Budaya Hustle Culture: Efek Kerja Rodi Zaman Menjadi Mahasiswa

Tiara
Journalist
Konten dari Pengguna
29 Desember 2022 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Ilustrasi dampak budaya hustle culture. Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Ilustrasi dampak budaya hustle culture. Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Budaya hustle culture yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan merupakan bentuk normalisasi bekerja secara overtime. Implementasi dari kebiasaan ini adalah selalu mendorong diri untuk bekerja lebih dari waktu yang disepakati dalam kontrak.
ADVERTISEMENT
Fenomena mengerjakan job desc di kala istirahat sudah menjadi pemandangan biasa dalam kantor yang kemudian dijadikan rutinitas sehari-hari. Sayangnya, ini bukan tindakan yang dibudidayakan atau bahkan digunakan sebagai trendsetter dalam dunia pekerjaan. Hustle culture, manajemen waktu yang buruk, dibalut dengan motif loyalitas sebagai senjata perusahaan atau organisasi.
Umumnya, karyawan enggan untuk mengeluarkan waktu lebih banyak ketika mendapat sebuah perintah jika tidak disertai dengan uang kompensasi dan lembur yang sepadan. Ini bukan rasa malas biasa yang patut untuk diolok-olok.
Bekerja sesuai dengan waktu dan kesepakatan dengan upah sebanding menjadi hak bagi pekerja. Namun, masih banyak sekali orang yang tidak memahami isu ini dengan baik. Budaya hustle culture digunakan sebagai sebuah upaya eksploitasi tak berujung dengan embel-embel kesetiaan dan profesionalitas dalam semangat mencari nafkah.
ADVERTISEMENT
Manajemen waktu yang buruk, masalah yang sebetulnya harus dikurangi sejak dini. Efek kerja rodi yang dibiarkan terus menerus sejak menjadi mahasiswa adalah tipu daya untuk menyakiti diri sendiri secara perlahan.
Bukan tanpa alasan, hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang terus-menerus dipupuk sejak masa remaja, termasuk ketika menjadi mahasiswa. Semangat yang menggebu-gebu tak hanya digunakan dalam belajar. Namun, berkaitan dengan mencari jati dari juga pengalaman berkedok memenuhi curriculum vitae sebagai syarat masuk perusahaan adalah cara mereka tetap bertahan di setiap tekanan. Kebiasaan ini dipupuk dengan mengikuti kepanitiaan event, organisasi, dan rapat yang dilakukan setiap minggu.
Siang fokus kuliah, malam hadir rapat. Semboyan yang terus dielu-elukan pada budaya hustle culture dengan penyelenggaraan pertemuan rutin dan rapat yang tiada henti. Kadang jam sebelas malam masih berkutik depan laptop bukan untuk menggarap tugas, melainkan hadir dalam rapat yang sudah ditentukan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sebagian mahasiswa bahkan mengakui bahwa mereka cukup keteteran dengan rutinitas hidup seperti ini. Tugas kadang terlambat dikumpul, jadwal kuliah jadi waktu tidur, dan dampak lainnya dari budaya hustle culture di kalangan mahasiswa. Berawal dari keinginan menambah pengalaman, malah kelewatan hingga lupa batasan.
Jika budaya hustle culture terus berlanjut di masyarakat, tidak hanya akan berdampak negatif pada kualitas layanan yang diberikan, kesehatan dan mental semakin memburuk. Pasalnya, dengan terus bekerja, tubuh menjadi lelah dan melepaskan hormon kortisol atau hormon stres. Apabila hal ini terus terjadi maka dapat menyebabkan kecemasan, depresi, penyakit jantung, dan masalah memori. Selain itu, menurut Psikolog Dr. Jeanne Hoffman dari University of Washington, bekerja terlalu lama bisa meredam kreativitas.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, penyakit pun menjadi lebih rentan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Current Cardiology Reports, dengan menggunakan data observasi dari 740.000 pekerja tanpa penyakit kardiovaskular bawaan, ditemukan bahwa mereka yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti jantung koroner. Tak hanya itu, penyakit resistensi insulin, artimia, bahkan stroke pun dapat menjadi salah satu dampaknya.
“Kerja, kerja, kerja, tipes.”
Ungkapan yang sering hadir yang menjadi hal yang biasa dalam dunia mahasiswa dan pekerjaan itu adalah hal yang seharusnya tidak lazim dilakukan. Kebiasaan over time yang dipupuk dari zaman mahasiswa sudah sebaiknya dihentikan. Jika terus memperdulikan urusan pekerjaan dan deadline sebagai prioritas di atas segalanya, lambat laun akan berpengaruh pada kesehatan. Normalisasi dalam budaya hustle culture sudah sebaiknya dihindari sedari mungkin. Perkuliahan sebagai tahap awal sudah sepantasnya menghadirkan kinerja unggulan dengan poros yang sesuai dengan prosedur pekerjaan yang seharusnya.
ADVERTISEMENT
Alangkah baiknya apabila kita sadar akan keadaan dan batasan. Apabila sudah merasa terlalu lama bekerja dan merasa lelah, beristirahatlah sejenak. Tak kalah penting, tanamkan di benak bahwa batasan dan kemampuan tiap orang berbeda-beda. Melihat orang lain yang lebih berpengalaman bukan berarti kita juga harus memiliki pencapaian yang sama dengan mereka. Tetapkan lah batasan bagi diri sendiri.
Kalau tidak dibiasakan sejak awal, kapan perubahan budaya hustle culture dapat dihapus? Sedang isu kesehatan mental masih terus dielu-elukan di tengah masyarakat. Iming-iming memiliki banyak pengalaman seharusnya tak membuat kita terbelenggu dalam hustle culture. Terus berkembang, tetapi jangan terjebak dalam hustle culture ini, ya!