Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Kesenjangan Sosial dan Kaitannya Terhadap Kesehatan di Jakarta
3 Desember 2022 21:20 WIB
Tulisan dari Tiara Syifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta yang merupakan kota metropolitan menjadi kota dengan penduduk terbesar di Indonesia. Jakarta menjadi pusat pemerintahan, politik, dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan data dari BPS Provinsi DKI Jakarta 2022, jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2021 berdasarkan hasil proyeksi penduduk Interim 2020- 2023 (Pertengahan tahun/Juni) sebesar 10.609.681 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,57 persen. Kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2021 adalah 15.978 jiwa setiap 1 km2. Kota Jakarta Pusat memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 20.360 jiwa/km2 (Jakarta dalam angka 2022, diakses melalui https://bit.ly/3DafUSe). DKI Jakarta sebagai kota dengan harapan hidup tinggi, dimana banyak para pendatang dari luar Jakarta berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang layak dan merubah hidup menjadi lebih baik daripada di desa. Kenyataannya, dengan padatnya penduduk dan pertumbuhan penduduk yang pesat membuat Jakarta dipenuhi dengan berbagai macam isu salah satunya isu kesehatan.
ADVERTISEMENT
Lingkungan Fisik Perkotaan
Sebagai kota yang padat penduduknya, sering kali ditemukan kepadatan bangunan atau pemukiman-pemukiman kumuh di Jakarta. Secara umum definisi kepadatan bangunan adalah perbandingan antara luas terbangun dengan luas total. Daerah dengan kepadatan tinggi biasanya ditandai dengan bangunan padat yang memberikan perlindungan yang cukup dari panas radiasi matahari (Inavonna, 2016). Kepadatan bangunan ini akan mengakibatkan munculnya isu kesehatan di kalangan masyarakat. Biasanya, pemukiman padat penduduk di Jakarta berada di sekitar lokasi-lokasi stategis seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta, jalur hijau, kolong fly over atau tol, sekitar TPA, serta kawasan-kawasan sempit lainnya. Rumah-rumah di kawasan seperti ini biasanya juga kurang dalam hal kebersihan. Misalnya, tidak tersedianya fasilitas tempat buang air besar, pembuangan sampah, pemukiman yang bersebelahan dengan tempat pembuangan, kurangnya air bersih, sehingga menimbulkan banyak penyakit seperti diare, infeksi, hingga keracunan makanan.
Salah satu realita yang terjadi di sekitar Jakarta atau Jabodetabek tepatnya di daerah Bantar Gebang, Bekasi, terdapat TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) dimana sampah-sampah yang dihasilakan dari daerah Jabodetabek dan sekitarnya diangkut ke TPST Bantar Gebang sebelum nantinya dikirim ke TPA. Adanya TPST pastinya juga terdapat orang-orang yang bekerja mengumpulkan sampah-sampah yang masih bisa dijual kembali. Biasanya mereka membangun pemukiman di sekitar TPST tersebut. Dari channel Youtube Asumsi, memperlihatkan bagaimana para masyarakat sekitar Bantar Gebang mengolah makanan mereka dan beradaptasi dengan lingkungan mereka. Masyarakat Bantar Gebang biasanya memunguti sisa makanan di tumpukan sampah dan mengolahnya kembali. Pada video tersebut menunjukkan cara seorang warga Bantar Gebang mengambil sisa-sisa makanan dari “bukit sampah”, lalu mencucinya, dan menggorengnya kembali. Warga tersebut mengambil beberapa potongan makanan sisa seperti apel yang setengah busuk bekas gigitan, ayam goreng sisa, serta makanan-makanan sisa lain. Kemudian warga terebut mencuci makanan-makanan sisanya tersebut. Ayam goreng yang didapatinya, dibumbui kembali dengan garam dan penyedap lalu di goreng. Bagi warga Bantar Gebang hal tersebut sudah menjadi kebiasaan. Namun, makanan-makanan dari sampah tersebut banyak mengandung bakteri, larva, dan bakteri-bakteri dari sampah dan hewan. Hal tersebut bisa menyebabkan penyakit seperti diare, kolera, tifus, dan lain sebagainya. Diare, kolera, dan tipus menyebar dengan cepat karena virus dari sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat bercampur dengan air minum. Malaria/demam berdarah disebabkan oleh genangan air yang menyuburkan perkembangbiakan nyamuk. Paparan ISPA/infeksi saluran pernapasan karena polusi. Penyakit jamur kulit, penyakit yang menyebar melalui rantai makanan, seperti penyakit cacing pita. Cacing ini masuk ke saluran pencernaan ternak dengan makanan sebagai sisa makanan/sampah (Sitio, 2017).
ADVERTISEMENT
Penyakit Kolera biasanya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kotor dan padat penduduk. Menurut website Alodokter, kolera disebabkan oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri kolera hidup di alam, terutama di lingkungan perairan seperti sungai, danau atau sumur. Sumber utama bakteri kolera adalah air dan makanan yang terkontaminasi bakteri kolera. Bakteri penyebab kolera bisa masuk ke makanan jika makanan tidak dibersihkan dan dimasak dengan benar sebelum dimakan. Penyakit ini tidak menular secara langsung kecuali dibawa oleh makanan dan minuman ke dalam tubuh. Bakteri Vibrio cholerae masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri, melepaskan enterotoksin ke dalam tubuh manusia di usus, menyebabkan diare muntah akut dan sangat kuat, dan hasilnya hanya beberapa hari ketika kehilangan banyak cairan dari tubuh manusia. tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi (Guli, 2016). Kolera lebih mungkin berkembang dalam situasi di mana sulit untuk menjaga kebersihan lingkungan (termasuk pasokan air yang aman). Kondisi seperti itu biasa terjadi di tempat-tempat pengungsian, negara-negara miskin dan tempat-tempat yang dilanda kelaparan, perang atau bencana alam. Dari contoh di atas, kolera dapat terjadi pada anak-anak hingga orang dewasa yang tidak menjaga kesehatannya dan tinggal di lingkungan yang kotor dengan sanitasi yang buruk. Jika warga Bantar Gebang terlalu sering mengkonsumsi makanan dari sampah, maka kolera akan menyerang bahkan penyakit-penyakit lain pun ikut menyerang, salah satunya diare. Anak-anak memiliki potensi besar terkena kolera, karena biasanya anak-anak di daerah pemukiman kumuh bebas memakan atau meminum sembarangan bahkan tanpa mencuci tangan. Gaya hidup yang tidak sehat pada pemukiman kumuh juga mempengaruhi adanya kolera. Misalnya, mereka mandi di sungai, mencuci baju, sampai membuang air di sungai lalu air sungai tersebut juga dijadikan sumber minum. Jika tidak di olah dengan baik, maka bukan hanya kolera saja, penyakit lain pun akan muncul dan mewabah di pemukiman tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, padatnya penduduk kota Jakarta juga mempengaruhi kemacetan di kota ini. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat juga menyebabkan peningkatan pergerakan atau mobilitas penduduk. Jika terjadi kemacetan lalu lintas yang ditandai dengan pergerakan kendaraan, maka dikatakan kemacetan lalu lintas (Sitanggang & Saribanon, 2018). Di perkotaan, tingkat kegiatan transportasi sangat tinggi. Kebutuhan penduduk untuk bermobilisasi sesuai aktivitasnya membuat tingkat penggunaan transportasi menjadi tinggi. Seiring dengan banyaknya jumlah penduduk, maka jumlah kendaraan yang melintas di jalanan pun banyak. Transportasi apapun pasti membutuhkan bahan bakar, yang menghasilkan emisi saat digunakan. Hal ini menyebabkan pencemaran yang berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu pencemar dari transportasi adalah total particulate matter (TSP), dan satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah kebisingan yang ditimbulkan oleh kendaraan. Di daerah perkotaan, kendaraan bermotor adalah sumber emisi PM terbesar dan menyumbang lebih dari 50% emisi PM di udara (Putra & Lisha, 2017). Pencemaran lingkungan akibat transportasi dapat menimbulkan dampak kesehatan dan psikologis. Efek kesehatan biasanya disebabkan oleh paparan sejumlah besar senyawa kimia dalam tubuh manusia. Meski efek psikologisnya lebih banyak berasal dari kebisingan dan getaran mesin kendaraan. Kebisingan yang keras dapat mengakibatkan kerusakan pendengaran, yang dapat berupa gangguan pendengaran sementara atau permanen atau ketulian. Secara fisiologis, suara bising dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan denyut jantung, penyempitan pembuluh darah tepi terutama di tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat, gangguan sensorik dan denyut jantung, peningkatan risiko serangan jantung, dan gangguan pencernaan (Aspiani, 2021).
Selain kebisingan, transportasi atau kendaraan di Jakarta dapat menyebabkan tingginya polusi di Jakarta. Pada tahun 2022 sekitar bulan Juni-Juli, tingkat polusi di Jakarta sangat tinggi, bahkan sampai menjadi yang terburuk kedua di dunia. Menurut data AQI kandungan polutan PM2.5 di udara Jakarta pada pagi hari ini mencapai 97 µg/m3. Angka tersebut nyaris 20 kali lipat lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 µg/m3. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pencemaran udara dapat menimbulkan gangguan kesehatan secara langsung berupa iritasi mata, iritasi hidung dan tenggorokan, sakit kepala, mual dan nyeri otot, asma, hipersensitivitas pneumonia dan flu. Sementara itu, masalah kesehatan tidak langsung dapat terjadi bertahun-tahun setelah terpapar polutan, termasuk penyakit paru-paru, penyakit jantung, dan kanker.
ADVERTISEMENT
Segregasi Spasial Perkotaan
Perkotaan memiliki budaya yang berbeda dengan pedesaan. Pedesaan umumnya lekat dengan budaya gotong royong warganya, sedangkan perkotaan lebih mendahului kepentingan individu. Keanekaragaman alam dan sifat kehidupan perkotaan mendukung terbentuknya berbagai kelompok sosial dalam masyarakat. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kelompok sosial akan privasi dan keamanan, batas sering dibangun untuk memisahkan satu area kelompok dari yang lain (Radliyatullah & Dwisusanto, 2020). Begitu pula dengan Jakarta, pemisahan kelompok-kelompok tertentu dari kelompok lain biasanya dibangun pemukiman elit atau perumahan agar tidak tercampur dengan rumah-rumah warga biasa. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, etnis atau pekerjaan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesenjangan sosial dan kelas sosial di perkotaan. Pemukiman skala besar biasanya menawarkan perumahan yang modern dan eksklusif serta fasilitas-fasilitas perumahan yang memadai seperti tempat ibadah, fasilitas olahraga, fasilitas anak dan keluarga, sekolah, pasar/mall, fasilitas kesehatan dan fasilitas elit lain. Promosi yang dilakukan juga menargetkan para orang-orang yang berprofesi dengan jabatan tinggi. Ini mempengaruhi tidak hanya ruang, tetapi juga kehidupan sosial orang-orang. Dimulai dari aktivitas dan kehidupan sosialnya yang cenderung lebih individualistis dan kurang terkait dengan kepentingan lingkungannya. Masyarakat Jakarta dengan kelas sosial menengah keatas biasanya akan memilih tinggal di perumahan dengan fasilitas yang memadai serta mendapatkan keamanan dan ketenangan dari bisingnya kehidupan di luar mengingat tingkat kriminalitas di kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Interaksi antara kelas menengah atas dan kelas menengah bawah juga sangat minim. Orang-orang kelas menengah dan atas umumnya tidak mau berinteraksi dengan orang-orang di luar mereka. Interaksi biasanya muncul hanya dari hubungan kerja antara majikan dan karyawan. Ada banyak jenis perumahan, seperti perumahan kecil sebagian besar masih dapat diakses oleh orang luar, seperti pedagang, pengemis yang berjalan di sekitar perumahan, yang dapat mengunjungi rumah setiap penghuni. Kemudian hanya penghuni yang bisa masuk perumahan dengan pengamanan yang sangat ketat, dalam hal ini pendatang harus mendaftar di security point dan meninggalkan kartu identitasnya, meski sudah diserahkan ke penghuni perumahan. Pembagian ini biasanya terdapat pada kluster-kluster di dalam perumahan. Kluster tersebut biasanya dibedakan dengan jenis rumah dan harga serta fasilitas dan tingkat keamanan yang di sesuaikan. Dari adanya perbedaan interaksi antara penghuni di perumahan besar dan pemukiman biasa, juga mempengaruhi perilaku individu terkait kesehatan. Umumnya individu dengan kelas sosial mengengah ke atas yang sudah biasa dengan fasilitas yang memadai, asupan yang mencukupi, dan fasilitas kesehatan yang lengkap, akan sangat aware dengan kesehatannya. Biasanya mereka memiliki dokter pribadi dan rutin mengecek kesehatannya. Sedangkan individu dengan kelas sosial menengah kebawah dengan fasiltas seadanya kurang memperhatikan kesehatan mereka. Mereka baru akan membutuhkan fasilitas kesehatan jika memang sudah ada tanda-tanda sakit, meskipun sudah mencegah dengan sering mengkonsumsi obat atau vitamin.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu permukiman, pemekaran wilayah muncul sebagai sesuatu yang bersifat fisik, konkrit, dan menyebabkan atau menjelaskan perbedaan yang ada. Seperti partisi yang memisahkan satu grup dengan grup lainnya. Fenomena ini dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar, terutama ketika satu kelompok mengorbankan kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Radliyatullah & Dwisusanto, 2020). Jakarta sendiri kesenjangan sosialnya terlihat sangat nyata. Mulai dari perumahan yang paling mewah sampai pemukiman paling kumuh ada di Jakarta. Banyak pula kawasan-kawasan elit yang dikelilingi oleh pemukiman kumuh. Dalam mengatasi situasi ini, biasanya pemerintah mengeluarkan bantuan untuk mayarakat miskin, misalnya dengan cara memberi bantuan berupa uang untuk membantu masyarakat miskin atau dengan membuat rumah susun agar masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Namun, adanya hambatan baik dari pemerintah sendiri maupun masyarakatnya. Perbedaan gaya hidup antara kelas menengah dan kelas bawah yang menimbulkan kecemburuan sosial menjadi faktor utama hilangnya kesenian tradisional betawi, adanya pesaing kesenian sesuai kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern. Globalisasi juga telah mengubah nilai-nilai kehidupan manusia dari segala aspek yang mengutamakan kemaslahatan hidup bermasyarakat menjadi hanya mementingkan diri sendiri. Segregasi spasial ini dihasilkan dari keinginan penduduk untuk mengecualikan diri, yang ditanggapi oleh pengembang dengan secara sadar memberikan akses terbatas ke kelompok perumahan yang dikelompokkan. Dalam keadaan seperti ini, dapat dipahami bahwa pemisahan spasial adalah fenomena yang dapat dirancang atau diciptakan dengan sengaja. Pada gilirannya, desain ruang terpisah yang disengaja juga membahayakan upaya kota baru untuk meningkatkan hubungan kekerabatan antar penduduk (Diningrat, 2015).
ADVERTISEMENT
Tiara Syifani, Mahasiswa Sosiologi UB