGPT. Sumber: https://openai.com/dall-e
zoom-in-whitePerbesar
Kesetaraan gender dalam pendidikan bukan soal siapa lebih unggul, tapi soal memberi peluang yang sama untuk berkembang. Gambar ini merepresentasikan pentingnya keseimbangan dan keadilan bagi masa depan generasi. Gambar dibuat menggunakan kecerdasan buatan (DALL·E) oleh OpenAI melalui ChatGPT. Sumber: https://openai.com/dall-e
Di media sosial, banyak warganet yang mengungkapkan keprihatinan mereka. Seorang pengguna menulis, “Di kampung saya, anak perempuan sering disuruh berhenti sekolah karena dianggap lebih baik menikah muda. Padahal mereka punya potensi besar. ”
Komentar lain menyatakan, “Kenapa masih ada yang mikir perempuan sekolah tinggi cuma buang-buang uang? Padahal perempuan juga bisa jadi tulang punggung keluarga." bahkan ada juga yang menyatakan "untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga."
Pernyataan-pernyataan seperti ini bukan hanya opini pribadi, tapi cerminan dari pandangan sosial yang masih kuat di sebagian masyarakat. Ketika anak laki-laki dianggap sebagai “investasi masa depan” dan anak perempuan sekadar “calon istri”, maka peluang mereka untuk mengakses pendidikan yang setara menjadi timpang sejak awal.
Di persimpangan pilihan hidup, banyak siswi masih harus memilih antara sekolah atau pernikahan dini. Ilustrasi ini menggambarkan tekanan sosial yang kerap menghambat akses perempuan terhadap pendidikan. Gambar dibuat menggunakan kecerdasan buatan (DALL·E) oleh OpenAI melalui ChatGPT. Sumber: https://openai.com/dall-e
Padahal, riset global menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan lebih besar kemungkinannya mengangkat keluarga dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak mereka. Negara-negara yang berhasil menutup kesenjangan gender dalam pendidikan juga menunjukkan indikator pembangunan manusia yang jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya kebijakan pendidikan tidak bersifat netral gender, melainkan responsif terhadap hambatan yang dialami oleh perempuan. Ini bisa dimulai dari pelatihan guru untuk menghindari bias, kurikulum yang inklusif, serta program dukungan sosial bagi siswi yang rentan putus sekolah.
Media digital pun memegang peran penting. Alih-alih hanya menyoroti angka-angka, media perlu mengangkat cerita nyata dari lapangan—termasuk pengalaman perempuan muda yang berjuang untuk tetap bersekolah di tengah tekanan sosial dan ekonomi.
Pendidikan yang adil dan setara bukan hanya soal angka partisipasi. Ini tentang menciptakan ruang di mana setiap anak, tanpa terkecuali, punya kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkontribusi bagi bangsa.