Implementasi Akad Shuluh Terhadap Sengketa Waris Antar Ahli Waris

Tiara Sri Intan
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Desember 2022 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Sri Intan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembagian hak waris. Cr: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembagian hak waris. Cr: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap manusia yang lahir akan mengalami kematian. Lahirnya seorang manusia akan menimbulkan sebab-sebab hukum, misalnya hubungan hukum dengan masyarakat disekitarnya, juga memiliki hak dan kewajiban di dalam dirinya. Ketika seseorang meninggal dunia dan memiliki harta peninggalan, maka akan menjadi sebuah persoalan, dimana harta warisan tersebut haruslah dibagi kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, tata cara pembagian harta warisan telah diatur dengan sangat baik, telah dijelaskan dalam al-Qur'an secara detail dan rinci mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak satu orangpun.
Shuluh (perdamaian) merupakan sebuah bentuk akad yang bisa menyelesaikan suatu perselisihan. Menurut kamus hukum, shuluh adalah menyelesaikan sebuah perselisihan dengan cara yang damai. Atau mudahnya, shuluh atau perdamaian adalah suatu akad atau perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri pertikaian antara dua belah pihak yang sedang memiliki perselisihan atau sengketa secara damai.
Dasar hukum Shuluh yang pertama tentunya dari al-Qur'an, seperti yang tercantum dalam firman-Nya:
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
ADVERTISEMENT
Artinya:
Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
Dan al-Hadits yang diterangkan oleh Rasulullah SAW:
“Dari Amr bin Auf al-Muzani, berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: Perdamaian itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram dan kaum muslimin terikat atas perjanjian-perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR. Tirmidzi)
ADVERTISEMENT
Pembagian warisan dengan shuluh dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih besar, secara ekonomi telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit, masih dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shuluh atau bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut. Dengan cara ini, memungkinkah ditempuh upaya-upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengakomodasi sistem pembagian warisan dengan cara damai atau shuluh dalam pasal 183 yang menyatakan bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
ADVERTISEMENT
Dalam Muamalah, akad shuluh terbagi menjadi beberapa, antara lain:
1. Shuluh Mu'awadhah
Shuluh mu'awadhah adalah pindahnya hak seseorang atas barang lain yang bukan seharusnya.
Contohnya ketika seseorang menuntut sebuah rumah atau bagian dari dalam rumah tersebut kepada seseorang dan orang tersebut mengakuinya. Kemudian keduanya memilih berdamai dengan penuntut meminta barang pengganti rumah, misalnya mobil. Maka hal tersebut hukumnya sah.
2. Shuluh Hatithah
Akad Shuluh Hatithah merupakan perdamaian antara pendakwa dan si terdakwa mengembalikan barang pendakwa sebagian saja dan akan dikembalikan di kemudian hari.
Contohnya pendakwa mengaku bahwa si terdakwa memiliki hutang 20 juta, kemudian kedua belah pihak sepakat memilih berdamai dengan syarat si terdakwa harus mengembalikan hutangnya separuh misalnya 10 juta, kemudian sisa 10 jutanya lagi akan dibayarkan di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
3. Shuluh Ma'al Iqrar
Ma'al iqrar merupakan perdamaian yang di dasari atas pembenaran dari pihak terdakwanya sendiri.
Contohnya ketika Budi mendakwa Putri dengan dalih rumah yang di tempati oleh Putri tersebut adalah rumah Budi, kemudian Putri menolak dakwaan Budi, namun lama kelamaan, Putri mengakui bahwa rumah yang ditempatinya itu adalah rumah Budi.
Implementasinya dalam sengketa waris antar ahli waris
Kita ambil contoh dalam Shuluh Ma'al Iqrar, dimana perdamaian yang di dasari atas pembenaran dari terdakwanya. Misalnya, ada seorang anak perempuan (A) yang menempati sebuah rumah peninggalan orang tuanya, kemudian kakak laki-lakinya (B) mendakwa si A ini dengan dakwaan bahwa rumah tersebut adalah miliknya (atau milik si B), yang dimana jika si A tidak menyerahkan hak B atas rumah tersebut, maka B akan membawa permasalahan ini ke meja hijau atau ke pengadilan. Dasaran hukum yang diambil oleh B atau kakak laki-laki ini untuk mendakwa si A atau adik perempuan adalah hukum islam, dimana dalam QS. an-Nisa ayat 11 mengatakan:
ADVERTISEMENT
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya:
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
ADVERTISEMENT
Dimana ayat tersebut mengatakan bahwa bagian dari anak laki-laki adalah sebesar 2 bagian dari anak perempuan. Jadi, Si B (kakak laki-laki) ini menuntut bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan 2/3 bagian atas rumah tersebut dan si A (adik perempuan) ini hanya memiliki hak 1/3 atas rumah yang ditempatinya tersebut.
Selain yang telah diterangkan dalam Q.S. an-Nisa ayat 11 tersebut, Pasal 176 KHI mengatur:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Atas dasar tersebut, si A atau adik perempuan ini yang mulanya menolak akan statement sang kakak kemudian memilih membenarkan perkataan sang kakak atas hak rumah tersebut. Karena si adik perempuan ini telah mengerti hukum tentang ahli waris dalam islam, dan ia juga telah mengetahui konsekuensinya apabila ia tidak menyerahkan hak sang kakak, maka hal ini akan diseret ke pengadilan, jadi ia lebih memilih jalur Shuluh atau berdamai.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurut penulis kaitannya antara pembagian waris dengan menggunakan konsep Shuluh (damai) adalah konsep tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam nash, karena tujuan dari al-Qur’an adalah untuk kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman kehidupan umat manusia. Sedangkan tujuan Shulhuh pun sama seperti tujuan al-Qur’an tersebut, yaitu untuk menjadikan kehidupan yang damai, tentram, dan sejahtera bagi para ahli waris yang ditinggalkan. Maka prinsipnya, semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah yang harus wajib dilaksanakan. Adanya pemisahan kategori tersebut adalah dalam rangka pemisahan atau membedakan antara hukum yang cara penyelesaiannya terdapat jalan alternatif selain dari hukum yang tertulis dan hukum yang cara penyelesaiannya tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum yang sudah ada dalam nash. 
ADVERTISEMENT
Tiara Sri Intan, Mahasiswa prodi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.