Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Novel Ciuman Terakhir Ayah Mengingatkan kita pada Tragedi di Tahun 2004 Lalu
12 Maret 2024 15:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tiara Prisilia Amanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dia Nina, seorang anak kecil yang menjadi korban tragedi tsunami Aceh tepatnya tanggal 26 Desember 2004 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Anak sekecil Nina harus menghadapi ujian hidup yang sangat sulit, dia harus kehilangan tangan kanan nya akibat tragedi ini. Tak hanya itu, keluarga Nina yang tersisa hanya mama dan abang nya sedangkan ayah dan adik kesayangannya yang bernama Sarah, sudah ia yakini bahwa mereka sudah tiada.
Ya, kisah ini tertuang dalam Novel “Ciuman Terakhir Ayah“ karya Maufiqurrahman Surahman. Dalam novel ini menampilkan tokoh Nina anak kedua dari pasangan Jawa dan Aceh, Nina mempunyai semangat belajar yang tinggi, gigih dan berani.
Diatas Nina ada abang nya, dia pelit dan egois walaupun begitu Nina sayang padanya. Ada juga dibawah Nina adik kecil yang paling Nina cintai dan sayangi, Sarah.
“Nina jadi anak yang baik ya” Kalimat itu diucapkan dari mulut ayah nya sambil mencium kening Nina. Tak disangka, malam itu adalah malam terakhir mereka bersama, malam terakhir Nina merasakan ciuman seorang ayah, malam terakhir Nina menggendong Sarah.
ADVERTISEMENT
“Linduu..linduu…lindu..” Itu adalah suara panik orang-orang yang terdengar diluar rumah. Adanya kejadian itu tanpa berfikir panjang abangnya dan mama sambil menggendong Sarah mengungsi ke masjid besar Banda Aceh.
Tetapi berbeda dengan Sarah dan ayahnya,mereka selalu percaya kepada Allah SWT. “Nina jangan takut ya, Nina disini bersama ayah”. Ucapan seorang ayah yang membuat hati anaknya merasa tenang.
“Allahumma laa taktulna bighadabika walaa tughligna biadzabika wa aafinaa qobla dzalika.” Dalam suasana gelap gulita, listrik padam, tidak ada pencahayaan sama sekali karna matahari tertutup oleh awan yang begitu hitam pekat Nina hanya pasrah dengan membaca berulang kali doa itu.
“Innalillahi. Lindu...“ . Ya, tepat pukul 07.58 pagi lindu itu kembali datang, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar dan suara gemuruh air laut terdengar jelas.
ADVERTISEMENT
Rumah sakit yang ada di Medan adalah rumah sakit yang menjadi tujuan ambulance itu membawa Nina. Benar, Nina mengalami luka parah pada bagian tangan kanan nya yang mengharuskan tangan mungil nya itu di amputasi akibat tsunami dan gelombang besar air laut yang menghantam nya.
“Nina, ibumu dan abangmu selamat sekarang dia dirawat di kamar 5 di rumah sakit ini juga.” Kalimat ini di ucapkan oleh bibi nya Nina yang dari Kota Kisaran. Kalimat yang membuat Nina spontan bangkit dari tidurnya, dia merasa bahagia dan tidak menyangka bahwa mama dan abangnya selamat.
Tak disangka, Nina akan melanjutkan episode kehidupannya di Lembaga Pendidikan Islam bertaraf Internasional, lembaga yang di maksud itu adalah pesantren. Karna ayahnya dulu pernah berkata pada mama jika Nina sudah tamat SD Nina belajar ilmu agama, ayah ingin Nina menjadi guru ngaji di masjid di kampung nya.
ADVERTISEMENT
6 tahun sudah Nina menjalankan pendidikannya di Pesantren. Dalam 6 tahun itu Nina setiap harinya menghafal Al-Qur’an hingga dia bisa menghafal 30 Juz Al-Qur’an.
Suatu kebahagiaan dan kebanggaan untuk dirinya, mama dan abang nya terutama untuk ayah dan adiknya yang sampai saat ini belum ada informasi tentang keberadaan mereka, tapi Nina sudah bisa ikhlas meyakini bahwa mereka sudah di surga.
Dan tepat di tahun terakhir kelulusannya Nina mengikuti lomba menghafal Al-Qur’an, walaupun Nina merasa hafalannya belum sempurna tapi Nina berusaha dan tidak mau mengecewakan mama dan abangnya.
Sedikitpun Nina tidak menyangka bagai ketiban durian runtuh, Nina memenangkan perlombaan ini. Kemenangan ini, piala ini adalah hadiah untuk Sarah dan ayah nya yang menghilang akibat tragedi 26 Desember 2004 yang lalu.
ADVERTISEMENT
“Piala ini aku persembahkan buat ayah dan Sarah di Surga-Mu, Tuhan.” Ucap Nina di panggung kehormatan, dan dia berterima kasih kepada pesantren ini karna telah mengajarkan ilmu agama, yang membuatnya terus tegak berdiri, mandiri, dan menjadi diri sendiri.
Walaupun banyak cobaan yang dihadapi oleh Nina tetapi Nina tidak pernah patah semangat untuk melanjutkan kehidupannya, Nina selalu ingat pesan ayah untuk menjadi anak yang baik dan membanggakan kedua orang tua nya serta saudara-saudaranya.